TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani menduga bahwa Mahkamah Konstitusi atau MK digunakan sebagai kendaraan bagi Setya Novanto dalam beberapa putusan perkara. Hal ini muncul dalam konferensi pers yang dilakukan oleh SETARA Institute terkait hasil riset atas kinerja MK selama tahun 2016-2017.
"Putusan negatif MK, misalnya, (diduga) jadi panggungnya Setya Novanto dalam konteks persoalan hukum dan etika yang sempat melilitnya," kata Hasani di Kantor Setara Institute, pada Ahad, 20 Agustus 2017.
Baca juga:
SETARA: Demi Nama DPR, Sebaiknya Ketua DPR Setya Novanto Mundur
Setya Novanto, Ketua DPR RI sejak beberapa tahun terakhir telah terjerat kasus etika dan dugaan memperdagangkan pengaruh. Selain itu, hingga saat ini ia masih berstatus tersangka dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP.
Kasus tersebut berhubungan dengan putusan MK soal bukti rekaman yang dibawa oleh Sudirman Said dalam kasus papa minta saham. Lewat putusan MK, bukti rekaman yang dibawa Sudirman Said dinilai ilegal dan tak bisa digunakan sebagai bukti yang sah.
Baca pula:
Kinerja MK Dinilai Tak Optimal, Ini Rekomendasi Setara Institute
Menurut Hasani, seharusnya rekaman tersebut bisa digunakan dan sah sebagai bukti dalam persidangan. Hal ini karena bukti rekaman diperoleh dengan tidak melawan hukum.
"Padahal bukti rekaman yang didapat itu adalah bukti yang diperoleh bukan oleh penegak hukum. Jadi ibaratnya, kalau misal saya lagi berurusan dengan orang lalu saya merekam atau apa sebenarnya, itu bisa menjadi bukti dan bukti itu sah. Karena bukti itu saya yang memperoleh sebagai warna negara dan individu yang sedang berurusan dengan hukum," kata Hasani.
Dalam kasus tersebut, putusan soal bukti rekaman, menurut Hasani, menunjukkan kualitas putusan-putusan MK. Ia menilai, kasus tersebut sebagai contoh buruk kinerja MK dan hal itu dinilai negatif, berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Setara Institute.
Setiap tahun, sejak 10 tahun terakhir Setara Institute selalu melakukan riset tentang kinerja MK. Tahun ini, lembaga ini melakukan riset yang didasarkan atas putusan-putusan MK sejumlah 121 putusan. Penelitian juga menguji 258 pasal dalam 62 undang-undang yang berbeda.
DIAS PRASONGKO