TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Cina merilis aturan baru yang membatasi investasi di luar negeri, akhir pekan lalu. CNBC mengabarkan beleid ini melarang perusahaan atau investor individu dari Cina menanamkan modal di berbagai sektor, seperti industri strategis, properti, hingga bisnis hiburan di luar negeri.
Dalam dokumen yang dirilis Dewan Kenegaraan Cina, Jumat lalu, pemerintah Negeri Tirai Bambu melarang aneka jenis penanaman modal, baik berupa investasi langsung maupun akuisisi dan merger, di luar negeri. “Selain untuk sektor properti, larangan ini berlaku untuk investasi di bidang pertahanan, olahraga, film dan bioskop, sarana hiburan, serta bisnis judi dan seks,” seperti dikutip dari Koran Tempo edisi Selasa, 22 Agustus 2017.
Simak: Cina Ingin Membangun Masyarakat Ekonomi Asia Timur
Pemerintah Cina membatasi investasi lantaran khawatir hal ini terus mengerek nilai utang swasta. Rupanya pengusaha Cina memakai duit utang untuk investasi di luar negeri, termasuk saat mengakuisisi perusahaan asing.
Seiring dengan aturan tersebut, pemerintah Cina menganjurkan para investor menanamkan modalnya pada proyek-proyek yang masuk ke program Belt and Road. Dalam program yang dibuat Presiden Xi Jinping ini, pemerintah Cina akan membelanjakan dana miliaran dolar untuk membangun infrastruktur di beberapa negara Asia dan sebagian kawasan Eropa Timur. Proyek yang masuk ke program Belt and Road antara lain pembangunan rel kereta api, jalan tol, pembangkit listrik, serta pelabuhan.
Dalam dokumen yang dilansir Dewan Kenegaraan Cina disebutkan banyak peluang besar dari investasi di luar negeri. Namun para pengusaha bakal menghadapi tantangan dan risiko besar. Dengan mengikuti aturan baru ini, pemerintah akan mengarahkan upaya penanaman modal ke arah yang lebih positif, rasional, dan efektif dari sisi risiko.
Aturan ini menjadi bagian dari strategi Xi Jinping untuk memperkuat perekonomian domestik, sekaligus menegaskan kembalinya kontrol ketat atas bisnis swasta. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, pemerintah Cina memberi kelonggaran bagi pengusaha untuk menanamkan modal di luar negeri. Kini pemerintah khawatir lantaran dana yang dibelanjakan pihak swasta di luar negeri cukup besar. Investasinya pun cenderung sembrono lantaran menyasar sektor-sektor yang dianggap kurang produktif, seperti membeli klub sepak bola hingga resor mewah.
Riset dari Dealogic menyebutkan investasi perusahaan Cina secara global mencapai US$ 200 miliar sepanjang tahun lalu. Nilai belanja ini membuat pemerintah gerah lantaran sebagian besar dibiayai dari utang. Risiko yang dihadapi kian tinggi setelah nilai yuan merosot. Analis Credit Suisse, Vincent Chan, mengatakan aturan baru mengenai investasi ini menjadi evaluasi atas kebijakan yang telah diimplementasikan beberapa waktu lalu. “Sepertinya tidak akan menimbulkan kejutan besar bagi perekonomian Cina,” katanya.
Para pengusaha pun agaknya sudah menangkap kekhawatiran pemerintah sebelum aturan baru ini terbit. Menurut data dari Thomson Reuters, nilai merger dan akuisisi dari Cina hingga pertengahan bulan ini turun 42 persen. Data Dealogic pun menunjukkan adanya penurunan investasi hingga 40 persen atau menjadi US$ 74 miliar pada semester pertama tahun ini. Sebaliknya, penanaman modal dalam program Belt and Road sudah mencapai US$ 33 miliar atau melampaui target tahun lalu sebesar US$ 31 miliar.
FERY F.