TEMPO.CO, Yangon -Pemerintah Myanmar telah menetapkan pemberontak Bengali, mengacu pada etnis Rohingya dan Tentara Penyelamat Rakyat Rohingya atau ARSA sebagai kelompok teroris.
"Dengan persetujuan pemerintah Union, Komite Sentral untuk Terorisme menyatakan bahwa Bengali dan ARSA sebagai kelompok teroris," kata pernyataan Komite Informasi Kantor Penasihat Negara seperti yang dilansir Eleven Myanmar pada 26 Agustus 2017.
Dengan begitu setiap tindakan pemberontakan Bengali dan ARSA akan dijerat dengan Undang Undang Anti-Terorisme Myanmar.
Baca: Sudah 70 Orang Tewas Akibat Serangan Pemberontak Rohingya
Pernyataan itu juga menyebutkan bahwa pemerintah telah membentuk Rakhine State Peace and Stability, Rule of Law and Development Committee untuk menyelesaikan konflik di Negara Bagian Rakhine.
"Pemerintah bekerja untuk memberikan bantuan yang diperlukan kepada penduduk setempat dan membawa keamanan regional dan pembangunan ke wilayah tersebut," kata pernyataan tersebut.
Pada Jumat dini hari, 25 Agustus 2017, pemberontak Bengali dan ARSA melakukan serangan terkoordinasi terhadap sekitar 24 pos polisi dan militer di beberapa wilayah di negara bagian Rakhine. Sdikitnya 89 orang tewas baik dalam serangan itu maupun operasi pembalasan oleh pihak militer Myanmar.
Baca: Kronologi Pemberontak Rohingya Serang 24 Pos Polisi Myanmar
Serangan tersebut bukan pertama kalinya dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan etnis muslim Rohingya yang tertindas.
Pada tanggal 9 Oktober 2016, ARSA melakukan serangan fajar di markas besar polisi penjaga perbatasan No.1, sebuah pos polisi dan sebuah kantor di Kotapraja Maungdaw di Negara Bagian Rakhine. Dalam serangan yang terorganisir, 9 anggota polisi terbunuh dan 48 senjata dengan berbagai jenis, 6.624 peluru dan 47 bayonet hilang.
Setelah serangan tersebut, lebih banyak anggota polisi dikirim ke polisi penjaga perbatasan No.1. Pasukan penjaga perbatasan berusaha mengembalikan keamanan, perdamaian, stabilitas dan supremasi hukum ke wilayah tersebut.
"Tapi pembunuhan etnis lokal yang tidak berdosa dan ancaman serta rekayasa yang dilakukan oleh teroris dapat menghambat perdamaian regional dan peraturan perundang-undangan," tambah pernyataan tersebut.
Baca: Longgarkan Gerakan Rohingya, Myanmar Terhindar dari Ekstrimisme
Pasukan keamanan juga mengatakan, pihaknya telah menemukan kamp pelatihan teroris di May Yu Mountain beberapa waktu lalu.
Pemerintah Myanmar juga menuding ARSA membunuh 34 hingga 44 warga sipil serta menculik 22 korban lainnya yang dituduh berkolaborasi dengan pemerintah. Namun segala tudingan itu dibantah oleh ARSA seraya menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kaitan dengan kelompok teroris manapun. Target mereka hanya satu yakni melawan rezmi Myanmar yang menindas.
ARSA atau sebelumnya dikenal dengan Harakah al-Yaqin alias Gerakan Iman adalah sebuah nama kelompok pemberontak yang melakukan aksi di hutan belantara negara bagian Rakhine, Myanmar.
Kelompok ini dipimpin oleh Ata Ullah, seorang warga Rohingya kelahiran Karachi, Pakistan, dan besar di Mekkah, Arab Saudi. Selanjutnya dia mendirikan kelompok bersenjata ini sebagai alat perjuangannya ketika kaum Rohingya teraniaya di Myanmar pada 2012.
Meskipun tidak ada bukti kuat bahwa ARSA, kelompok pemberontak Rohingya, memiliki jaringan asing dan mendapatkan bantuan finansial dari gerakan Islam asing, tetapi pemerintah Myanmar menduga bahwa kelompok ini terkait dan mendapatkan bantuan dari kelompok Islam dari luar Myanmar.
ELEVEN MYANMAR|YON DEMA