TEMPO.CO, Washington—Amerika Serikat meminta pemerintah Myanmar menahan diri setelah konflik bersenjata antara militer dan milisi Rohingya menewaskan 12 tentara serta 77 warga Muslim Rohingya, termasuk para milisi.
Seperti dilansir Fox News, Sabtu 26 Agustus 2017, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Heather Nauert mendesak militer Myanmar agar tetap menghormati hukum dan melindungi asasi manusia etnis minoritas Rohingya dalam pengejaran penyerang di pos perbatasan pada Jumat lalu.
“Serangan milisi Rohingya menjadi pengingat pentingnya rekomendasi panel pakar yang dipimpin mantan Sekjen PBB Kofi Annan agar memperbaiki pembangunan ekonomi dan keadilan sosial di Rakhine sebagai solusi mengakhiri konflik antara warga Budha dan Rohingya,” kata Nauert, dalam jumpa pers di Washington.
Baca: Myanmar Nyatakan Pemberontak Rohingya, ARSA, Teroris
Pertempuran antara militer dan milisi Rohingya terjadi sejak Jumat setelah lebih dari 20 pos polisi di Rakhine diserang ratusan gerilyawan.
Kantor Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto negara itu, mengatakan bahwa polisi militer dan perbatasan menanggapi serangan gerilyawan tersebut dengan meluncurkan ”operasi pembersihan”.
Menurut kantor Suu Kyi, ratusan gerilyawan yang menyerang pos-pos polisi dipersenjatai dengan senjata api, parang dan granat buatan sendiri. Pemerintah telah merilis foto-foto senjata yang disita dari para gerilyawan.
Seorang saksi di Kota Maungdaw di negara bagian Rakhine, yang dihubungi melalui telepon, mengatakan bahwa para tentara memasuki desanya sekitar pukul 10.00 pagi pada hari Jumat. Mereka membakar rumah dan harta benda warga dan menembak mati setidaknya 10 orang.
Saksi meminta hanya diidentifikasi dengan nama panggilannya, Emmar, karena takut jadi korban balas dendam.
Dia mengatakan bahwa penduduk desa melarikan diri ke berbagai arah, tapi sebagian besar menuju ke daerah pegunungan terdekat.
Menurut Emmar, tembakan senjata dan ledakan terdengar dan asap masih bisa terlihat pada Jumat malam.
Sebuah kelompok militan, Arakan Rohingya Salvation Army atau ARSA, mengklaim bertanggung jawab atas serangan pada Kamis malam di lebih dari 25 pos polisi Myanmar.
Kelompok itu mengaku aksi mereka untuk membela etnis Rohingya yang telah disiksa oleh pasukan pemerintah Myanmar. Klaim ini disampaikan dalam pernyataannya di Twitter.
Suu Kyi menyebut serangan kelompok miltan tersebut sebagai usaha untuk melemahkan upaya membangun perdamaian dan harmoni di negara bagian Rakhine.
Kantor Suu Kyi mengatakan di halaman Facebook bahwa serangan tersebut dimaksudkan bertepatan dengan dikeluarkannya laporan Annan.
Menurut data PBB, sudah lebih dari 80 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak konflik pecah bulan Oktober tahun lalu.
Annan mengecam serangan terbaru kelompok militan Rohingya terhadap pos-pos polisi.
”Tidak ada alasan yang bisa membenarkan tindakan brutal dan pembunuhan yang tidak masuk akal,” katanya. ”Dan mendesak pemerintah Myanmar untuk menahan diri dan memastikan bahwa warga sipil Rohingya yang tidak bersalah tidak dilukai.”
AP | FOX NEWS | SITA PLANASARI AQUADINI