TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Muhyiddin Junaidi mengatakan krisis di Rohingya, Myanmar, sudah berbaur antara kepentingan politik, sosial, dan ekonomi. Sebab, ditemukan cadangan minyak dan gas di wilayah yang ditempati warga Rohingya.
"Jadi sudah berbaur antara politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya,” ungkap Muhyiddin soal krisis Rohingya saat dihubungi Tempo, Senin, 4 September 2017.
Baca juga: Aksi Solidaritas Rohingya di Borobudur, Peserta Janji Tak Merusak
Menurut dia, sejak 1982 MUI sudah menyerukan agar kasus Rohingya yang ada di provinsi itu, diselesaikan secara adil. “Mereka itu walaupun awalnya pendatang dari Bangladesh tapi mereka sudah tinggal disana ratusan tahun,” ujar Muhyiddin.
Menurut Muhyiddin, masalah ini bisa diselesaikan apabila pemerintah Myanmar mengakui status kewarganegaraan masyarakat Rohingya. Dia menganggap itu merupakan titik krusial sehingga muncul konflik horisontal
"Awalnya memang kasus etnis, namun karena berlarut berubah menjadi konflik komunal,” ucap Muhyiddin. Konflik komunal meruapkan konflik yang terus berkelanjutan tanpa ada penyelesaian.
Padahal, menurut Muhyiddin, jika dilihat secara kasat mata, sebetulnya Myanmar tidak terlalu khawatir dengan umat Islam di sana. Sebab, jumlah mereka sedikit. Warga Rohingya juga bukan merupakan ancaman bagi stabilitas wilayah Myanmar lantaran mereka adalah kelompok yang relatif status sosialnya lebih rendah.
Muhyiddin mengatakan ada isu yang sengaja dikembangkan pihak tertentu dalam krisis Rohingya. Akibatnya, masalah di Rakhine State bertambah runyam.
ANDITA RAHMA