TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan ekonomi Indonesia pada 2018 membaik dan tumbuh sebesar 5,4 persen. Namun dia mengatakan risiko global masih menghantui hingga tahun depan. "Butuh kebijakan untuk meng-counter ketidakpastian global," katanya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 5 September 2017.
Sri Mulyani memperkirakan harga komoditas masih melemah. Selain itu, ada sentimen negatif dari sikap proteksionisme yang diterapkan negara lain. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penguatan dolar Amerika yang akan memicu keluarnya dana dari emerging market yang selama ini menikmati quantitative easing.
Ketegangan geopolitik di Korea Utara, menurut Sri Mulyani,pun menimbulkan risiko keamanan. Proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) dan ancaman terorisme yang masih akan berjalan juga menjadi perhatian pemerintah. "Social safety net mereka yang tidak sustain akan memberatkan ekonomi global," ujarnya.
Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi, Sri Mulyani mengatakan konsumsi rumah tangga harus dijaga di atas 5 persen. Pemerintah menargetkan konsumsi rumah tangga sebesar 5,1 persen tahun depan. Pemerintah akan memperkuat daya beli dengan mempertahankan inflasi rendah. "Inflasi yang dijaga akan membuat konsumen percaya diri untul belanja sehingga bisa mengakselerasi perekonomian.”
Dalam rancangan APBN 2018, pemerintah menetapkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen dengan inflasi 3,5 persen. Nilai tukar rupiah terhadap dolar dipatok sebesar Rp 13.500 dan suku bunga SPN 3 bulan 5,3 persen. Harga minyak (ICP) ditargetkan US$ 48 per barel, lifting minyak 800 ribu barel per hari (bph), dan lifting gas 1,2 juta barel setara minyak.
Pendapatan negara ditargetkan mencapai Rp 1.878,4 triliun dan belanja negara Rp 2.204,4 triliun. Defisit anggaran tahun depan ditetapkan sebesar 2,19 persen atau sebesar Rp 325,9 triliun.
VINDRY FLORENTIN