TEMPO.CO, Jakarta – Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban mendesak negara mengalokasikan anggaran yang lebih banyak untuk penanganan korban terorisme. Koalisi menyarankan agar anggaran yang bisa berbentuk dana abadi itu dikelola Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“LPSK harusnya bisa menjadi pelopor dan menginisiasi dana abadi karena hal seperti ini belum ada di Indonesia, beda dengan beberapa negara lain,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyu Wagiman yang menjadi bagian dari koalisi tersebut, melalui keterangan tertulis, Kamis, 7 September 2017.
Baca: LPSK Keluhkan Minimnya Anggaran yang Membuat Kinerja Tidak Maksimal
Menurut Wahyu negara seharusnya telah memikirkan penempatan anggaran yang mudah diakses untuk memenuhi hak para korban. Wahyu mempertanyakan alokasi anggaran untuk program deradikalisasi yang tak sebanding dengan anggaran untuk penanganan korban. “Koalisi mendesak pemerintah dan DPR untuk mendorong lembaga seperti LPSK agar melayani korban lebih maksimal, baik administrasi maupun anggaran,” ujarnya.
Dia mengungkapkan kesulitan korban mendapat kompensasi karena harus melalui proses pengadilan. Penuntut umum, menurut Wahyu, kerap lupa memasukkan poin mengenai kompensasi ke dalam tuntutan. Ada juga catatan lain yang terkait dengan bantuan medis, psikologis maupun psikososial.
Simak: Ketua LPSK Curhat, Sejak Presiden Jokowi Dilantik..
Pada beberapa kasus terorisme seperti Bom Bali I dan II, tutur Wahyu, masih banyak korban yang harus berobat sendiri dan tidak dibiayai negara. Hal itu menjadi urgensi penyelesaian revisi Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengakui anggaran yang dikelola lebih kecil dibandingkan lembaga lain yang juga menangani permasalahan terorisme. Setiap tahunnya anggaran LPSK berkisar Rp 75 miliar. Jumlah itu dinilai lebih kecil dari anggaran yang dipakai untuk aktvitas pencegahan dan penindakan.
Semendawai berpendapat pembahasan revisi UU Pemberantasan Terorisme tidak semata menyoal pencegahan, namun juga menyorot penanganan saksi dan korban. Semendawai berharap revisi UU Nomor 15 tahun 2003 itu dapat memperkuat keberadaan LPSK yang selama ini bergerak melayani korban. “Biarkan perlindungan pelapor, saksi dan korban terorisme tetap dilakukan LPSK seperti yang sudah berjalan saat ini,” ujar dia.
YOHANES PASKALIS PAE DALE