TEMPO.CO, Jakarta - PT PLN (Persero) meneken kontrak jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) dengan 11 pengembang listrik berbasis energi baru terbarukan. Mereka merupakan perusahaan yang sebelumnya menolak menandatangi kerja sama tersebut.
PLN berencana melakukan PPA dengan 62 perusahaan. Namun pada 2 Agustus lalu, hanya 53 perusahaan yang bersedia menekan kontrak jual beli. Sisanya batal karena tidak mencapai kesepakatan.
Hari ini, 11 perusahaan tersebut menyatakan bersedia bekerja sama. "Mungkin mereka menghitung ulang dan sudah cocok harganya," kata Direktur Utama PLN, Sofyan Basir, Jakarta, Jumat, 8 September 2017. Dia mengatakan, para pengembang pasti ingin lebih memastikan keuntungan yang mereka dapat karena kontrak tersebut berlaku untuk 25 tahun.
Kerja sama kali ini diteken dengan mengacu kepada Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 50 Tahun 2017. Sementara perjanjian sebelumnya dengan 53 perusahaan menggunakan Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017.
Dalam aturan baru, PLN dan pengembang bisa menegosiasikan harga listrik dari seluruh sumber energi baru terbarukan. Dalam Permen Nomor 12, negosiasi hanya berlaku bagi listrik dari pembangkit listrik berbasis panas bumi dan biomassa. Dampaknya, terdapat perbedaan biaya pokok produksi (BPP).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, mengatakan, 11 proyek pembangkit energi baru terbarukan ini memiliki kisaran harga jual antara US$ 6,52 - 8,6 per KWH. "Ada yang lebih rendah maupun sama dari nilai BPP," kata dia.
Pembangkit yang akan dibangun 11 proyek tersebut adalah untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM). Pembangkit listrik tersebut akan tersebar di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Total investasi untuk proyek tersebut sekitar Rp 8 triliun.
VINDRY FLORENTIN