TEMPO.CO, Jakarta - Film berjudul Pengkhianatan G 30 S PKI yang kini ramai diperbincangkan akan diputar kembali oleh TNI di banyak daerah. Film dengan banyak adegan kekerasan yang tayang tiap 30 September di stasiun televisi nasional itu menggambarkan penyiksaan para jenderal, tawa puas para penyiksa, hingga pengambilan mayat korban tragedi yang terjadi pada tanggal terakhir bulan September, 52 tahun silam.
BACA: Siapa Pencuit Paling Doyan Bahas Film G 30 S PKI?
Amoroso Katamsi, pemeran Soeharto dalam film itu, menceritakan bagaimana film itu dibuat dalam dua tahun dan bagaimana adegan kekerasan itu terjadi. “Film ini sengaja dibuat untuk memberi tahu rakyat bagaimana peran PKI (Partai Komunis Indonesia) saat itu. Jadi, memang ada semacam muatan politik,” kata Amoroso.
BACA: TNI AD Gelar Nonton Bareng Film Pengkhianatan G30S/PKI
Pengakuan itu disampaikan Amoroso kepada Tempo yang mewawancarainya, 26 September 2012. Seperti dilansir majalah Tempo September 2012, Amoroso menuturkan bahwa memang kondisi PKI terhadap rakyat Indonesia seperti adanya film. “Tapi memang ada beberapa adegan yang berlebihan,” katanya.
Film Pengkhianatan G 30 S PKI yang berdurasi sekitar 220 menit ini diproduksi pada 1984, dan almarhum Arifin C. Noer didapuk menjadi sutradara film itu. Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto memerintahkan TVRI menayangkan film itu setiap 30 September. Murid-murid sekolah juga diwajibkan menonton film propaganda tentang pemberontakan PKI versi Soeharto atau Orde Baru ini.
BACA: Amoroso Katamsi: Pak Harto Tak Terlalu Ekspresif
Tempo, pada September 2000, membuat jajak pendapat tentang pengaruh film yang disutradarai Arifin C. Noer ini. Hasil indoktrinasi lewat buku sejarah dan media propaganda itu sungguh dahsyat. Responden dari 1.110 pelajar SMA di tiga kota (Surabaya, Medan, dan Jakarta) jadi begitu konservatif, menolak semua yang berbau PKI dan komunis.
BACA: 3 Pemeran Sentral di Film Pengkhianatan G30S/PKI
Menurut sebagian besar responden, komunisme itu melulu paham yang antiagama (69 persen) dan sangat radikal (24 persen). Meski komunisme sudah ditumpas puluhan tahun silam dari bumi Indonesia—dan tak laku dijual sebagai ideologi di berbagai negara—banyak yang masih percaya ia akan bangkit kembali (47 persen). Karena itu, separuh responden berpendapat sebaiknya komunisme tak diajarkan sebagai ilmu pengetahuan. Buku-buku tentang komunisme juga sebaiknya dilarang beredar.
BACA: Film Pengkhianatan G30S/PKI di Mata 'Soeharto'
Sebagian besar responden juga percaya adegan yang ada dalam Pengkhianatan G 30 S PKI itu benar-benar terjadi. Padahal, faktanya belum tentu demikian. Sulami, seorang bekas anggota Gerwani, organisasi onderbouw PKI, contohnya, menyangkal ada anggota kelompoknya yang menari-nari di Lubang Buaya sewaktu para jenderal dibawa ke sana, seperti yang digambarkan dalam film itu. Kepada Tempo, Sulami bahkan menolak disebut terlibat dalam gerakan penculikan itu.
Menurut data Peredaran Film Nasional yang tertulis dalam situs Filmindonesia.or.id judul semula Pengkhianatan G 30 S PKI adalah SOB (Sejarah Orde Baru). Karya berdana Rp 800 juta tersebut menjadi film terlaris pertama di Jakarta pada 1984 dengan 699.282 penonton. Jumlah ini merupakan rekor tersendiri, yang belum terpecahkan hingga 1995.
BACA: PFN Tak Masalah bila Film G 30 S PKI Diputar Kembali
Tapi ketika reformasi bergulir, pada September 1998, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengumumkan film yang dibuat pada 1984 ini diputuskan tidak diputar atau diedarkan lagi. Begitu juga film Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1981). Alasannya, berbau rekayasa sejarah dan mengkultuskan seorang presiden.
Kini, memperingati kejadian 30 September, TNI AD akan menayangkan kembali film Pengkhianatan G 30 S PKI itu.
WDA | PDAT