ARSITEKTUR tak selalu bisa ditembus akal. Yuswadi Saliya,
ketua Jurusan Arsitektur ITB, pernah terheran-heran ketika
mengnap di rumah seorang undagi (arsitek tradisional) di
Bali. Soalnya, tak seekor nyamuk pun yang, mengganggunya
selama menginap di situ. Padahal lingkungan itu terkenal
banyak nyamuk. Rahasianya? "Rumah ini dibangun untuk manusia,
bukan untuk serangga," jawab tuan rumah.
Jawaban itu tentu saja tak memuaskan Yuswadi.Tapi tuan rumah
tetap tak bisa menerangkan rahasianya. Karena banyak
menghadapi hal serupa, maka Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)
membuka diskusi tentang hal-hal yang, tak masuk akal dalam
arsitektur. Acara ini adalah bagian dari Pameran Karya Arsitek
Indonesia ke-2, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan lalu.
Selain itu, ada pula sebab lain. Para arsitek tak jarang harus
mengalah pada keyakinan bouwheer alias pemesan. Misalnya,
satu rencana rumah yang, sudah dibuat dengan memperhitungkan
segala aspek lingkungan dan estetikanya terpaksa diubah hanya
karena pemesan menghendaki halaman belakang dibuat lebih luas.
Dan itu hanya lantaran si pemilik takut di jauhi rezeki, bila
halaman belakang rumahnya sempit.
Diskusi para arsitek yang berjudul "Aspek Paranormal dalam
Arsitektur Indonesia" itu nyaris jadi sarasehan ilmu kebatinan.
Karena contoh yang dikemukakan banyak bukan hal yang asing. Dan
tak lagi bisa disebut "yang tak bisa ditembus akal".
Contoh-contoh itu, misalnya, pantangan membangun rumah dengan
pintu depan dan belakang langsung berhadapan. Atau, kepercayaan
masyarakat pesisir selatan Jawa Tengah, yang pantang membangun
rumah menghadap ke utara, membelakangi laut. Katanya, takut
dikutuk karena membelakangi Nyi Koro Kidul, ratu jin dan hantu
di kawasan itu.
Padahal, dua contoh itu maksudnya sederhana. Suatu upaya agar
orang membangun rumah dengan memperhitungkan jalanya angin.
Jika pintu depan dan belakang langsung berhadapan, ruang dalam
akan diterpa angin cukup keras. Dan rumah menghadap ke utara
di pesisir selatan, tentu saja akan menampung angin malam
yang buruk. Sebab, malam hari udara bergerak dari darat ke
laut.
Cotoh lain dikemukakan oleh Ir. Humar, seoarang arsitektur
Jakarta yang hadir dalam diskusi, tentang tidak "sehat"-nya
rumah yang terletak pada titik potong pertigaan dua jalan yang
berbentuk "T". Orang Jawa bilang omah sunduk sate. Itu sebabnya
rumah yang terletak di titik potong pertigaan Jalan Abdul Muis
dengan Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat, memasang boneka naga
dengan dua mata melotot ke depan. Seolah-olah sebagai sarana
penolak bala. Padahal, maksudnya, agar kedua mata naga bila
terkena pantulan lampu mobil di malam hari bersinar cukup terang
- tanda peringatan agar pengendara mobil berhati-hati, jangan
menabrak.
Tentang rumah antinyamuk di Bali, rahasianya masih belum
terpecahkan. Ada yang mengira karena rumah itu punya sistem
pentilasi tetentu. Ada pula dugaan, dindingnya dilapis sesuatu
yang bisa mengusir nyamuk. Sebab, di Bali ada kebiasaan menanam
kayu lapuk di sudut halaman rumah dan menuangkan air gula di
sekeliling bangunan untuk mencegah rayap dan semut naik ke
rumah. Menurut Undagi Ida Bagus Tugur, 56, arsitektur
tradisional Bali punya patokan yang disebut wisma karma. Mereka
yang membangun rumah menyalahi aturan akan dihukum. Misalnya,
tidak kerasan di rumah, atau akan sakit-sakitan.
Jadi, apa sesungguhnya aspek paranormal dalam arsitektur?
Istilah berbau mistik ini agaknya cuma untuk menyebut hal-hal
yang belum bisa diuraikan akal. "Kenyataan memang mendahului
bahasa," kata Yusadi. Ia mengharapkan agar orang tak keburu
mengambil kesimpulan yang bukan-bukan. Sebab, penciptaan,
termasuk penciptaan karya arsitektur, bersumber pada manusia
yang kadang kala daya ciptanya tak bisa di jeiaskan akal.
Seorang arsitek, yang tidur semalam suntuk di tanah yang akan
didirikan bangunan, bisa saja karena ia hanya ingin tahu suasana
di lingkungan itu dengan pengalaman sendiri. Bukan untuk mencari
wangsit atau mengusir roh halus. Seperti suatu kelompok orang
yang mengadakan rapat di gunung, cuma karena tak ingin diganggu
deringnya telepon di kantor.
Itu pula yang dikatakan Arsitek Raden Ngabehi Mintoboedojo, 71,
yang merancang masjid Keraton Yogyakarta. Masjid soko tunggal
atau bertiang satu itu bukan karena ada apa-apanya harus dibikin
dengan penyangga cuma satu tiang. "Cuma untuk melambangkan
Ketuhanan Yang Maha Esa," katanya.
KALAU toh ada yang ditimba dari yang bukan "ilmu" arsitektur,
itu adalah "konstruksi yang meminjam kekuatan alam." Menurut
Mintoboedojo, contoh konstruksi alam yang sempurna adalah tubuh
manusia. Makanya, atap masjid keraton yang dibuatnya mirip jari
tangan disilangkan .
Meminjam kekuatan alam, dalam arsitektur disebut bioarsitektur,
adalah hal yang normal. Misalnya, kita sudah mengenal konstruksi
cakar ayam, atau konstruksi atap yang mirip daun.
Yang tersirat dari diskusi paranormal ini adalah seperti ada
kejenuhan dalam dunia arsitektur kita. Hingga para arsitek
mencari sumber penciptaan yang lain: arsitektur tradisional. Dan
sesungguhnya kecenderungan itu sudah muncul ketika rumah modern
dibangun dengan atap model joglo, dan ruang di dalamnya diberi
ornamen tradisional.
Ini mirip dengan yang terjadi di dunia teater Indonesia beberapa
waktu lalu. Ketika itu, beberapa tokoh teater menggali lenong,
wayang orang, randai, dan ketoprak. Sebab, menurut mereka,
akting dalam teater modern di Indonesia selama ini terlalu
Barat. Misalnya, orang berbicara sambil mondar-mandir dan
memegang gelas - bukan gaya hidup orang Indonesia, yang lebih
suka duduk.
Adakah penggalian yang tradisional itu sempat menangkap makna
konsepnya, atau sekadar bentuk permukaan ? Mengingat kini
banyak karya arsitektur yang kenes, kejawa-jawaan, atau
keaceh-acehan -yang sebagai karya seni bangunan
sesungguhnya dibawah mutu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini