Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Arsitektur paranormal?

Diskusi para arsitek, membahas masalah aspek paranormal dalam arsitektur indonesia. bagian dari pameran karya arsitek indonesia ke-2 di tim jakarta. (ilt)

5 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARSITEKTUR tak selalu bisa ditembus akal. Yuswadi Saliya, ketua Jurusan Arsitektur ITB, pernah terheran-heran ketika mengnap di rumah seorang undagi (arsitek tradisional) di Bali. Soalnya, tak seekor nyamuk pun yang, mengganggunya selama menginap di situ. Padahal lingkungan itu terkenal banyak nyamuk. Rahasianya? "Rumah ini dibangun untuk manusia, bukan untuk serangga," jawab tuan rumah. Jawaban itu tentu saja tak memuaskan Yuswadi.Tapi tuan rumah tetap tak bisa menerangkan rahasianya. Karena banyak menghadapi hal serupa, maka Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) membuka diskusi tentang hal-hal yang, tak masuk akal dalam arsitektur. Acara ini adalah bagian dari Pameran Karya Arsitek Indonesia ke-2, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan lalu. Selain itu, ada pula sebab lain. Para arsitek tak jarang harus mengalah pada keyakinan bouwheer alias pemesan. Misalnya, satu rencana rumah yang, sudah dibuat dengan memperhitungkan segala aspek lingkungan dan estetikanya terpaksa diubah hanya karena pemesan menghendaki halaman belakang dibuat lebih luas. Dan itu hanya lantaran si pemilik takut di jauhi rezeki, bila halaman belakang rumahnya sempit. Diskusi para arsitek yang berjudul "Aspek Paranormal dalam Arsitektur Indonesia" itu nyaris jadi sarasehan ilmu kebatinan. Karena contoh yang dikemukakan banyak bukan hal yang asing. Dan tak lagi bisa disebut "yang tak bisa ditembus akal". Contoh-contoh itu, misalnya, pantangan membangun rumah dengan pintu depan dan belakang langsung berhadapan. Atau, kepercayaan masyarakat pesisir selatan Jawa Tengah, yang pantang membangun rumah menghadap ke utara, membelakangi laut. Katanya, takut dikutuk karena membelakangi Nyi Koro Kidul, ratu jin dan hantu di kawasan itu. Padahal, dua contoh itu maksudnya sederhana. Suatu upaya agar orang membangun rumah dengan memperhitungkan jalanya angin. Jika pintu depan dan belakang langsung berhadapan, ruang dalam akan diterpa angin cukup keras. Dan rumah menghadap ke utara di pesisir selatan, tentu saja akan menampung angin malam yang buruk. Sebab, malam hari udara bergerak dari darat ke laut. Cotoh lain dikemukakan oleh Ir. Humar, seoarang arsitektur Jakarta yang hadir dalam diskusi, tentang tidak "sehat"-nya rumah yang terletak pada titik potong pertigaan dua jalan yang berbentuk "T". Orang Jawa bilang omah sunduk sate. Itu sebabnya rumah yang terletak di titik potong pertigaan Jalan Abdul Muis dengan Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat, memasang boneka naga dengan dua mata melotot ke depan. Seolah-olah sebagai sarana penolak bala. Padahal, maksudnya, agar kedua mata naga bila terkena pantulan lampu mobil di malam hari bersinar cukup terang - tanda peringatan agar pengendara mobil berhati-hati, jangan menabrak. Tentang rumah antinyamuk di Bali, rahasianya masih belum terpecahkan. Ada yang mengira karena rumah itu punya sistem pentilasi tetentu. Ada pula dugaan, dindingnya dilapis sesuatu yang bisa mengusir nyamuk. Sebab, di Bali ada kebiasaan menanam kayu lapuk di sudut halaman rumah dan menuangkan air gula di sekeliling bangunan untuk mencegah rayap dan semut naik ke rumah. Menurut Undagi Ida Bagus Tugur, 56, arsitektur tradisional Bali punya patokan yang disebut wisma karma. Mereka yang membangun rumah menyalahi aturan akan dihukum. Misalnya, tidak kerasan di rumah, atau akan sakit-sakitan. Jadi, apa sesungguhnya aspek paranormal dalam arsitektur? Istilah berbau mistik ini agaknya cuma untuk menyebut hal-hal yang belum bisa diuraikan akal. "Kenyataan memang mendahului bahasa," kata Yusadi. Ia mengharapkan agar orang tak keburu mengambil kesimpulan yang bukan-bukan. Sebab, penciptaan, termasuk penciptaan karya arsitektur, bersumber pada manusia yang kadang kala daya ciptanya tak bisa di jeiaskan akal. Seorang arsitek, yang tidur semalam suntuk di tanah yang akan didirikan bangunan, bisa saja karena ia hanya ingin tahu suasana di lingkungan itu dengan pengalaman sendiri. Bukan untuk mencari wangsit atau mengusir roh halus. Seperti suatu kelompok orang yang mengadakan rapat di gunung, cuma karena tak ingin diganggu deringnya telepon di kantor. Itu pula yang dikatakan Arsitek Raden Ngabehi Mintoboedojo, 71, yang merancang masjid Keraton Yogyakarta. Masjid soko tunggal atau bertiang satu itu bukan karena ada apa-apanya harus dibikin dengan penyangga cuma satu tiang. "Cuma untuk melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa," katanya. KALAU toh ada yang ditimba dari yang bukan "ilmu" arsitektur, itu adalah "konstruksi yang meminjam kekuatan alam." Menurut Mintoboedojo, contoh konstruksi alam yang sempurna adalah tubuh manusia. Makanya, atap masjid keraton yang dibuatnya mirip jari tangan disilangkan . Meminjam kekuatan alam, dalam arsitektur disebut bioarsitektur, adalah hal yang normal. Misalnya, kita sudah mengenal konstruksi cakar ayam, atau konstruksi atap yang mirip daun. Yang tersirat dari diskusi paranormal ini adalah seperti ada kejenuhan dalam dunia arsitektur kita. Hingga para arsitek mencari sumber penciptaan yang lain: arsitektur tradisional. Dan sesungguhnya kecenderungan itu sudah muncul ketika rumah modern dibangun dengan atap model joglo, dan ruang di dalamnya diberi ornamen tradisional. Ini mirip dengan yang terjadi di dunia teater Indonesia beberapa waktu lalu. Ketika itu, beberapa tokoh teater menggali lenong, wayang orang, randai, dan ketoprak. Sebab, menurut mereka, akting dalam teater modern di Indonesia selama ini terlalu Barat. Misalnya, orang berbicara sambil mondar-mandir dan memegang gelas - bukan gaya hidup orang Indonesia, yang lebih suka duduk. Adakah penggalian yang tradisional itu sempat menangkap makna konsepnya, atau sekadar bentuk permukaan ? Mengingat kini banyak karya arsitektur yang kenes, kejawa-jawaan, atau keaceh-acehan -yang sebagai karya seni bangunan sesungguhnya dibawah mutu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus