Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika kawan-kawannya berteduh menghindari terik matahari siang bolong, Adam Brumm memilih berjalan-jalan di sekitar situs penggalian di Mata Menge. Ketika melewati sebuah bekas kandang ternak, tanpa sengaja Brumm melihat beberapa batu berserak di tanah.
Dia menduga batu itu berasal dari tebing yang longsor di atasnya. Saat itu, lima tahun lalu, Brumm dan teman-temannya sudah berbulan-bulan melakukan penggalian di Mata Menge, Kabupaten Nanga, Pulau Flores, beberapa ratus meter dari tempat batu-batu itu ditemukan. ”Saya menduga umurnya sudah sangat tua,” kata Brumm, pertengahan bulan lalu.
Dengan tertatih-tatih, Brumm mencari jalan kembali ke Mata Menge dan memanggil teman-temannya ke bekas kandang ternak itu. Setelah menggali beberapa meter, tim gabungan peneliti dari Universitas Wollongong, Australia, paleontolog dari Badan Geologi Bandung, dan Universitas Roskilde, Denmark, itu menemukan 45 artefak batu.
Penemuan di Wolo Sege, Lembah Soa, Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, itu meruntuhkan kesimpulan selama ini bahwa manusia prasejarah baru mulai mendiami pulau itu sejak 880 ribu tahun lalu. Dengan teknik radiometri argon terhadap lapisan tanah tempat alat batu itu ditemukan, Brumm menyimpulkan umur artefak itu 1,02 juta tahun hingga 1,08 juta tahun. Hasil penelitian Brumm itu dipublikasikan di jurnal Nature pertengahan Maret lalu. ”Perhitungan mereka sangat solid,” kata Paul Renne, geolog dari Berkeley Geochronology Center, California, AS.
Memang tidak semua ahli purbakala sepakat dengan hitung-hitungan Brumm dan timnya. Penemuan artefak di lapisan sedimen yang sudah berumur jutaan tahun, menurut antropolog dari Universitas Illinois, Chicago, James Phillips, tidak serta-merta berarti usia artefak itu pun sudah jutaan tahun. ”Ada banyak cara, misalnya akibat pergerakan air, bisa jadi membawa artefak itu menembus lapisan tanah yang lebih tua,” kata Phillips.
Fachroel Aziz, anggota tim Brumm dan paleontolog senior dari Badan Geologi, menyanggah teori Phillips. Teori Phillips boleh jadi benar jika alat-alat berburu dari bebatuan itu terletak di permukaan lapisan sedimen. ”Tapi artefak ini kan ditemukan tertanam dalam lapisan tanah, bukan di permukaannya.” Jika hitung-hitungan Brumm dan timnya ini akurat, boleh jadi peradaban manusia di Flores sudah hampir setua kehidupan manusia purba di Pulau Jawa.
Pertanyaannya, kata Aziz, siapa yang membuat alat-alat berburu dari batu itu. Belum ada jawaban yang pasti. ”Karena tidak ditemukan fosil tulang manusia di Mata Menge ataupun di Wolo Sege,” kata Aziz. Dia dan Brumm berhipotesis, nenek moyang manusia kerdil purba di Liang Bua-lah pembuatnya.
Mereka beralasan, sejak dulu Pulau Flores terisolasi oleh laut dari daratan besar lainnya, baik paparan Sunda maupun Australia. Hobbit—sebutan komunitas kerdil di cerita fiksi J.R.R. Tolkien, The Lord of the Rings—dari Liang Bua-lah kemungkinan satu-satunya manusia prasejarah yang mendiami Flores, bersama gajah mini (Stegodon sondaari) dan kura-kura raksasa (Geochelone spp.).
SETELAH hampir tujuh tahun ditemukan, asal-muasal hobbit Liang Bua belum mengerucut pada satu kesimpulan atau teori. Penemuan Adam Brumm di Wolo Sege pun tak membuat asal-muasal manusia kerdil purba di Liang Bua lebih terang. Jarak usia artefak Wolo Sege dengan umur hobbit Liang Bua sangat jauh. ”Penemuan baru ini sangat menyenangkan,” kata Brumm. ”Tapi juga membuat frustrasi, karena kami sampai sekarang tetap belum tahu kapan pertama kali manusia menginjakkan kaki di Flores.”
Pada September 2003, tim yang dipimpin Mike Morwood dari Universitas New England, Australia, bersama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, menemukan fosil tengkorak dan kemudian beberapa tulang manusia lain di Gua Liang Bua. Penemuan fosil manusia di Kabupaten Manggarai, wilayah paling barat Pulau Flores, itu membuat gempar kalangan ahli purbakala.
Mike Morwood mengukur tinggi hobbit Liang Bua ini cuma 106 meter. Dia berjalan dengan kedua kaki, kepalanya sebesar jeruk bali dengan volume otak 380 sentimeter kubik atau hanya seperempat volume otak manusia saat ini. Besar otak manusia kerdil ini sama dengan simpanse. Dia hidup 13 ribu hingga 95 ribu tahun lalu.
Morwood yakin, hobbit Liang Bua merupakan spesies baru di keluarga manusia atau homo. Manusia kerdil ini dinamai Homo floresiensis. Terisolasi di Pulau Flores dengan makanan sangat minim selama beratus-ratus tahun membuat tubuh nenek moyang hobbit Liang Bua pelan-pelan mengkerut dan mengecil. Kekurangan hipotesis Morwood ini, belum ditemukan fosil tulang manusia Flores yang lebih tua dari hobbit Liang Bua.
Paleoantropolog Universitas Gadjah Mada, Teuku Jacob, dan antropolog Field Museum of Natural History, Chicago, Robert Martin, menolak teori Marwood. Menurut Martin, hipotesis Morwood berlawanan dengan hukum dasar biologi. Berdasarkan hukum itu, ”Jika ukuran tubuh mengkerut menjadi setengahnya, volume otak manusia tak berkurang separuh, tapi hanya mengkerut sekitar 15 persen.”
Teuku Jacob menduga, manusia mini di Liang Bua itu adalah Homo sapiens yang bermigrasi dari Pulau Jawa dan mengidap penyakit mikrosefali. Penyakit ini membuat volume otak mengkerut dari ukuran normal.
Namun Morwood menepis kemungkinan nenek moyang hobbit adalah Homo sapiens yang terkena mikrosefali. Rentang hidup hobbit yang panjang, yakni 95 ribu hingga 18 ribu tahun yang lalu, menunjukkan mereka bukan pengidap mikrosefali. Aziz juga meragukan teori migrasi manusia purba dari Pulau Jawa. ”Arus laut di Selat Lombok terlalu kuat,” katanya. Jika manusia Jawa mengarungi selat itu, mereka akan hanyut terseret arus, menjauhi Pulau Flores.
Beberapa penelitian menguatkan hipotesis Morwood. Antropolog Florida State University, Dean Falk, membandingkan bentuk otak hobbit dengan sepuluh otak manusia normal, sembilan otak penderita mikrosefali, dan seorang kerdil. Dengan menggunakan permodelan statistik, ternyata bentuk otak hobbit lebih mendekati otak manusia normal ketimbang otak penderita mikrosefali.
Menurut Falk, otak hobbit berbeda dengan otak penderita mikrosefali, dan belum tahu kapan pertama kali manusia menginjakkan kaki di Flores, berevolusi dengan cara yang berbeda dengan otak manusia normal. ”Sulit dipercaya, seseorang dengan otak kecil memiliki kemampuan membuat alat dari batu,” ujar Falk.
Peneliti lain, Debbie Argue, arkeolog dari Universitas Nasional Australia, membandingkan kerangka dua hobbit dengan kerangka manusia purba dan juga fosil prasejarah lain seperti Australopithecus. Kesimpulannya, kekerabatan hobbit mendekati manusia purba Afrika yang umurnya sudah lebih dari dua juta tahun.
Bentuk tulang panggul dan beberapa tulang lain mirip Homo habilis, yang berumur 1,4 juta hingga 2,3 juta tahun. Fosil Homo habilis ditemukan di Tanzania dan Kenya. Keduanya di Afrika. Tinggi rata-rata Homo habilis hanya 1,3 meter dengan volume otak 363 sentimeter kubik hingga 600 sentimeter kubik. Tak banyak beda dengan hobbit Liang Bua.
Argue memperkirakan, nenek moyang manusia kerdil Liang Bua meninggalkan benua hitam itu 1,66 juta tahun hingga 1,9 juta tahun lalu. Sebagian dari mereka terdampar di Flores. Bagaimana manusia kerdil dengan langkah-langkah pendek itu bisa mendarat di Flores, yang jaraknya dari Kenya lebih dari sepuluh kali panjang Pulau Jawa, ada sekian banyak teori.
Fachroel Aziz punya hipotesis, rombongan manusia kerdil itu menuju Flores dari arah Sulawesi. Dugaan itu berdasarkan kemiripan gajah mini antara Flores dan Sulawesi. Di Flores ada Stegodon sondaari, sementara di Sulawesi pernah hidup Stegodon sompoensis. Tapi ini hanya satu teori di antara beberapa teori lain. Semuanya masih perlu bukti.
Sapto Pradityo (ABC, BBC, The Age, Observer)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo