Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DERING telepon pada pukul 05.00 membangunkan William G. Kaelin, peneliti di Dana-Farber Cancer Institute, Boston, Amerika Serikat. Panggilan pada Senin, 7 Oktober lalu, itu rupanya dari Karolinska Institutet di Stokholm, Swedia, yang mengabarkan bahwa Kaelin dan kolega senegaranya dari John Hopkins University, Gregg L. Semenza, serta Peter J. Ratcliffe dari Oxford University, Inggris, diganjar panitia Hadiah Nobel Fisiologi dan Kedokteran 2019.
Komite Nobel selalu langsung menghubungi pemenang Hadiah Nobel di mana pun mereka berada, tak peduli akan perbedaan waktu yang membelah dunia, setelah pengumuman dirilis. Kaelin masih merasa seperti bermimpi kala menerima ucapan selamat. “Rasanya aneh, tapi aku juga langsung bersemangat membagikan kabar gembira itu kepada mereka yang selama ini membantuku,” kata Kaelin dalam siaran pers Dana-Farber Cancer Institute.
Ratcliffe juga segera dihubungi perwakilan Komite Nobel. Sempat terbata-bata pada awal percakapan setelah menerima ucapan selamat, Ratcliffe menyatakan kabar ini sangat penting bagi ilmu pengetahuan. Menurut dia, apa yang dihasilkan para peneliti berasal dari riset panjang yang bisa membutuhkan dana besar. Namun yang terpenting baginya adalah bagaimana mengarahkan ilmu pengetahuan untuk kepentingan publik. “Kami hanya menyumbangkan ilmu pengetahuan dan itulah yang selama ini kulakukan,” ucapnya seperti dilaporkan situs Nobelprize.org.
Riset Kaelin, Semenza, dan Ratcliffe membantu mengungkap kemampuan sel tubuh merasakan dan beradaptasi dengan kadar oksigen berbeda. Melakukan penelitian terpisah sejak 1990-an, mereka mengidentifikasi mekanisme molekuler yang mengatur aktivitas gen dalam merespons oksigen. “Penemuan dasar ini berdampak pada setiap aspek di tubuh dan aplikasinya sangat luas,” ujar anggota Komite Nobel, Randall Johnson.
Semenza menemukan hormon erythropoietin (EPO) yang membuat sel tubuh beradaptasi dalam kondisi kekurangan oksigen (hipoksia). Dia juga mengidentifikasi protein dan gen yang bertanggung jawab dalam proses tersebut. Riset yang dia lakukan bersama Ratcliffe menunjukkan mekanisme itu terjadi di seluruh jaringan tubuh, bukan hanya di ginjal, yang memproduksi EPO. Adapun Kaelin menemukan respons genetik serupa kala meneliti mutasi gen penyakit Von Hippel-Lindau, yang memicu pertumbuhan tumor.
Oksigen mengisi seperlima komposisi atmosfer bumi. Elemen ini menjadi kunci penting dalam kehidupan manusia. Selama evolusi, tubuh mengembangkan mekanisme yang menjamin pasokan oksigen ke seluruh jaringan tisu dan sel. Setiap molekul oksigen yang dihirup melalui paru-paru dikirim ke seluruh tubuh dengan menumpang hemoglobin di sel darah merah lewat jaringan pembuluh darah. Sel-sel di dalam organ dan jaringan tisu lalu mengambil oksigen itu agar tetap berfungsi.
Riset Otto Warburg, penerima Hadiah Nobel Fisiologi dan Kedokteran 1931, menunjukkan triliunan sel dalam tubuh memanfaatkan oksigen untuk membantu mengubah asupan makanan menjadi energi. Corneille Heymans, penerima Hadiah Nobel pada 1938, menemukan sel spesial dalam pembuluh darah karotis di leher yang dapat mengenali level oksigen dan berkomunikasi langsung dengan otak untuk menyesuaikan sistem pernapasan.
Sel-sel tubuh ternyata juga memiliki kemampuan beradaptasi dengan kadar oksigen berbeda. Proses fundamental ini menjadi kunci dalam perkembangan embrio, kemampuan tubuh menyesuaikan diri di daerah tinggi yang kadar oksigennya tipis, dan olahraga. Pasokan oksigen yang terlalu sedikit membuat sel tak bisa memproduksi energi. Tapi terlalu banyak oksigen malah mubazir.
Lokasi dan aktivitas mempengaruhi kemampuan sel tubuh dalam merespons oksigen. Makin tinggi lokasi, kadar oksigen yang tersedia untuk tubuh makin sedikit. Orang dengan aktivitas fisik tinggi dan menghabiskan banyak energi, seperti atlet, memerlukan oksigen lebih banyak. Tubuh orang yang sehat bisa lebih mudah dan cepat menyesuaikan jumlah oksigen yang diperlukan.
Riset Semenza dan Ratcliffe menunjukkan sel tubuh mengelola mekanisme adaptasi dengan oksigen ini lewat bantuan protein hypoxia induced factor (HIF). Protein ini mengendalikan ratusan hingga ribuan gen untuk menjaga asupan oksigen tetap stabil. HIF meningkat ketika kadar oksigen menyusut, yang menjadi kode bagi tubuh untuk memproduksi lebih banyak sel darah merah.
Andrew Murray, ilmuwan dari University of Cambridge, Inggris, mengatakan karya ketiga penerima Hadiah Nobel itu membuka jalan untuk penyusunan strategi penanganan kondisi gangguan kesehatan yang membahayakan. “Hipoksia muncul dalam berbagai penyakit, seperti gagal jantung, penyakit paru-paru kronis, dan kanker,” katanya seperti ditulis The Guardian.
Riset tentang mekanisme sel tubuh merespons oksigen ini berperan besar dalam pengembangan pengobatan sejumlah penyakit. Salah satunya anemia, kelainan yang membuat tubuh tidak mampu memproduksi sel darah merah dalam jumlah yang cukup untuk mengangkut oksigen ke organ dan jaringan tubuh. Para peneliti di Cina, seperti dilaporkan Wired, membuat obat anemia yang bisa meningkatkan aktivitas sel darah merah.
Obat untuk tumor dan kanker pun terus dikembangkan. Sel tumor tumbuh dalam kadar oksigen rendah. Sejumlah sel kanker juga mengembangkan trik untuk mengalahkan sistem HIF guna menarik pembuluh darah lebih banyak demi menyokong pertumbuhannya.
Semenza dan koleganya terus mempelajari sistem sel itu dan berharap bisa menemukan metode baru penanganan penyakit. “Itu target utama kami yang tak akan berubah. Jadi perjuangan ini masih berlanjut,” tuturnya seperti dilaporkan USA Today.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (NOBELPRIZE.ORG, JSTOR DAILY, WIRED, POPULAR MECHANICS, QUARTZ)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo