Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
DeepSeek meluncurkan AI model simulasi logika yang menghebohkan industri kecerdasan buatan.
Tak hanya memancing sentimen di pasar saham, tensi geopolitik Amerika Serikat-Cina juga meningkat dalam persaingan pengembangan teknologi.
Kehadiran DeepSeek masih menyisakan banyak pertanyaan, tapi juga peluang besar.
KEJUTAN besar datang dari timur. Perusahaan rintisan teknologi asal Cina, Hangzhou DeepSeek Artificial Intelligence Co Ltd, mengguncang industri kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) global dengan capaian yang disebut-sebut luar biasa. Aplikasi AI mereka, DeepSeek, merangsek ke puncak toko aplikasi berbasis iOS dan Android, menyalip dominasi ChatGPT milik OpenAI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merujuk pada data firma penyedia analisis aplikasi berbasis di New York, Amerika Serikat, Appfigures, DeepSeek telah menempati peringkat pertama kategori aplikasi gratis di 52 negara per 27 Januari 2025. Aplikasi berlogo paus biru itu juga menjadi yang teratas di Amerika Serikat, rumah bagi OpenAI dan Google yang selama ini berlomba mengembangkan teknologi AI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Aplikasi ini sekarang berada dalam daftar top 10 aplikasi gratis di 111 negara di App Store dan di 18 negara di GooglePlay,” demikian yang tertulis dalam laporan Appfigures dikutip dari TechCrunch.
DeepSeek memiliki dua model AI utama. Perusahaan yang bermarkas di Kota Hangzhou, Cina, ini lebih dulu merilis DeepSeek V3 pada Desember 2024, hasil pengembangan AI model interaksi teks (chatbot) mereka sebelumnya. Teranyar, DeepSeek R1 diluncurkan pada 20 Januari 2025. Sebagai model simulasi proses logika manusia (reasoning model), R1 melengkapi infrastruktur DeepSeek yang sekarang dianggap setara dengan pengembang teknologi AI asal AS, seperti OpenAI, Meta, dan Google.
Aplikasi DeepSeek di layar di telepon seluler. REUTERS/Florence Lo
Peluncuran itu mencuri perhatian karena DeepSeek mengklaim mengembangkan R1 hanya dalam kurun waktu dua bulan. Biaya yang dihabiskan juga kurang dari US$ 6 juta—sekitar Rp 98 miliar dengan kurs rupiah saat ini 16.347 per dolar AS. Angka ini jauh lebih murah ketimbang investasi yang digelontorkan pemain utama AI di Silicon Valley.
Sebagai perbandingan, OpenAI membutuhkan waktu satu dekade untuk mencapai posisinya saat ini. Nilai pendanaan yang dihabiskan perusahaan milik Sam Altman ini ditaksir telah menembus Rp 105,6 triliun. OpenAI juga mempekerjakan 4.500 karyawan, sekitar 22 kali lebih banyak daripada DeepSeek.
Sementara itu, kemampuan DeepSeek R1 dianggap menyamai kinerja model GPT-4.5 OpenAI dalam berbagai metrik matematika dan penalaran. Dilansir dari Reuters, model AI Cina itu juga lebih murah bagi pengguna. Akses ke versi terkuatnya sekitar 95 persen lebih murah dibanding OpenAI dan pesaing lain.
Walhasil, jumlah pengunduhan aplikasi DeepSeek melonjak. Pada Jumat, 24 Januari 2025, platform ini mencatat 1 juta unduhan di App Store dan Google Play. Jumlahnya berlipat ganda menjadi 2,6 juta unduhan pada Senin pagi, tiga hari kemudian.
Mengguncang Persaingan AS dan Cina
Sensasi teknologi DeepSeek memantik sentimen di pasar modal. Senin lalu, Wall Street dirundung kepanikan. Nilai saham perusahaan teknologi AS rontok. Para investor kompak melakukan aksi jual besar-besaran karena ragu akan perlombaan AI di AS yang selama ini berbiaya tinggi. Nilai pasar Nvidia, produsen cip yang menjadi jantung pengembangan teknologi ini, anjlok hampir Rp 9.700 triliun.
Dikutip dari Antara, Kamis, 30 Januari 2025, pusat keuangan AS itu belum pernah terlihat mengalami kehancuran sehebat ini sejak era dot-com bubble. “Microsoft, Google, dan Meta ikut terseret dalam badai yang sama,” tulis laporan tersebut. “Para investor yang dulu percaya diri dengan dominasi Amerika di bidang AI kini panik. Sebab, ancaman itu nyata, bukan rudal, bukan senjata nuklir, melainkan sebuah algoritma cerdas yang lahir dari Cina.”
Washington pun bergerak cepat menghadapi gejolak tersebut. Presiden Donald Trump menggelar rapat darurat untuk membahas kehadiran pesaing baru ini. Kehadiran DeepSeek tak semata-mata dipandang sebagai bagian dari perkembangan digital yang biasa, tapi juga mempengaruhi peta persaingan dua episentrum ekonomi dunia. Cina, yang selama ini dianggap negara pabrikan, terus merangsek menjadi pemain utama dalam inovasi teknologi.
"Peluncuran DeepSeek, AI dari perusahaan Tiongkok, seharusnya menjadi peringatan bagi industri kita bahwa kita perlu berfokus penuh untuk bersaing demi menang," kata Trump ketika bertemu anggota parlemen dari Partai Republik dalam pertemuan kebijakan tahunan mereka.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump berpidato dalam pertemuan konferensi anggota DPR dari Partai Republik di resor Trump National Doral, Miami, Florida, AS, 27 Januari 2025. Reuters/Elizabeth Frantz
Namun Trump menilai munculnya model AI baru yang memicu kerugian saham sektor teknologi pada Senin lalu tetap bisa dilihat sebagai hal positif. "Jadi, alih-alih menghabiskan miliaran dan miliaran, Anda akan menghabiskan lebih sedikit dan, mudah-mudahan, menemukan solusi yang sama," ujarnya.
Chief Executive Ofiicer OpenAI Sam Altman, yang selama ini menjadi sosok sentral dalam industri kecerdasan buatan, menyebutkan model DeepSeek R1 sebagai sesuatu yang mengagumkan, terutama dalam hal efisiensi biaya. “Terutama dalam hal yang mereka tawarkan dengan harga tersebut,” kata Altman dalam unggahannya di platform X.
Meskipun demikian, Altman tetap menekankan bahwa OpenAI lebih berfokus pada peningkatan daya komputasi untuk mencapai kesuksesan dalam pengembangan AI mereka. “Kami bersemangat untuk terus menjalankan roadmap penelitian kami dan percaya bahwa daya komputasi yang lebih besar kini lebih penting dari sebelumnya untuk mencapai misi kami.”
Sementara itu, di Beijing sebaliknya, suasana justru dipenuhi keheningan yang sarat akan kemenangan. DeepSeek telah membuktikan bahwa dominasi AI tidak lagi monopoli Silicon Valley. Dengan pendekatan berbeda dan lebih efisien, yakni memanfaatkan data dalam jumlah masif serta keunggulan biaya, Cina mulai membangun jalannya sendiri dalam peta kecerdasan buatan global. DeepSeek seolah-olah membuktikan pengetatan ekspor teknologi yang diterapkan AS terhadap Cina tak ada artinya.
Peluncuran model AI oleh DeepSeek juga mengubah pandangan yang berkembang di Cina setelah peluncuran ChatGPT pertama yang setara dengan Baidu. Sebelumnya, banyak yang kecewa terhadap kesenjangan kemampuan AI antara perusahaan AS dan Cina. Namun kualitas dan efisiensi biaya yang ditawarkan oleh DeepSeek membalikkan narasi tersebut.
Ilustrasi aplikasi Qwen. REUTERS/Dado Ruvic
Bahkan, di tengah melonjaknya popularitas DeepSeek, perusahaan AI Cina lain, Alibaba, juga ikut merilis model AI terbaru mereka, Qwen 2.5-Max. Pada Rabu, 29 Januari 2025, yang bertepatan dengan perayaan tahun baru Imlek, model baru ini diklaim mampu mengungguli DeepSeek yang tengah naik daun. Hal ini menunjukkan tekanan yang ditimbulkan oleh lonjakan pesat DeepSeek yang tidak hanya pada pesaing luar negeri, tapi juga kompetitor domestiknya.
“Qwen 2.5-Max mengungguli hampir semua model GPT-4, DeepSeek-V3, dan Llama-3.1-405B,” kata unit cloud Alibaba dalam pengumuman yang diunggah di akun WeChat resmi perusahan, merujuk pada model AI open source paling canggih milik OpenAI, DeepSeek, dan Meta.
DeepSeek Masih Menyisakan Banyak Pertanyaan
Kegaduhan di Wall Street berangsur-angsur mereda sejak Rabu lalu. Namun kehadiran DeepSeek menyisakan banyak pertanyaan yang jawabannya penuh spekulasi.
Banyak yang ragu akan klaim bahwa R1 dikembangkan dalam waktu cepat dan dengan biaya murah. Kalaupun hal itu benar, pertanyaan besar muncul: bagaimana mungkin Cina, yang selama ini dibatasi sanksi AS dalam mengakses semikonduktor canggih, bisa mengejar dan mengancam—hegemoni AI Silicon Valley?
Reuters melaporkan, perusahaan-perusahaan semikonduktor lokal di Cina telah beradaptasi dengan mendesain ulang prosesor agar sesuai dengan kemampuan manufaktur yang tersedia di dalam negeri. Alternatif lain, termasuk teknik clustering, yaitu mengelompokkan prosesor yang kurang bertenaga menjadi satu, serta melatih model AI dengan data set yang lebih kecil. Para pengembang perangkat lunak juga mengoptimalkan algoritma agar lebih hemat daya. Sementara itu, perusahaan mempercepat penerapan model AI yang telah dilatih untuk menghasilkan jawaban lebih awal.
“Hasilnya cukup mengesankan, menunjukkan kesenjangan antara teknologi AI Cina dan AS tidak terlalu besar.”
Kendati menjadi wajah melejitnya pengembangan teknologi AI di Cina, DeepSeek dinilai masih punya banyak kelemahan. Baru-baru ini DeepSeek diduga mengalami serangan siber. Meski belum ada rincian spesifik mengenai insiden tersebut, para ahli menekankan bahwa model AI, terutama yang berbasis open source, berpotensi dieksploitasi oleh penjahat siber untuk berbagai tujuan berbahaya.
Leonid Bezvershenko, peneliti keamanan dari Kaspersky GReAT, mengungkapkan bahwa tren pemanfaatan AI untuk aktivitas siber tidaklah baru. Menurut dia, alat-alat ini juga dapat digunakan sebagai umpan untuk menyebarkan penipuan dan aplikasi berbahaya.
Bezvershenko menyoroti sifat open source DeepSeek sebagai faktor yang memiliki dua sisi: transparansi dan inovasi di satu sisi, tapi juga menghadirkan risiko keamanan di sisi lain. Saat menggunakan alat, pengguna tidak selalu dapat yakin bagaimana data ditangani, terutama jika orang lain telah menyebarkannya. “Sifat sumber terbukanya, merupakan pedang bermata dua,” katanya dalam keterangan tertulis, Kamis, 30 Januari 2025.
Analis Konten Web Senior di Kaspersky, Olga Svistunova, mengatakan dugaan serangan siber terhadap DeepSeek telah menyebabkan gangguan pada proses pendaftaran, yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber. Peretas dapat menggunakan halaman pendaftaran palsu untuk mengumpulkan e-mail dan kata sandi pengguna, yang kemudian dapat digunakan untuk mengakses akun mereka, baik di DeepSeek maupun layanan lain, jika kata sandi yang digunakan sama.
Dalam audit layanan penilaian keandalan NewsGuard, DeepSeek juga hanya mencatatkan akurasi sebesar 17 persen dalam menyampaikan berita dan informasi. Hasil ini menempatkannya di urutan kesepuluh dari sebelas dalam perbandingan dengan pesaing-pesaing AI lain, termasuk ChatGPT dan Google Gemini.
DeepSeek dinilai mengulang klaim palsu 30 persen dari waktu dan memberikan jawaban yang samar atau tidak berguna 53 persen dari waktu saat merespons permintaan terkait berita sehingga menghasilkan tingkat kegagalan sebesar 83 persen. Audit NewsGuard menunjukkan kinerja DeepSeek lebih buruk dibanding rata-rata tingkat kegagalan 62 persen dari kompetitor lain.
DeepSeek juga tak berdaya menghadapi pertanyaan yang sensitif soal Cina, misalnya tentang kebijakan terhadap Taiwan yang hingga kini masih menjadi isu kontroversial dan peristiwa Tiananmen pada 1989. DeepSeek sama sekali tidak memberikan jawaban mengenai peristiwa tersebut.
Tempo juga sempat menjajal dengan bertanya soal meme Presiden Cina Xi Jinping dengan Winnie the Pooh. Pada 2018, Cina menyensor kartun tersebut setelah banyak yang menyamakannya dengan Pooh. "Sorry, that's beyond my current scope. Let's talk about something else," demikian respons DeepSeek ketika ditanya mengenai topik-topik tersebut.
Peluang bagi Negara Berkembang
Terlepas dari segala kontroversi yang mungkin akan terjawab seiring dengan berjalannya waktu, kehadiran DeepSeek dinilai menawarkan peluang signifikan untuk mengoptimalkan potensi digital, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute Heru Sutadi menilai DeepSeek dapat menjadi game changer karena harga yang lebih terjangkau dan kemampuan meningkatkan penggunaan AI secara luas.
Heru juga menyoroti dampak geopolitik persaingan AI antara Amerika, Eropa, dan Cina. Indonesia, yang terletak di posisi strategis, berpotensi menjadi pasar utama bagi teknologi seperti ChatGPT atau DeepSeek. Menurut dia, jika Indonesia hanya menjadi pasar "kiri-kanan" tanpa mendapat keuntungan lebih, negara akan kehilangan potensi memaksimalkan manfaat teknologi ini.
“Sehingga memang seharusnya pemerintah memperkokoh posisi Indonesia. Tentu kita akan memilih teknologi yang memberikan manfaat yang besar bagi Indonesia. Misalnya, investasinya lebih besar, membuka lowongan pekerjaan, memberikan kontribusi perpajakan,” kata Heru kepada Tempo, Jumat, 31 Januari 2025.
Pakar keamanan siber Alfons Tanujaya juga melihat fenomena ini sebagai peluang bagi Indonesia untuk mengatasi ketertinggalan dalam bidang AI. DeepSeek menawarkan biaya yang jauh lebih murah—hanya sekitar 4 persen dari saingannya—tapi diklaim tetap mampu memberikan hasil yang sama. Keunggulan ini memungkinkan pemanfaatan AI oleh sektor usaha mikro, kecil, dan menengah di Indonesia untuk berbagai aplikasi, seperti analisis pasar serta pemasaran digital.
“Karena kita harus jujur kepada diri kita sendiri bahwa kita tertinggal jauh sekali. Dan halangan yang diciptakan, baik halangan sumber daya manusia dan, terutama, halangan dana investasi AI yang luar biasa mahal ini, bisa teratasi jika kita menggunakan DeepSeek,” kata Alfons.
Meski begitu, kerentanan yang juga perlu diwaspadai adalah server DeepSeek yang berbasis di Cina, meski OpenAI juga punya risiko serupa. Menurut Alfons, persaingan kedua negara ini makin ketat. “Pendulum seperti sedikit beralih ke Cina," ujarnya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo