Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DOSEN dan peneliti dari Departemen Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Fredy Kurniawan, mengembangkan alat deteksi gelatin babi dalam produk makanan olahan. Alat tersebut menggunakan sensor quartz crystal microbalance (QCM) yang dimodifikasi sehingga jejak gelatin babi dalam makanan bisa diketahui lebih cepat dan akurat.
QCM salah satu metode elektrokimia yang tergolong sederhana dalam penggunaan peralatan dan pengoperasian. Kunci dari sensor ini adalah material spesifik yang dapat mengenali gelatin babi. “Hasilnya bisa langsung keluar dalam tempo satu-dua menit,” kata Fredy pada Rabu, 15 Januari lalu.
Fredy dan timnya membuat detektor ini karena kebutuhan publik, terutama komunitas muslim, terhadap keamanan dan kehalalan pangan mereka. Sebab, banyak makanan olahan yang tidak mencantumkan informasi jelas tentang bahan-bahan produknya. “Detektor ini dapat membantu pengendalian produk halal,” tutur Fredy, yang menjabat Kepala Departemen Kimia ITS.
Gelatin banyak digunakan dalam industri obat-obatan dan makanan. Bahan ini biasanya dimanfaatkan sebagai penstabil, penebal, dan pengenyal pada roti. Gelatin juga dipakai sebagai bahan tambahan pada permen lunak, es krim, dan jeli. Rasa yang lembut dalam makanan olahan bisa didapat dari gelatin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumber gelatin terbesar makanan olahan berasal dari kulit babi, yaitu 45,8 persen. Sumber lain adalah kulit sapi, yang tingkat penggunaannya mencapai 28 persen, dan tulang sebesar 24 persen. Sisanya berasal dari bahan baku selain kulit dan tulang. Fredy mengatakan sangat sulit membedakan gelatin sapi dan babi secara fisik. “Strukturnya mirip dengan gelatin sapi,” katanya.
Sensor QCM mampu mendeteksi perbedaan respons yang diberikan gelatin babi dan nonbabi. Alat ini memanfaatkan sifat gelatin, yang larut dalam air. Sampel yang akan diuji tinggal dilarutkan dalam air. Bila sampel mengandung gelatin babi, nilai angka yang keluar dari pembaca naik. Sebaliknya, respons frekuensi yang muncul turun jika kandungannya gelatin nonbabi.
Fredy, yang timnya yang terdiri atas mahasiswa dan sejumlah dosen, mulai membuat sensor ini pada awal 2017. Tim peneliti juga mengembangkan perangkat pembaca hasil tes yang akurat. Penelitian ini mendapat dana riset dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Sensor yang dipakai saat ini berdiameter 3 sentimeter. Tim peneliti tengah merancang sensor yang lebih kecil dengan ukuran sekitar 0,5 sentimeter. Mereka juga sedang merancang instrumen itu menjadi perangkat yang lebih ringkas. Perangkat yang lebih kecil, menurut Fredy, lebih mudah dibawa dan digunakan. “Alat bisa dibawa ke lapangan, sampel tak perlu dibawa ke laboratorium,” ucapnya. “Pemilik alat juga tinggal membeli sensor jika stoknya habis.”
Penggunaan sensor QCM bisa menekan ongkos pengujian gelatin. Biaya pengujian di laboratorium bisa mencapai Rp 1 juta untuk satu sampel produk makanan. Dengan sensor QCM, biayanya bisa sepuluh kali lebih murah. Sensor QCM juga dapat dipakai hingga sepuluh kali untuk sampel produk berbeda. “Sudah diuji, kualitas hasil pengukurannya tidak berkurang,” ujar Fredy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo