TEMPO.CO, Jakarta - Demonstrasi besar menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di banyak daerah memicu kekhawatiran memunculkan klaster baru penularan penyakit infeksi virus corona 2019 alias Covid-19. Jangankan kontak fisik yang terjadi, seruan-nyanyian-orasi pun bisa menjadi sumber droplet dan aerosol berisi virus yang mudah menular itu.
Hal itu karena ribuan, bahkan puluhan ribu, orang datang dari berbagai daerah yang sebagian besar tidak hanya mengabaikan jarak fisik namun juga tidak mengenakan masker. "Jika terinfeksi, mereka dapat menyebarkan virus saat kembali ke komunitasnya," kata Ketua Tim Mitigasi Pengurus Bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), M. Adib Khumaidi, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat 9 Oktober 2020.
Dia menjelaskan, dari sisi medis dan berdasarkan sains, demonstrasi berisiko lebih tinggi daripada aktivitas yang lain dalam penularan Covid-19. Dia memperkirakan, dampak dari demo besar sepanjang Kamis itu, akan terjadi lonjakan masif yang akan terlihat dalam waktu 1-2 minggu mendatang.
Dia mengungkapkan itu sambil memgingatkan bahwa para tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan sudah kelimpungan menangani jumlah pasien Covid-19 yang terus bertambah. Total, hingga saat ini, dia menyebutkan ada 132 dokter dari 18 IDI Wilayah (provinsi) dan 61 IDI Cabang (Kota/Kabupaten) meninggal akibat Covid-19.
"Hal ini dikarenakan lonjakan pasien Covid-19 terutama orang tanpa gejala (OTG) yang mengabaikan perilaku protokol kesehatan di berbagai daerah juga meningkat," katanya.
Kekhawatiran yang sama telah disampaikan Ketua Satgas Covid-19 PB
IDI, Zubairi Djoerban, pada Kamis. Saat itu, dia meminta pemerintah sudah memikirkan dan menyiapkan antisipasinya. "Kalau membuat kebijakan yang diperkirakan bisa menuai demo, ya ditunda saja dulu," ujar dia.
Zubairi juga menyoroti rencana pilkada. Dia mengimbau seluruh lapisan masyarakat agar menghindari atau meniadakan kegiatan yang mengumpulkan orang banyak. Tujuannya supaya rantai penularan virus
corona dapat diputus.
"Saya mohon sekali untuk alasan apapun baik demo, pengajian, gereja, sekolah, konser musik dan sebagainya agar ditiadakan dulu," kata dia.
Terpisah, ahli epidemiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM), Riris Andono Ahmad, juga ngeri dengan dampak penularan Covid-19 dari sejumlah besar demonstrasi tersebut. Dia membandingkan dengan momen Lebaran yang mampu meningkatkan jumlah kasus positif tanpa skala massa kumpul-kumpul yang besar.
Riris Andono mengatakan dalam kerumunan yang besar seperti unjuk rasa, tidak ada yang dapat menjamin bahwa seluruh pesertanya tidak ada yang membawa virus. Termasuk mengenai disiplin protokol kesehatan.
"Lalu siapa yang bisa menjamin mereka tidak kontak dengan permukaan yang terkontaminasi, lalu entah menyentuh mulutnya atau matanya dalam kerumunan yang sebegitu besar," kata dia.
Selain itu, Riris Andono melanjutkan bahwa pelacakan kontak erat akan sulit dilakukan, apabila kemudian muncul kasus penularan
Covid-19. Ini karena tidak saling kenal orang di sekitarnya. "Kalau di pasar masih mungkin mengingat orang yang kontak tetapi kalau di kerumunan sulit," kata dia.
Riris juga menyesalkan kebijakan Pemerintah DIY yang sekalipun menetapkan status tanggap darurat tapi mengizinkan kerumunan besar demonstrasi. "Dalam situasi tanggap darurat semestinya bisa menggunakan pendekatan darurat," kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini