Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Dua Gigi Pengubah Sejarah

Dua gigi yang sempat terabaikan selama 130 tahun mengungkap keberadaan manusia modern di Nusantara 20 ribu tahun lebih awal. Mereka tinggal di hutan hujan tropis.

9 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

STALAKTIT dan stalagmit yang tampak dalam gua di kaki Gunung Sago, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, itu membuat langkah Kira Westaway terhenti. Di mulut gua, ia berdiri sambil bolak-balik memandangi gua dan membandingkannya dengan sketsa kasar dan peta tua milik paleoantropolog asal Belanda, Eugène Dubois, penemu fosil Homo erectus pertama yang terkenal dengan Manusia Jawa itu.

"Saat itu saya berkata dalam hati sembari bahagia, ’Inilah Gua Lida Ajer yang kami cari’," peneliti geokronologi dari Macquarie University, Sydney, Australia, itu menceritakan ekspedisinya pada 2008 tersebut melalui surat elektronik kepada Tempo, awal September lalu.

Ekspedisi itu berusaha mengungkap kapan kehadiran manusia modern awal (Homo sapiens) di daratan Asia Tenggara, yang kemudian menjadi nenek moyang masyarakat Nusantara. Hasil studi Westaway, yang terbit dalam jurnal Nature edisi 17 Agustus 2017, mengungkap Homo sapiens sudah ada di Nusantara sejak 73-63 ribu tahun lalu. Itu berarti 20 ribu tahun lebih awal dari keyakinan para ilmuwan sebelumnya.

Bersama Rokus Due Awe, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dengan dipandu lima penduduk, Westaway menghabiskan lebih dari sepekan menjelajahi hutan hujan tropis di lembah Gunung Sago untuk menemukan Gua Lida Ajer. Di gua inilah, pada 1887, Dubois menemukan ratusan fosil-kebanyakan gigi mamalia besar. Di antara fosil-fosil itu, ada dua gigi yang menarik perhatian Westaway.

Gigi seri dan gigi geraham yang masing-masing berukuran 0,5 sentimeter itu tak sempat diidentifikasi Dubois. Selain frustrasi tak menemukan fosil kerangka utuh, minat Dubois terkuras pada kabar penemuan fosil di Jawa sehingga ia pergi ke sana sampai menemukan fosil Manusia Jawa di Trinil, Ngawi, Jawa Timur, pada 1891-1892.

Dua gigi yang disimpan di Naturalis Biodiversity Center di Leiden, Belanda, itu pun seperti terlupakan selama lebih dari enam dasawarsa. Adalah Albert Hooijer, paleoantropolog Rijksmuseum van Natuurlijke Historie, pada 1948, yang menyingkap bahwa gigi tersebut milik Homo sapiens. Jika benar milik Homo sapiens, "Pertanyaannya kemudian, kapan Homo sapiens mulai tinggal di sana?" ujar Westaway, yang ahli dalam pentarikhan batuan, fosil, dan sedimen.

Untuk menjawab pertanyaan yang menggoda itu, Westaway dan Rokus merancang penelitian panjang. Pertama, mereka harus menemukan kembali Gua Lida Ajer. Letak gua yang disebut oleh penduduk setempat sebagai Ngalau Lidah Aia itu sekitar dua kilometer dari permukiman terdekat, Jurong Sialang, Nagari Tungkar, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Lima Puluh Kota. Dari Kota Payakumbuh, jaraknya sekitar 45 kilometer.

Westaway dan Rokus pun melakukan analisis untuk memastikan gigi yang ditemukan Dubois 130 tahun lalu itu memang milik manusia modern. Kedua gigi itu dipindai untuk dilihat batas lapisan enamel keras dan dentin, yang sangat penting dalam membedakan gigi manusia, primata, dan manusia purba.

Kemudian, ekspedisi kedua ke Gua Lida Ajer pun dilakukan pada September dua tahun lalu. Ekspedisi dipimpin anggota tim Gilbert Price, peneliti geologi dari University of Queensland. Bersama empat anggota tim lainnya, yakni Julien Louys, paleontolog dari Australian National University; serta Yan Rizal, Jahdi Zaim, dan Wahyu Dwijo Santoso, dari Departemen Geologi Institut Teknologi Bandung, mereka mengumpulkan sampel di gua. "Sampel gua sangat penting untuk menentukan umur agar lebih akurat dalam analisis penanggalan," ujar Price.

Westaway dan tim menggunakan metode multiteknik untuk mengungkap umur gigi yang lebih presisi. Teknik itu merupakan gabungan antara teknik luminescence dating, uranium-series, dan electron spin resonance dating, yang sukses menghitung umur sampel sedimen dari Situs Punung, Pacitan, Jawa Timur, pada 2005.

Penelitian berjudul "An early modern human presence in Sumatra 73,000-63,000 years ago" ini berhasil mengubah teori keberadaan manusia modern awal di Asia Tenggara. Sebelumnya, fosil Homo sapiens tertua ditemukan di Gua Niah, Sarawak, Malaysia, berumur 45 ribu tahun.

Sayangnya, Rokus Due Awe tak bisa turut berbangga atas pencapaian ini. Tiga tahun sebelum hasil penelitian terbit, arkeolog legendaris Indonesia itu-yang juga menjadi salah satu penemu fosil Homo floresiensis di Liang Bua, Flores, Nusa Tenggara Timur-wafat pada 2014.

Bukan hanya soal waktu kehadiran Homo sapiens di Nusantara, penelitian Westaway dan tim juga mengubah asumsi tentang penyebaran dan tempat tinggal manusia modern. Sebelumnya, manusia modern diyakini bermigrasi dari Afrika pada 100 ribu tahun lalu dengan menyusuri garis pantai untuk mencapai Asia Tenggara dan mengkonsumsi makanan laut di sepanjang jalan.

Ternyata, berdasarkan lokasi penemuan gigi dan konteks stratigrafi tanah, Homo sapiens tinggal di kawasan hujan hutan tropis. Menurut Westaway, lingkungan jenis ini sulit ditinggali dan pasokan makanan utama langka. "Butuh teknologi dan cara berburu yang cukup kompleks," ujarnya. Ia menduga Homo sapiens tak tinggal di gua, melainkan di sekitar sabana dengan membangun hunian yang aman dari binatang buas.

Penyebaran Homo sapiens sampai ke Sumatera Barat ini, menurut Cecep Eka Permana, peneliti arkeologi prasejarah dari Universitas Indonesia, sangat mungkin terjadi. Ia mengatakan pada masa itu daratan Sumatera, Jawa, dan Kalimantan masih bergabung dengan daratan Asia Tengah, yang disebut Paparan Sunda, dengan Sumatera menjadi tepi benua. "Karena itu, jalur migrasi bisa melalui jalan darat, lalu mentok ke pesisir selatan yang sekarang menjadi Sumatera Barat," ujar Cecep, yang tak tergabung dalam studi.

Adapun Danny Hilman Natawidjaja, peneliti kebumian dari Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan tidak tertutup kemungkinan manusia modern yang hidup pada saat itu merupakan hasil repopulasi pascaletusan dahsyat Gunung Toba yang terjadi 75 ribu tahun lalu.

Mengutip studi LIPI bersama Australian National University pada 2011, Danny menjelaskan, letusan Toba menyebabkan ekosistem tumbuhan di Nusantara rusak. Lantaran abu vulkanis menutupi sinar matahari, suhu bumi saat itu mencapai minus 8 derajat Celsius, yang menyebabkan turunnya populasi manusia.

Enam tahun pasca-letusan, suhu baru beranjak normal dan vegetasi mulai tumbuh. "Repopulasi manusia terjadi 65-60 ribu tahun lalu," ujar Danny, yang tidak termasuk tim peneliti bersama Westaway.

Amri Mahbub, Anwar Siswadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus