Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan mempertahankan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate di level 5,75 persen. Namun keputusan itu tak mengubah keadaan pelaku usaha yang kini banyak yang menunda rencana ekspansi bisnisnya. “Karena saat ini masih ada tekanan pada perekonomian kita,” kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani kepada Tempo kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam lima bulan terakhir, bank sentral lima kali menaikkan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 150 basis point atau 1,5 persen. Kenaikan suku bunga acuan ini mulai berimbas pada keputusan perbankan untuk menaikkan bunga kredit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengetatan kebijakan moneter lima bulan terakhir ditempuh setelah upaya Bank Indonesia meredam pelemahan nilai tukar rupiah lewat intervensi pasar keuangan tak berdampak. Nilai tukar rupiah bahkan ada di level terendah dalam dua dekade terakhir. Kemarin, kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) mencatat rupiah berada di level 15.208, turun 12 persen dibanding awal tahun.
Shinta menuturkan, dengan waktu dua bulan tersisa, pemerintah harus mendorong investasi. Sektor investasi, menurut dia, diharapkan dapat menjadi salah satu penopang target pertumbuhan 5,2 persen pada 2018 bersama dengan sektor konsumsi.
Shinta menyebutkan tantangan pelaku usaha saat ini bukan hanya dari sisi pembiayaan, tapi juga perizinan, yang ikut menjadi faktor ekspansi bisnis tertunda. “Sistem perizinan online single submission (OSS) belum maksimal beroperasi sehingga investasi yang membutuhkan perizinan tidak bisa lari kencang,” tuturnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiono, mengatakan saat ini anggota Asosiasi mengedepankan efisiensi dibanding ekspansi. “Kredit perbankan bunganya mahal,” tuturnya.
Menurut dia, jika bunga murah, pada masa ini pelaku usaha biasa menarik kredit modal kerja untuk penggantian mesin dan alat produksi lain. “Tapi, kalau sekarang paling modifikasi barang lama saja, karena kelistrikan dan mekanikalnya harus efisien,” kata Fajar.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSBFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan hal serupa. “Kalau yang pakai sumber dana dalam negeri, mereka akan menahan ekspansi, kecuali yang pakai sumber dana luar, mungkin tidak terlalu berpengaruh,” ucapnya.
Dia khawatir akan dampak lanjutan pada industri hilir, seperti pembuatan kain tenun, rajut, dan pencelupan, yang sebelumnya banyak bergantung pada sumber pembiayaan perbankan dalam negeri. “Ini terlihat tambah mandek dengan kondisi ini, padahal sektor ini adalah bottle neck dari integrasi industri tekstil kita,” kata Redma. Dia pun menyoroti derasnya impor kain yang pada semester I lalu membuat neraca perdagangan tekstil defisit hingga US$ 2 miliar.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan keputusan bunga acuan bertujuan mempertahankan daya tarik pasar keuangan di tengah ketidakpastian perekonomian global. “Ini juga untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas aman.” tuturnya.
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan memang tak sekuat perkiraan sebelumnya akibat penurunan ekspor neto seiring dengan tingginya impor. “Dengan perkembangan itu, pertumbuhan ekonomi 2018 diperkirakan berada di kisaran bawah 5-5,4 persen,” ujar Mirza. GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo