Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Inovasi

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Limbah Menjadi Berkah

TAK KAN ada lagi limbah kepiting atau udang yang menumpuk. Sisa konsumsi yang amat berbau dan bisa jadi bencana itu segera berubah menjadi berkah. Awal April 2001, Y.S. Darmanto, guru besar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang, telah menemukan kandungan chitin dan chitosan pada limbah udang dan kepiting.

Tentu saja hasil penelitian itu amat menggembirakan. Sebab, chitin merupakan bahan utama untuk pelbagai kepentingan, seperti biokimia, farmasi, kosmetik, industri kertas, dan pangan. Sementara itu, chitosan lazim digunakan dalam penanganan air limbah sebagai pengikat logam. Harganya pun lumayan. Dua gram chitin bisa seharga Rp 1,5 juta, sedangkan chitosan lebih mahal lagi.

Dari penelitian Darmanto, diperoleh chitin sebesar 25 persen (lebih dari 6 kilogram) dari setiap 25 kilogram limbah kepiting. Sedangkan dari limbah udang dengan berat yang sama, bisa didapat chitosan sebesar 23,5 persen. Kalau 2 gram saja seharga Rp 1,5 juta, bisa dibayangkan nilai ekonomi dari perolehan dua bahan tersebut.

Memang, untuk sampai bisa memperoleh kedua bahan tadi, proses penelitian Darmanto tak gampang. Ada tahap pengambilan protein, penghilangan mineral, penggilingan, perendaman, ataupun pencucian dengan air destilasi.

Namun, bila menilik hasilnya, tentu itu prospek baru buat industri. Apalagi di Indonesia limbah udang—entah berupa kepala, kulit, ataupun karapasnya—dan limbah kepiting berwujud cangkang amat berlimpah. Dari 200 ribu ton kepiting yang ditangkap setahun, sedikitnya 110 ribu ton dibuang sebagai limbah. Akan halnya udang, bisa didapat 342 ribu ton per tahun dengan limbah 150 ribu ton.

Masih ada satu faktor peluang lagi, yakni pasar chitin dunia. Dari kebutuhan 2 juta ton chitin setahun, ternyata baru bisa dipenuhi sebanyak 1.000 ton oleh Jepang dan Amerika. Jadi, berkah miliaran rupiah dari limbah udang dan kepiting siap direguk?

Menempelkan Embrio ke Ibu Asuh

KAMBING argaii selamat dari ancaman kepunahan. Seekor anak kambing gunung yang langka di kawasan Kazakhstan, bekas bagian negara Uni Soviet, telah lahir lewat kandungan seekor biri-biri, Maret 2001. Itulah hasil pertama dari percobaan sebuah tim peneliti yang melibatkan ilmuwan Rusia, Austria, dan Prancis.

Enam bulan lalu, para peneliti itu mengembangkan teknik baru pengembangbiakan hewan dengan cara penempelan embrio. Untuk itu, mereka mengambil lima embrio dari seekor kambing argaii dan menempelkannya pada lima biri-biri. Dengan teknik itu, diharapkan argaii bisa dilestarikan tanpa harus menggunakan cara konvensional.

Hasilnya, salah satu induk asuh biri-biri melahirkan anak kambing argaii secara sempurna. Beratnya, kata Zhanat Akhmetova, deputi direktur perniagaan binatang di Kazakhstan, seperti dikutip Reuters dua pekan lalu, delapan pon. Empat biri-biri lainnya diperkirakan akan melahirkan tak lama lagi.

Awas, Pengintai Supermini

KALANGAN militer bakal punya satu lagi alat pengintai. Bentuknya, robot serangga mirip capung yang panjangnya cuma 15 sentimeter. Robot itu dijuluki "Black Widow". Uji coba terbang prototipe robot ini—kabarnya pertama kali di dunia—sudah dilakukan, dan berhasil.

Kontan, sukses itu kian mempertebal semangat pembuatnya, yakni ahli rancang bangun dari perusahaan AeroVironment, Amerika Serikat. Nantinya, robot-robot serangga itu akan diupayakan bisa lebih leluasa terbang di ruangan, bahkan bisa dilekati kamera pengintai superkecil.

Bagi perusahaan yang berlokasi di California, Amerika itu, Black Widow bukanlah keberhasilan yang didapat begitu saja. Mereka telah bertahun-tahun mengembangkan pesawat-pesawat pengintai superkecil serupa.

Generasi sebelumnya, seperti dilansir BBC News dua pekan lalu, berupa pesawat kecil yang dijuluki "Microbat" (kelelawar mikro). Rentang sayap pesawat dengan panjang 20 sentimeter ini mirip kelelawar, tapi ukurannya dianggap masih besar. Karena itu, tim ahli Aero berusaha memperoleh rancangan yang lebih kecil, bersayap ultraringan, tapi ditargetkan bisa mengangkat motor elektrik dan baterai ke udara. Hasilnya, ya, Black Widow itu.

Toh, para perancang tadi menilai robot capung itu belum sempurna. Robot berkerangka serat karbon dan bersayap film polythene tipis itu masih terbang terlalu cepat. Tak aneh bila mereka tetap berusaha keras menyempurnakannya, sehingga sang pengintai bisa terbang lambat, terkontrol arahnya, dan bisa melayang-layang di pojok ruangan. Entah pula bila pihak lawan bisa menciptakan penangkal "capung".

Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus