Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pernah menonton film Star Wars: The Rise of Skywalker yang tayang di Indonesia mulai 18 Desember 2019 lalu? Jika iya, mungkin Anda sedikit tidak asing dengan istilah stroboskopik. Sebab sebelumnya Walt Disney Studio telah mengeluarkan peringatan bagi calon penonton terkait efek stroboskopik yang terdapat di film tersebut dapat menyebabkan kejang bagi penderita epilepsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa film Netflix antara lain yang sedang tren, Shadow and Bone pun menyampaikan disclaimer terkait stroboskopik ini. Artinya, pemberitahuan awal bawa ada efek stroboskopik terhadap mereka yang memiliki kepekaan tertentu terhadap cahaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Stroboskop dapat menyebabkan kejang terhadap individu pengidap epilepsi sebab biasanya penyakit tersebut peka terhadap cahaya sensitif. Kejang epilepsi dapat dipicu oleh stimulasi dari kilatan cahaya seperti stroboskop atau flicker dari layar komputer, bahkan alarm kebakaran dan kendaraan darurat lainnya.
“Sebagai bentuk kehati-hatian, kami merekomendasikan agar perusahaan Anda memampang pemberitahuan baik di lokasi box office maupun online, serta lokasi lain yang memungkinkan pelanggan Anda melihatnya yang berbunyi: Star Wars: The Rise of Skywalker mengandung beberapa sekuen dengan potongan gambar serta kilatan-kilatan cahaya yang mungkin berdampak pada mereka yang memiliki epilepsi photosensitive atau kondisi photosensitive lainnya,” tulis surat pernyataan yang dibuat oleh Disney.
Stroboskop atau juga dikenal dengan istilah strobo merupakan alat yang digunakan untuk membuat objek bergerak secara berulang sehingga tampak bergerak lambat atau bahkan tampak tidak bergerak sama sekali. Umumnya, kecepatan stroboskop disesuaikan dengan frekuensi yang berbeda berdasarkan efek yang diinginkan. Prinsip ini digunakan untuk mempelajari benda-benda yang bergerak, seperti berputar, bolak-balik, berosilasi atau bergoyang, dan bergetar.
Nah, Prinsip tersebut kemudian digunakan untuk pembuatan film, yang kemudian disebut dengan istilah efek stroboskop atau stroboskopik. Dikutip dari Buku Teknologi Pencahayaan, Muhaimin menjelaskan stroboskopik merupakan efek pencahayaan yang menampilkan pergerakan cahaya yang tak menentu, yang ditimbulkan dari alat yang disebut dengan lampu pendar.
Pada keadaan normal, mata manusia tidak akan mampu mengamati kedipan yang dihasilkan oleh gerak suatu benda. Kedipan akan terlihat saat efek stroboskopik muncul dan menimbulkan ilusi seakan lampu padam sesekali sehingga benda yang bergerak tersebut seakan mengalami time leaps atau lompatan waktu.
Barangkali penjelasan teoritis di atas sedikit membingungkan, mudahnya, pernahkah Anda mendengar istilah frame per second atau FPS pada tampilan layar, baik PC maupun telepon pintar? Keduanya jelas sesuatu yang berbeda namun sama-sama menggunakan material cahaya. Frame per second adalah gambar yang ditampilkan dalam satu detik, bila layar ponsel Anda memiliki refresh rate 60 frame per detiknya, itu artinya terdapat 60 gambar yang disatukan dalam satu gerakan dalam satu detik.
Nah, prinsip efek stroboskopik ini kebalikan dari FPS, jika FPS menyatukan banyak gambar dalam satu detik tampilan, efek stroboskopik memecah banyak gambar dalam satu detik tampilan. Hasilnya akan tercipta ilusi berkedip yang memisahkan gap atau celah pada gambar tersebut.
Meskipun tidak mewakili secara utuh tentang penggambaran efek stroboskopik, kita bisa melihat efek stroboskopik pada video gerak lambat. Misalnya video gerak lambat balon meletus, melalui video tersebut kita dapat melihat tahap demi tahap dengan interval yang detail proses meledaknya balon tersebut, nah tahap-tahapan ini merupakan bagian efek stroboskopik. Tetapi dalam kasus efek stroboskopik, time leaps pergerakan benda lebih dominan sehingga terdapat jarak gerak yang menimbulkan efek kedip.
HENDRIK KHOIRUL MUHID