Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sains

Kepala BMKG Kenang Masa Primitif Deteksi Dini Bencana

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengenang masa-masa masih sangat minimnya peralatan deteksi dini bencana di Indonesia

9 Desember 2019 | 08.30 WIB

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati. TEMPO/Fakhri Hermansyah
Perbesar
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati. TEMPO/Fakhri Hermansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala BMKG Dwikorita Karnawati  mengenang masa-masa masih sangat minimnya peralatan deteksi dini bencana di Indonesia. "Betapa primitifnya kita melindungi masyarakat," kata Dwikorita seperti dikutip dalam siaran pers BNPB, Minggu, 8 Desember 2019. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Dwikorawati mengatakan Indonesia terus berproses dalam meningkatkan sistem peringatan dini gempa dan tsunami. "Dahulu kita hanya mempunyai 2 sensor di wilayah Aceh dan setelah belajar dari peristiwa tsunami Aceh, kita menambah menjadi 13 sensor," ujar Dwikorita setelah acara penyematan Juragan (Juru Keluarga Tangguh Bencana) oleh BNPB di Pasie Jantang, Aceh Besar, Sabtu malam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dwikorita mengilustrasikan saat itu pihaknya hanya memiliki 2 sensor untuk mendeteksi gempa di 6 juta km wilayah Indonesia. Kemudian, para petugas masih menggunakan alat yang sangat sederhana seperti penggaris dan jangkar untuk membuat perhitungan titik episenter gempa.

Empat tahun setelah peristiwa tsunami Aceh 2004, BMKG berbenah untuk meningkatkan dan membangun sistem peringatan dini gempa dan tsunami. Dwikorita mengatakan, sebanyak 170 sensor terpasang untuk memantau seluruh wilayah Indonesia sekarang. 

Dwikorita mengatakan, pentingnya membangun kesiapsiagaan bencana. Menurutnya gempa tidak hanya dipicu oleh pergerakan lempeng tetapi juga pergerakan sesar di darat.

"Katana (keluarga tangguh bencana) penting bagaimana kita menyiapkan sebelum kejadian gempa, apa yang harus disiapkan. Cek bangunan rumah kita apakah cukup kuat," kata Dwikorita.

Dalam beberapa kajian paleotsunami, Dwikorita mengutip Prof. Ron Harris dari Universitas Brigham Young terkait jargon 20-20-20. Jargon 20–20–20 berarti apabila terjadi gempa selama 20 detik, gempa tersebut berpeluang memicu tsunami, dan untuk mengatasi terjangan tsunami, masyarakat memiliki waktu 20 menit untuk melakukan evakuasi pada ketinggian 20 meter.

Jargon tersebut sangat spesifik seperti untuk wilayah Pacitan, namun Dwikorita berpesan untuk keluarga tetap bersiaga. Apabila sudah terasa goncangan gempa selama 10 detik, ini pun bisa menjadi peringatan untuk segera mengevakuasi keluarga.

Dwikorita mencontohkan tsunami milineal  dengan karakter yang di luar perhitungan manusia. Belajar dari gempa dan tsunami Palu, ia mengatakan bahwa dalam 2 menit tsunami telah tiba.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus