Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDONESIA bisa jadi bakal masuk buku rekor Guinness lagi. Tanpa susah-susah lagi. Sebuah proyek hebat kini sedang dipersiapkan untuk dibangun di utara Pontianak, Kalimantan Barat: radar pengamatan cuaca terbesar di dunia. Kini lahan seluas 1.000 ha telah disiapkan, beberapa kilometer di utara Kota Pontianak, tepat di bawah garis khatulistiwa. Jangan bayangkan, radar di situ dibangun tinggi menjulang ke langit. Stasiun ini hanya menggunakan antena yagi, mirip antena TV, setinggi 4 meter, masing-masing dengan empat elemen. Antena pendek itu bisa sebagian berfungsi sebagai pemancar gelombang (transmitter), sebagian lainnya sebagai penerima pantulan gelombang (receiver). Jumlah antena lagi seluruhnya ada 2.616 buah. Yagi-yagi itu dipasang berbaris, membentuk sebuah spiral yang melingkar dengan garis tengah 30-an meter. Sebagai satuan sistem, rombongan yagi itu mampu mengirimkan sinyal gelombang ke angkasa dengan frekuensi 1.000 kali per detik. Dengan daya pancar maksimum 55 kWatt, radar Pontianak ini bisa mengawasi angkasa sampai 1.000 kilometer di atas bumi. Stasiun radar angkasa ini merupakan yang ketiga kalinya dibangun di wilayah khatulistiwa. Dua lainnya ada di Brasil dan Afrika. Radar serupa juga telah dibangun di beberapa negara lain. Secara umum, radar cuaca itu disebut RASC (Radar Atmosphere Science Center). Radar cuaca yang dibangun di Kota Shigaraki, 50 km tenggara Kyoto, Jepang, hingga kini dikenal yang paling canggih di antara radar sejenis. Stasiun cuaca yang dioperasikan oleh Universitas Kyoto ini memiliki 475 yagi transmitter dan 475 yagi lain yang bertindak sebagai receiver. Kawasan angkasa yang bisa dimonitornya hanya sampai ketinggian 400 km. Dengan jumlah antena yang lebih banyak dan sistem komputer yang lebih baru, menurut Dr. Susumu Kato, Kepala Radar Cuaca Shigaraki, stasiun radar Pontianak akan lebih canggih dibanding radar serupa yang di Jepang. Kekuatan radarnya, "sepuluh kali lebih besar," tambahnya. "Bola sekecil 1 cm pun, yang berada 400 km di atas akan terdeteksi oleh radar Pontianak," tutur Kato. Pembicaraan antara pihak Indonesia dan Jepang telah berlangsung sejak tiga tahun silam. Menristek Habibie sendiri ikut mendorong pelaksanaan proyek prestisius ini. Ketika berkunjung ke Jepang November silam, Habibie menyempatkan diri mengunjungi Shigaraki. Soal-soal teknis proyek besar itu, kabarnya, juga dimatangkan oleh Habibie. Ada ganjalan? "Tidak. Semuanya mulus, tak ada hambatan yang berarti," kata Habibie. Pihak Jepang telah beberapa kali mengunjungi Indonesia. Pontianak, oleh surveyor Jepang, dianggap tempat yang paling memadai. "Mudah memperoleh aliran listrik dan tak terlalu jauh dari Jakarta," tutur Kato. Selain mencatat gejala atmosfer secara umum, radar cuaca Pontianak itu akan mengemban misi khusus: memonitor gejala-gejala El Nino, yaitu gejala gerakan atmosfer secara abnormal, yang bisa mempengaruhi kondisi cuaca global. Kawasan Indonesia yang basah, menurut Susumu Kato, "merupakan pemicu datangnya El Nino. El Nino, dalam kamus Spanyol, berarti anak Tuhan. Tapi dalam terminologi meteorologi, El Nino boleh disebut sebagai anak nakal, yang tak jarang menghadirkan bencana di kawasan sekitar Pasifik dan sebagian Atlantik. Kehadiran El Nino, menurut Dr. Dadang Kurniadi Miharja, dosen oseanografi pada Jurusan Meteorologi dan Geofisika (GM) ITB, "ditandai dengan meningkatnya suhu air laut di lepas pantai Peru." Kenaikan suhu itu, tutur Dadang, menyebabkan suhu udara di atasnya menjadi lebih panas. Berikutnya, tekanan udara di situ merosot tajam. Tekanan rendah di lepas pantai Peru itu rupanya mampu mengundang massa udara dari jauh, termasuk dari angkasa Indonesia. Akibatnya, awan yang terbentuk di kawasan Nusantara ini buru-buru lari ke timur, lewat sebuah proses yang disebut sirkulasi Walker. Tahun 1982-83, El Nino sempat menunjukkan keganasannya sebagai sumber petaka: kering kerontang di Indonesia, Filipina, dan Australia banjir di Bangladesh dan musim dingin di Eropa berlangsung nyaris tanpa salju. Pada kasus kebakaran yang meludaskan 3,6 juta hutan di Kalimantan Timur di tahun itu, El Nino juga dituding sebagai biang kerok. Lantaran penilaian bahwa Indonesia merupakan tempat strategis untuk mengintip kedatangan El Nino, kongres IUGG (International Union of Geodesy ang Geophysics) ke-18, di Hamburg, Jerman, merekomendasikan perlunya sebuah stasiun pengamat cuaca di daerah khatulistiwa. Anjuran itu kontan disambut oleh organisasi NIEO (New International Equatorial Observatory), yang berlindung di bawah IUGG. Kebetulan Dr. Kato mengetuai NIEO, sejak 1982. Diperkirakan proyek radar Pontianak itu akan makan biaya sekitar Rp210 milyar, 60%-nya untuk pengerasan tanah dan pembangunan gedung. Semua pembiayaan akan ditanggung pemerintah Jepang. "Pihak Indonesia hanya cukup menyediakan lahannya," tutur Kato. Lapan sendiri telah mulai mengirim tenaga ahli ke Jepang. "Untuk tahap pertama ini, Lapan baru mengirim empat orang," kata J. Soegijo, Kepala Pusat Riset Dirgantara Lapan. Radar itu, kata Soegijo, akan dioperasikan 24 jam sehari. Setiap lima menit data meteorologi -- antara lain profil suhu udara, arah dan kecepatan gerakan massa udara, kelembapan, keawanan -- akan masuk ke komputer. "Data itu kita gunakan untuk ramalan jangka panjang, untuk mengetahui perangai cuaca tahun mendatang, misalnya," tutur Soegijo. Kehadiran radar itu memang mengundang konsekuensi bagi masyarakat sekitar. Pancaran gelombang pada frekuensi 47 Mega Hertz, apa boleh buat, akan mengganggu penerimaan gelombang siaran TV. "Gangguan" itu, menurut taksiran Susumu Kato, akan direalisasikan paling lama lima tahun lagi. Putut Tri Husodo, Seiichi Okawa, Hasan Syukur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo