Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAHUN 1970-an bisa dikatakan sebagai "dasawarsa bulan". Sejak Neil Armstrong menginjakkan kakinya di bulan,21 Juli 1969, para astronaut NASA pulang pergi ke sana - tidak ubahnya seperti orang Indonesia pulang pergi ke Mekkah. Kemudian menyusullah era pesawat ulang-alik, akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Kini, gagasan mengunjungi bulan marak kembali. Amerika Serikat, misalnya, sudah menyediakan US$ 8 milyar untuk proyek tersebut. Sedangkan negara-negara Eropa menyiapkan pula dana USS 2 milyar. NASA, atau setidak-tidaknya sebagian ilmuwan NASA, sedang giat memantapkan gagasan mengirim manusia ke bulan. Tujuannya, selain melakukan eksperimen, juga membangun teleskop, bahkan memulai sebuah koloni kecil di permukaan purnama raya itu. Banyak orang menganggap gagasan ini fantastis. Namun, bila dikaji lebih jauh, bisa juga terasa logis. Sekali manusia memiliki stasiun dirgantara fungsional, maka pergi ke bulan dalam waktu 10 tahun mendatang akan jauh lebih murah bila dibandingkan dengan perjalanan serupa di zaman Proyek Apollo, 15 tahun silam. Hanya dua hal yang menjadi kendala: memulai sesuatu dari tahap awal sekali dan menyediakan roket raksasa untuk melepaskan diri dari gravitasi bumi menuju bulan. Pada masa mendatang, "pesiar" ke bulan akan dilakukan melalui dua tahap. Pertama berangkat dari bumi ke stasiun dirgantara. Kemudian, dari stasiun dirgantara ke bulan. Tahap l pertama mudah dilakukan dengan bantuan pesawat ulang-alik. Tetapi, untuk loncatan tahap kedua, dibutuhkan pesawat kecil, katakanlah semacam "sekoci", yang diluncurkan dari bumi dan "ditambatkan" secara permanen di dekat stasiun dirgantara ketika sedang tidak dipakai. Menurut para "sponsor" perjalanan ke bulan ini, NASA seyogyanyalah merancang "sekoci" istimewa itu. Tanpa kendaraan ini, menurut mereka, NASA tidak akan dapat mengirim astronaut dari stasiun dirgantara ke orbit geostasioner, tempat satelit-satelit komunikasi "diparkir" Tetapi, para ahli NASA sendiri bukannya tidak mempunyai pertimbangan lain. Menurut mereka, pergi ke bulan tidaklah semudah gambaran itu. Untuk mengangkut para astronaut dari stasiun dirgantara ke bulan, diperlukan kendaraan yang jauh lebih besar dari sekadar "sekoci" yang diperlukan untuk menyervis satelit komunikasi. Tambahan pula, stasiun dirgantara harus dilengkapi dengan peralatan dan ruangan khusus untuk para pengunjung bulan itu. Para ahli bulan bertambah antusias mengingat program Apollo belum sepenuhnya menyingkapkan misteri asal usul bulan. Para astronom pun masih sangat berharap untuk mengirim utusannya ke sana. Bila mcreka, misalnya, berhasil memasang teleskop di permukaan bulan, mereka akan mampu mengintip alam semesta lebih leluasa. Sebab, tidak ada halangan atmosfer bumi yang selama ini membatasi mereka. Dari segi penghematan, muncul perhitungan lain. Meluncurkan suatu benda dari bumi ke stasiun dirgantara membutuhkan energi 20 kali lebih besar ketimbang meluncurkannya dari bulan. Mungkin semacam "ketapel raksasa" saja sudah menjawab kebutuhan itu. Tetapi, apa yang mau diluncurkan dari bulan? Air, barangkali. Sebab, air banyak terperangkap secara kimiawi dalam bebatuan bulan. Adalah jauh lebih murah mengekstraksikan air di bulan dan mengirimnya ke stasiun dirganl tara, daripada mengangkut air langsung dari bumi ke bulan. Seperti diketahui, bulan kaya akan kandungan oksida titanium, yang jika dipanaskan bersama hidrogen akan menghasilkan air, besi, dan dioksida titanium. Sebuah pabrik elektrolisa air di permukaan bulan bisa menghasilkan hidrogen dan oksigen, serta mendaurulangkan kedua unsur itu. Sebuah cita-cita yang muluk, barangkali. Atau hanya fantasi? M.T. Zen
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo