Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBIH dari dua tahun Lagu Karokaro menunggu dengan hati
berdebar. Dekat penghujung bulan lalu, lelaki berusia 50 tahun
itu betul-betul bisa berlagu. Panen ikan nilanya tidak meleset
jauh dari perkiraan. Dengan hasil sekitar empat ton, di tambak
seluas 10 hektar dan harga Rp 900 per kg, hampir Rp 4 juta
mengalir ke kocek Lagu.
Tetapi, sebetulnya, bukan itu benar yang membuat bangga hati
pensiunan karyawan sipil TNI-AL ini. Kegembiraannya lebih
berdasar pada kenyataan: ia berhasil mengembangbiakkan ikan nila
di dalam tambak air asin. "Mungkin ini yang pertama di
Indonesia," ujar Leo Hutagalung, kepala Dinas Perikanan Deli
Serdang, Sumatera Utara.
Kisahnya bermula dari Leo juga, yang beberapa tahun lalu memberi
penyuluhan tentang sifat ikan nila yang eyrohalien - alias
"mudah beradaptasi pada air dengan kadar garam bervariasi."
Lagu, yang menyimak penyuluhan itu dengan takzim, lalu berpikir:
kalau memang eyrohalien, mengapa tak dicoba di tambak air asin?
Maka, pada Mei 1981, Lagu mulai bereksperimen. Ke dalam sebuah
perut perahu yang menganggur dimasukkannya 1,5 m3 campuran air
tawar dan air asin dengan perbandingan 3:1. Setelah itu, 1.200
ekor benih ikan nila dicemplungkannya ke perut perahu tersebut,
disusul pengamatan yang terus menerus.
Selama 12 jam pertama, banyak juga benih yang mati. Empat kali
Lagu mengganti air, dengan jumlah dan komposisi yang sama.
"Sebentar-sebentar airnya berbuih," ujar ayah enam anak itu.
Pada 12 jam kedua, yang mati dan sempoyongan makin berkurang.
Hanya dua kali air diganti, dengan mengubah komposisi menjadi
1:1.
Pada 12 jam ketiga, sang nila mulai tampak jinak. Air diganti
hanya sekali, dengan komposisi terbalik 1:3. Setelah itu, Lagu
memindahkan seluruh benih ke tambak berukuran 10 x 10 meter
berair payau, di lokasi usahanya di Pulau Sungai Dua - setengah
jam naik perahu motor dari Belawan, yang 25 km dari Medan.
Dua bulan benih "dimatangkan" di tambak ini. Selama itu,
permukaan tambak ditutupi dengan pelepah daun kelapa, daun
pisang, dan dedaunan lainnya. "Agar suhu air berkadar garam itu
tidak terlalu hangat," ujar Lagu. Ia sendiri tak pernah
menggunakan termometer sepanjang percobaannya.
Kemudian tibalah saat yang menegangkan. Pintu yang menghubungkan
tambak berair payau itu dengan empat tambak berair asin dibuka
perlahan. Kawanan nila remaja itu tampak tidak terganggu, malah
berenang kian ke mari dengan lincahnya. Ketika itu panjang ikan
sudah mencapai 3-4 cm, dengan berat rata-rata kurang dari 50
gram. Melalui tiga tahap adaptasi tersebut, benih yang mati
berjumlah 360 ekor (30%).
Ikan nila (Tilapia Nilautica Linnaeus, L.), sesungguhnya masih
terhisab sebagai kerabat mujair (Tilapia Mossambica, L.), dari
famili Cichlidae. Penampilan fisiknya sangat bermiripan, kecuali
nila lebih besar dan berwarna sedikit lebih gelap. Ikan ini,
seperti halnya mujair, datang dari benua Afrika. Nila terutama
hidup di danau-danau Afrika Selatan yang senyap dan gelap. Atas
kerja sama UNICEF dengan Applied Nutrition Project (ANP), ikan
itu disebarkan ke berbagai negara pada 1960-an.
Indonesia mengimpor ikan ini dari Taiwan, 1 Juli 1969. Setelah
mengalami uji coba dua tahun di Lembaga Penelitian Perikanan
Darat, Jakarta, pada 6 Juni 1971 dilakukan penebaran perdana di
Danau Tondano, Sulawesi Utara, oleh Prof. Dr. Ir. Toyib
Hadiwijaya, menteri pertanian masa itu. Maka, tak usah kaget, di
Manado ikan ini disebut "ikan Toyib ".
Sumatera Utara baru berkenalan dengan nila pada 1978. "Setelah
benihnya dibiarkan di Balai Benih Perikanan Darat Sumatera Utara
di Krasaan, Simalungun," tutur Leo Hutagalung kepada Bersihar
Lubis dari TEMPO. Kini, sekitar 60 petani menanam ikan itu di
kolam air tawar, terutama di Kabupaten Deli Serdang dan
Simalungun.
Para pejabat perikanan darat di Sumatera Utara tampaknya menaruh
perhatian terhadap eksperimen Lagu. Kepala Unit Pengembangan
Budidaya Air Tawar dan Payau, Dinas Perikanan Sumatera Utara,
A.M. Tarigan, membenarkan cara adaptasi yang ditempuh Lagu. Di
habitat pertama, nila itu hidup di air tawar dengan tingkat PH
(keasaman) 7. "Itu tingkat PH normal," kata Tarigan. Adapun
tambak air asin mengandung kadar garam (NaCl) 2 sampai 35
permil. Tanpa melalui adaptasi, nilanya bisa langsung mati.
Menurut Lagu, pada usia empat bulan nila sudah bisa dipanen.
Dalam usia itu berat per ekor sekitar 500 gram, dengan panjang
16-19 cm. Padahal, di kolam air tawar, dengan usia yang sama,
berat ikan hanya 300 gram dengan panjang 12-15 cm.
Pada Maret 1982, ketika ikannya berusia sembilan bulan, Lagu
pernah melakukan panen percobaan. Ternyata bobot ikan naik
menjadi rata-rata 900 gram. "Kalau tak salah, panen ketika itu
lebih tiga ton," kata Lagu. Jumlah ikan tak diingatnya lagi.
"Pokoknya sudah ribuan ekor," ujar petani tambak itu, yang
juga hidup dari menjaring udang.
Mengenal populasi nila, sepanjang pengamatan Lagu, kolam air
tawar dan tambak air asin tidak membawa perubahan berarti.
"Hanya bobotnya yang berbeda." Dalam hal ini, kolam air tawar
dan tambak air asin rupanya memang menyediakan sumber makanan
yang tidak sama.
Di kolam air tawar, sumber makanan nabati dan hewani, berupa
plankton dan sejenisnya, sangat terbatas. Ikan harus diberi
makanan tambahan, misalnya dedak, bungkil, atau ampas kelapa. Di
tambak air asin, makanan seperti datang dengan sendirinya.
Melalui arus pasang, dua kali sehari, pelbagai makanan yang bisa
disantap nila ikut masuk ke dalam tambak melalui pintu yang
diatur secara khusus.
Apalagi bila diingat, nila bersifat omnivoor (pemakan segala)
dan mikrophage (lahap). Udang halus yang dibawa air pasang dari
laut langsung disambarnya. "Bahkan nila yang mati disantapnya,
tapi ikan ini tidak termasuk kanibal," kata Lagu.
Lagu Karokaro memang bukan petani tambak sembarangan. Pada Hari
Krida Pembangunan Sumatera Utara, 1982, ia terpilih sebagai
petani tambak terbaik. Ia kini memimpin 36 petambak nila, dalam
Kelompok Tani/Nelayan Suka Makmur I di Sungai Dua.
Seorang mahasiswa Akademi Usaha Perikanan (AUP) dari Jakarta,
Joko Prayitno, bahkan pernah berkutat selama tiga bulan di
tambak Lagu, awal 1982. Dengan skripsi mengenai nila air asin
itu, Joko meraih gelar sarjana mudanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo