Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Nila lagu di tambak asin

Seorang petani di sumatera utara berhasil mengembangbiakkan ikan air tawar di tambak air asin. berat ikan bertambah, tanpa makanan ekstra. (ilt)

15 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH dari dua tahun Lagu Karokaro menunggu dengan hati berdebar. Dekat penghujung bulan lalu, lelaki berusia 50 tahun itu betul-betul bisa berlagu. Panen ikan nilanya tidak meleset jauh dari perkiraan. Dengan hasil sekitar empat ton, di tambak seluas 10 hektar dan harga Rp 900 per kg, hampir Rp 4 juta mengalir ke kocek Lagu. Tetapi, sebetulnya, bukan itu benar yang membuat bangga hati pensiunan karyawan sipil TNI-AL ini. Kegembiraannya lebih berdasar pada kenyataan: ia berhasil mengembangbiakkan ikan nila di dalam tambak air asin. "Mungkin ini yang pertama di Indonesia," ujar Leo Hutagalung, kepala Dinas Perikanan Deli Serdang, Sumatera Utara. Kisahnya bermula dari Leo juga, yang beberapa tahun lalu memberi penyuluhan tentang sifat ikan nila yang eyrohalien - alias "mudah beradaptasi pada air dengan kadar garam bervariasi." Lagu, yang menyimak penyuluhan itu dengan takzim, lalu berpikir: kalau memang eyrohalien, mengapa tak dicoba di tambak air asin? Maka, pada Mei 1981, Lagu mulai bereksperimen. Ke dalam sebuah perut perahu yang menganggur dimasukkannya 1,5 m3 campuran air tawar dan air asin dengan perbandingan 3:1. Setelah itu, 1.200 ekor benih ikan nila dicemplungkannya ke perut perahu tersebut, disusul pengamatan yang terus menerus. Selama 12 jam pertama, banyak juga benih yang mati. Empat kali Lagu mengganti air, dengan jumlah dan komposisi yang sama. "Sebentar-sebentar airnya berbuih," ujar ayah enam anak itu. Pada 12 jam kedua, yang mati dan sempoyongan makin berkurang. Hanya dua kali air diganti, dengan mengubah komposisi menjadi 1:1. Pada 12 jam ketiga, sang nila mulai tampak jinak. Air diganti hanya sekali, dengan komposisi terbalik 1:3. Setelah itu, Lagu memindahkan seluruh benih ke tambak berukuran 10 x 10 meter berair payau, di lokasi usahanya di Pulau Sungai Dua - setengah jam naik perahu motor dari Belawan, yang 25 km dari Medan. Dua bulan benih "dimatangkan" di tambak ini. Selama itu, permukaan tambak ditutupi dengan pelepah daun kelapa, daun pisang, dan dedaunan lainnya. "Agar suhu air berkadar garam itu tidak terlalu hangat," ujar Lagu. Ia sendiri tak pernah menggunakan termometer sepanjang percobaannya. Kemudian tibalah saat yang menegangkan. Pintu yang menghubungkan tambak berair payau itu dengan empat tambak berair asin dibuka perlahan. Kawanan nila remaja itu tampak tidak terganggu, malah berenang kian ke mari dengan lincahnya. Ketika itu panjang ikan sudah mencapai 3-4 cm, dengan berat rata-rata kurang dari 50 gram. Melalui tiga tahap adaptasi tersebut, benih yang mati berjumlah 360 ekor (30%). Ikan nila (Tilapia Nilautica Linnaeus, L.), sesungguhnya masih terhisab sebagai kerabat mujair (Tilapia Mossambica, L.), dari famili Cichlidae. Penampilan fisiknya sangat bermiripan, kecuali nila lebih besar dan berwarna sedikit lebih gelap. Ikan ini, seperti halnya mujair, datang dari benua Afrika. Nila terutama hidup di danau-danau Afrika Selatan yang senyap dan gelap. Atas kerja sama UNICEF dengan Applied Nutrition Project (ANP), ikan itu disebarkan ke berbagai negara pada 1960-an. Indonesia mengimpor ikan ini dari Taiwan, 1 Juli 1969. Setelah mengalami uji coba dua tahun di Lembaga Penelitian Perikanan Darat, Jakarta, pada 6 Juni 1971 dilakukan penebaran perdana di Danau Tondano, Sulawesi Utara, oleh Prof. Dr. Ir. Toyib Hadiwijaya, menteri pertanian masa itu. Maka, tak usah kaget, di Manado ikan ini disebut "ikan Toyib ". Sumatera Utara baru berkenalan dengan nila pada 1978. "Setelah benihnya dibiarkan di Balai Benih Perikanan Darat Sumatera Utara di Krasaan, Simalungun," tutur Leo Hutagalung kepada Bersihar Lubis dari TEMPO. Kini, sekitar 60 petani menanam ikan itu di kolam air tawar, terutama di Kabupaten Deli Serdang dan Simalungun. Para pejabat perikanan darat di Sumatera Utara tampaknya menaruh perhatian terhadap eksperimen Lagu. Kepala Unit Pengembangan Budidaya Air Tawar dan Payau, Dinas Perikanan Sumatera Utara, A.M. Tarigan, membenarkan cara adaptasi yang ditempuh Lagu. Di habitat pertama, nila itu hidup di air tawar dengan tingkat PH (keasaman) 7. "Itu tingkat PH normal," kata Tarigan. Adapun tambak air asin mengandung kadar garam (NaCl) 2 sampai 35 permil. Tanpa melalui adaptasi, nilanya bisa langsung mati. Menurut Lagu, pada usia empat bulan nila sudah bisa dipanen. Dalam usia itu berat per ekor sekitar 500 gram, dengan panjang 16-19 cm. Padahal, di kolam air tawar, dengan usia yang sama, berat ikan hanya 300 gram dengan panjang 12-15 cm. Pada Maret 1982, ketika ikannya berusia sembilan bulan, Lagu pernah melakukan panen percobaan. Ternyata bobot ikan naik menjadi rata-rata 900 gram. "Kalau tak salah, panen ketika itu lebih tiga ton," kata Lagu. Jumlah ikan tak diingatnya lagi. "Pokoknya sudah ribuan ekor," ujar petani tambak itu, yang juga hidup dari menjaring udang. Mengenal populasi nila, sepanjang pengamatan Lagu, kolam air tawar dan tambak air asin tidak membawa perubahan berarti. "Hanya bobotnya yang berbeda." Dalam hal ini, kolam air tawar dan tambak air asin rupanya memang menyediakan sumber makanan yang tidak sama. Di kolam air tawar, sumber makanan nabati dan hewani, berupa plankton dan sejenisnya, sangat terbatas. Ikan harus diberi makanan tambahan, misalnya dedak, bungkil, atau ampas kelapa. Di tambak air asin, makanan seperti datang dengan sendirinya. Melalui arus pasang, dua kali sehari, pelbagai makanan yang bisa disantap nila ikut masuk ke dalam tambak melalui pintu yang diatur secara khusus. Apalagi bila diingat, nila bersifat omnivoor (pemakan segala) dan mikrophage (lahap). Udang halus yang dibawa air pasang dari laut langsung disambarnya. "Bahkan nila yang mati disantapnya, tapi ikan ini tidak termasuk kanibal," kata Lagu. Lagu Karokaro memang bukan petani tambak sembarangan. Pada Hari Krida Pembangunan Sumatera Utara, 1982, ia terpilih sebagai petani tambak terbaik. Ia kini memimpin 36 petambak nila, dalam Kelompok Tani/Nelayan Suka Makmur I di Sungai Dua. Seorang mahasiswa Akademi Usaha Perikanan (AUP) dari Jakarta, Joko Prayitno, bahkan pernah berkutat selama tiga bulan di tambak Lagu, awal 1982. Dengan skripsi mengenai nila air asin itu, Joko meraih gelar sarjana mudanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus