Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Osamu Shimomura tak pernah lupa pada sejarah yang telah ia buat. Saat itu, pada musim panas 1961, ia menyusuri pantai barat Amerika Utara. Bersama tiga kawannya, Shimomura membawa Volkswagen dengan peralatan laboratorium lengkap, berburu ubur-ubur. Mereka terpesona pada ubur-ubur cantik Aequorea Victoria yang memancarkan warna hijau benderang.
Shimomura datang jauh dari Universitas Nagoya, Jepang. Di kepala ahli kimia organik yang berusia 33 tahun itu berkecamuk pertanyaan, apa sesungguhnya yang menyebabkan tubuh ubur-ubur bisa berkilau kehijauan di bawah siraman matahari? Baru setahun kemudian ia menemukan jawab: ubur-ubur berpijar lantaran memiliki senyawa protein yang berwarna hijau.
Penemuan green fluorescent protein (GFP), nama protein itu, tampaknya hanya akan mengendap sebagai sejarah masa lalu Shimomura, sampai kemudian Komite Nobel membuat kejutan untuknya pada pekan lalu. Shimomura bersama Martin Chalfie dan Roger Y. Tsien terpilih sebagai pemenang hadiah Nobel Kimia 2008. Ketiganya berbagi rata atas hadiah uang tunai 10 juta kronar atau lebih dari Rp 13 miliar.
”Sebenarnya saya sudah merasa puas ketika menemukan protein itu. Sekarang kebahagiaan saya bertambah lengkap,” ucap Shimomura, yang kini berusia 80 tahun. Ia menjabat profesor emeritus di Marine Biological Laboratory dan Boston University Medical School di Amerika Serikat.
Protein hijau temuan Shimomura itu telah memberikan inspirasi yang luar biasa bagi para ahli biokimia dunia. Mereka mengembangkan protein bersinar itu sebagai alat bantu paling penting untuk biosains kontemporer. Jika protein hijau itu dilekatkan pada protein lain atau pada suatu struktur dalam sel, para peneliti akan bisa mengamati bagaimana mesin sel yang kompleks itu bekerja.
Berkat protein itu, yang difasilitasi teknologi deoxyribonucleic acid (DNA), para peneliti bisa mengikuti proses dalam tubuh yang sebelumnya tak terlihat. Proses itu seperti perkembangan sel-sel saraf di otak atau bagaimana sel kanker menyebar.
Warna hijau pada protein ini berperan sebagai penanda pergerakan sel itu. Ia seperti tato yang mengikuti ke mana pun tubuh bergerak. Dengan tanda warna yang jelas itu, para peneliti bisa dengan mudah menginformasikan apa yang salah dengan sel atau tubuh kita ketika terjadi infeksi penyakit.
Dalam setiap makhluk hidup tersimpan puluhan ribu protein yang beragam. Protein ini mengendalikan proses kimia penting secara detail. Bila mesin protein ini malfungsi, biasanya disusul dengan jatuh sakit. Itu sebabnya, biosains kini amat berambisi memetakan berbagai protein yang ada dalam tubuh.
Dunia kedokteran sejauh ini telah mendapat manfaat dari temuan protein ubur-ubur itu. Para peneliti mulai bisa meraba adanya kerusakan sel saraf dalam penyakit alzheimer. Protein hijau ini pula yang mengungkap bagaimana jumlah sel beta yang diproduksi insulin meningkat dalam pankreas sebuah embrio yang sedang berkembang.
”Teknologi ini telah sungguh-sungguh mengubah riset kedokteran,” ujar John Frangioni, doktor di bidang radiologi dan kedokteran di Harvard Medical School. ”Untuk pertama kalinya para ilmuwan dunia bisa melakukan studi gen dan protein sekaligus dalam sel dan organisme hidup,” ucapnya.
Setelah Shimomura, Martin Chalfie, 51 tahun, adalah peneliti yang mengembangkan lebih jauh protein bersinar itu. Profesor neurobiologi di Universitas Columbia, Amerika Serikat, ini berhasil membuat sel-sel saraf milik cacing renik bersinar hijau terang dengan GFP.
Keberhasilan eksperimen pada 1992 itu terhitung penting. Jika dapat ditempelkan pada saraf cacing, bukan mustahil akan berhasil pula pada eksperimen hewan tikus. Tahun lalu terbukti para peneliti di Harvard sukses menandai sel otak tikus dengan 90 warna berbeda berdasarkan fungsinya masing-masing. ”Brainbow”, begitu mereka menyebut eksperimen itu. Komite Nobel menyebut eksperimen mutakhir itu ”spektakuler”.
Komite Nobel menelepon Chalfie pada Rabu pagi pekan lalu, tapi ia tak mendengar dering telepon penting itu. Chalfie rupanya memasang moda ”silent” pada ponselnya. Ia baru tahu mendapat hadiah Nobel setelah membuka sebuah situs Internet.
Sebaliknya Roger Y. Tsien, 56 tahun, telah lebih dulu mendengar rumor dari teman-temannya bahwa ia akan mendapat hadiah Nobel, tapi untuk bidang kedokteran. Maklumlah, ia selama ini lebih banyak tenggelam dalam riset kanker. Maka, ketika nama profesor pada Universitas California, San Diego, itu tak disebut Komite Nobel Kedokteran, ia pun menganggap angin lalu pengumuman Nobel Kimia. Ternyata nama Tsien kini tercantum.
Tsien adalah orang yang paling dipuji Chalfie. Ia disebut sebagai orang di belakang suksesnya eksperimen Brainbow. Dalam sebuah percobaan yang spektakuler, ia sukses mengikat beragam sel saraf otak tikus dengan bermacam warna GFP. Tsien menemukan warna-warni selain hijau. ”Tsien sungguh membuatnya jadi alat yang berguna untuk banyak umat,” puji Chalfie.
Shimomura, Chalfie, dan Tsien adalah para pelukis sel di kanvas biokimia. Bak seorang perupa, mereka menguaskan cat warna-warni pada ribuan protein dan sel untuk membaca karakter sel setiap makhluk hidup. Kelak, berkat temuan mereka, misteri penyakit seperti kanker dan HIV mungkin akan terpecahkan.
Inilah temuan terbesar pertama tentang spesies ubur-ubur. Pada Mei lalu, sejumlah ilmuwan dari Universitas Brown, Amerika, menemukan bahwa ubur-ubur—ubur-ubur sisir (comb jelly)—ternyata lebih dulu ada daripada spons, yang selama ini dicap sebagai hewan pertama di dunia. Para ilmuwan membandingkan data DNA berbagai jenis hewan dan menyusun pohon genetika. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa ubur-ubur sisir menempati puncak pohon genetika.
Ubur-uburlah yang telah mengubah hidup Shimomura seberuntung sekarang. Ia jelas tak akan pernah lupa pada sejarah yang ia torehkan hampir setengah abad silam.
Yos Rizal Suriaji (AP, NewScientist, Science.org, Guardian, Nobel Prize)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo