Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Selama masa latihan terberat terjadi resistansi insulin dan perubahan metabolis.
Akibat latihan berlebih, respirasi mitokondria intrinsik turun rata-rata 40 persen.
Para atlet profesional memiliki level glukosa di atas kisaran normal.
Sebagai peneliti di Sekolah Ilmu Olahraga dan Kesehatan Swedia, Filip Larsen tahu bahwa terlalu banyak olahraga tak baik bagi kesehatan. Namun ia tak terlalu yakin apa penyebabnya. Lantas, Larsen pun melakukan penelitian untuk mendalami lebih jauh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Semua atlet tahu bahwa berlatih terlalu berat tak baik. Kaki terasa tidak enak setelah beberapa saat, dan jika dilanjutkan, akan ada gangguan psikologis, seperti mood terganggu,” kata dia. “Tapi tak ada yang tahu persis mengapa hal itu bisa terjadi.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mengetahuinya, Larsen dan timnya merekrut 11 orang muda yang sehat dan mengisolasi mereka selama empat pekan, melakukan seri latihan yang kian intens dengan sepeda statis sambil memantau kadar glukosa dan fungsi mitokondria.
Selama melewati masa latihan terberat, para relawan menunjukkan resistansi insulin dan perubahan metabolis yang merusak lainnya. Demikian tim melaporkan dalam jurnal Metabolisme Sel pada pekan lalu.
“Ini studi yang sangat mengesankan,” kata Thijs Eijsvogels, peneliti fisiologi olahraga di Radboud University Medical Center, yang tak terlibat dalam penelitian.
Biasanya kesehatan cardio-metabolic meningkat dengan volume latihan yang lebih besar. “Namun dari hasil penelitian terlihat bahwa ada titik di mana manfaat tersebut berhenti bertambah,” ucap Eijsvogels.
Olahraga berlebihan, menurut penelitian, memang dapat merusak metabolisme tubuh. Tapi kurang berolahraga juga memiliki dampak yang buruk pada tubuh. Jadi, lebih baik berolahraga sesuai dengan porsinya agar mendapat benefit bagi tubuh.
Mitokondria relawan—diambil dari biopsi otot—menunjukkan peningkatan kapasitas dalam dua pekan pertama. Selama latihan intensitas tinggi, tubuh dihangatkan dan mereka diminta untuk memaksimalkan tenaga dalam 4-8 menit, diselingi dengan istirahat 3 menit.
Latihan dimulai relatif ringan, dengan total 36 menit intensitas tinggi, yang dilakukan selama satu pekan, tidak termasuk waktu pemanasan atau istirahat. Pada pekan berikutnya, para relawan menyelesaikan 90 menit total latihan.
Di antara temuan lain, para peneliti menentukan bahwa ukuran efisiensi metabolisme yang dikenal sebagai respirasi mitokondria intrinsik meningkat selama waktu itu. Mirip parameter fisiologis, seperti konsumsi oksigen.
Namun kondisi berubah pada pekan ketiga, saat latihan berlebihan, di mana para peserta berlatih berat selama 152 menit dalam sepekan. Setelah itu, respirasi mitokondria intrinsik subyek turun rata-rata 40 persen dibandingkan dengan sampel yang diambil pada akhir pekan dengan intensitas sedang.
Lebih lanjut, toleransi glukosa subyek—diukur kadar glukosa mereka sebelum dan setelah mengkonsumsi minuman manis—juga turun antara pekan latihan ringan dan akhir pekan latihan berat (tak ada tes glukosa oral setelah latihan sedang).
“Ini sangat mirip dengan perubahan pada orang yang mulai mengidap diabetes atau resistansi insulin,” kata Larsen.
Setelah periode pemulihan, saat peserta menyelesaikan 53 menit latihan sepanjang pekan, kondisi mereka pulih. Konsumsi oksigen dan daya subyek selama latihan, yang diukur dari seberapa banyak mereka mengayuh, lebih tinggi setelah pemulihan daripada saat awal atau pada titik lain selama eksperimen.
Respirasi mitokondria intrinsik belum sepenuhnya pulih pada akhir percobaan, meskipun tersisa 25 persen lebih rendah setelah pemulihan dibanding setelah pekan latihan sedang.
Dalam eksperimen kedua, para peneliti memantau kadar glukosa darah pada 15 atlet profesional dan dalam kontrol non-atlet. Rata-rata, level kedua grup selama periode 24 jam hampir sama. Namun para atlet profesional menghabiskan lebih banyak waktu dengan level glukosa di atas atau di bawah kisaran normal.
Eijsvogels mengutip penyelarasan pengukuran in vitro yang dibuat tim pada biopsi subyek eksperimental dengan hasil observasi ini sebagai salah satu kekuatan studi. “Saya pikir menggabungkan temuan tersebut memberikan pesan yang sangat kuat tentang dampak olahraga berat pada toleransi glukosa,” kata dia.
Meski studi itu tidak memeriksa apa-apa, jika ada, konsekuensi kesehatan jangka panjang yang mungkin timbul dari olahraga berlebihan, Larsen melihat implikasi temuan tersebut terutama bersifat akademis.
Lagi pula, atlet profesional cenderung menjadi kelompok yang "sangat sehat", kata dia. Lebih jauh lagi, terlalu sedikit berolahraga merupakan masalah yang jauh lebih umum daripada terlalu banyak berolahraga.
Brent Ruby, peneliti olahraga di University of Montana, menyebutkan penelitian ini "dirancang dengan sangat baik". Tapi ia mempertanyakan apakah tingkat olahraga dalam pekan ketiga penelitian dapat diterapkan pada siapa pun dalam kehidupan nyata.
"Bahkan pecandu olahraga yang paling narsistik pun tidak akan menempatkan diri mereka dalam situasi seperti ini," katanya.
Linda Pescatello, yang mempelajari efek kesehatan dari olahraga di University of Connecticut dan tidak terlibat dalam penelitian, menduga temuan tentang efek olahraga berlebihan memang memiliki konsekuensi dalam kehidupan nyata, dengan setiap orang memiliki ambang batas yang berbeda untuk olahraga berlebihan bergantung pada tingkat kebugaran.
“Bentuk-bentuk latihan ekstrem dalam penelitian ini tidak berlaku untuk olahragawan rekreasi pada umumnya. Tapi, menurut saya, prinsip umum tentang pelatihan terlalu berat tetap berlaku,” kata dia.
Pescatello merujuk pada artikel ulasan pada 2020, yang ditulis bersama Eijsvogels, yang menemukan hubungan antara tingkat olahraga berat dan apa yang penulis sebut sebagai "potensi maladaptasi jantung" seperti kalsifikasi arteri koroner.
"Saya kira intinya adalah, terutama untuk kebanyakan orang, berolahragalah dalam jumlah sedang jika ingin mendapatkan manfaat kesehatan dari olahraga,” kata dia.
Rekan penulis Mikael Flockhart, juga dari Sekolah Ilmu Olahraga dan Kesehatan Swedia, mengatakan tidak jelas di mana "batas olahraga yang dapat ditoleransi", terutama karena penelitian tersebut menunjukkan bahwa olahraga berlebihan tidak selalu menyebabkan penurunan kinerja atlet yang sebenarnya. Mengetahui batasan itu, kata dia, akan membantu para atlet mengoptimalkan pelatih mereka.
THE SCIENTIST | FIRMAN ATMAKUSUMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo