Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panas yang terperangkap oleh gas rumah kaca meningkatkan suhu laut lebih cepat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Hal itu diketahui berdasarkan analisis dari empat pengamatan pemanasan laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil analisis yang diterbitkan dalam jurnal Science pekan lalu itu menunjukkan bahwa percepatannya mencapai 40 persen lebih cepat daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Untuk melihat di mana pemanasan global terjadi, lihat laut," kata Zeke Hausfather, mahasiswa pascasarjana di Grup Energi dan Sumber Daya di University of California, Amerika Serikat.
Menurut Hausfather, pemanasan laut adalah indikator perubahan iklim yang sangat penting. "Dan kami memiliki bukti kuat bahwa pemanasannya lebih cepat daripada yang kami kira," katanya.
Pemanasan laut merupakan penanda kritis perubahan iklim. Sebab, diperkirakan 93 persen energi surya berlebih yang terperangkap oleh gas rumah kaca terakumulasi di laut. Tak seperti suhu permukaan, suhu laut tak dipengaruhi peristiwa iklim, seperti El Nino atau letusan gunung berapi.
Pemanasan yang diukur sejak 1960 itu lebih cepat daripada yang diperkirakan para ilmuwan dalam laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim 2013, yang mengamati pemanasan laut.
"Ini terutama didorong oleh akumulasi gas rumah kaca, seperti karbondioksida di atmosfer akibat aktivitas manusia," kata Lijing Cheng, penulis utama studi dari Chinese Academy of Sciences, Cina.
Menurut Cheng, meningkatnya laju pemanasan laut hanyalah tanda-tanda meningkatnya kadar gas rumah kaca di atmosfer. Selama 13 tahun terakhir, sistem pengamatan laut yang disebut Argo telah digunakan untuk memantau perubahan suhu laut. "Ini mengarah ke data yang lebih andal yang menjadi dasar bagi catatan baru," ujar Cheng.
Sistem ini menggunakan hampir 4.000 robot yang melayang dan menyelam hingga kedalaman 2.000 meter setiap beberapa hari. Robot merekam suhu dan indikator lainnya saat kembali ke permukaan.
Melalui data yang dikumpulkan, para ilmuwan telah mendokumentasikan peningkatan intensitas curah hujan dan badai yang lebih kuat, seperti badai Harvey pada 2017 dan badai Florence pada 2018.
Cheng menjelaskan bahwa laut merupakan sumber energi untuk badai dan dapat menjadi bahan bakar yang lebih kuat karena suhu-ukuran energi-naik. Menurut para ilmuwan, badai selama periode 2050-2100 diperkirakan lebih kuat daripada badai pada periode 1950-2000.
Cheng mengatakan laut, yang menyerap lebih dari 90 persen energi matahari tambahan yang terperangkap oleh meningkatnya kadar emisi, akan menaikkan suhu berkelanjutan di masa depan.
"Karena laut memiliki kapasitas panas besar yang sangat berpengaruh terhadap pemanasan global. Artinya, pemanasan laut bisa lebih serius di masa mendatang," katanya.
Cheng menambahkan, jika target Perjanjian Paris (untuk membatasi perubahan iklim) terpenuhi pun laut akan terus memanas dan permukaan laut akan terus meningkat. "Dampaknya akan terus berlanjut," tuturnya.
Karena itu, Cheng melanjutkan, jika target Perjanjian Paris untuk menahan pemanasan hingga jauh di bawah 2 derajat Celsius, atau bahkan 1,5 Celsius, dapat dipenuhi, kerusakan yang diperkirakan terjadi pada 2100 dapat dikurangi setengahnya.
Untuk saat ini, bagaimanapun emisi perubahan iklim terus meningkat. "Saya kira tidak cukup apa yang dilakukan saat ini untuk mengatasi kenaikan suhu," ucap Cheng.
SCIENCE DAILY | REUTERS | ECOWATCH | AFRILIA SURYANIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo