Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk kedua kalinya dalam sepekan, Kami Rita Sherpa, 49 tahun, berhasil mencapai puncak Gunung Everest. Ia menjadi orang pertama yang berhasil menaklukkan gunung tertinggi di dunia itu untuk ke-24 kalinya, Selasa lalu. Sebelumnya, pada 15 Mei lalu, pria warga Nepal ini juga berhasil menjejakkan kaki di puncak Everest.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kami Rita terlahir dari suku Sherpa, yang hidup di kaki Gunung Everest, Nepal. Nenek moyang mereka tinggal di pegunungan Himalaya setelah bermigrasi dari Tibet sekitar lima abad silam. Selama beberapa generasi, mereka membangun desa-desa pada ketinggian 2.000-5.000 meter di atas permukaan laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kadar oksigen tipis menjadi tantangan terbesar bagi para pendaki Everest, yang tingginya 8.848 meter di atas permukaan laut. Di puncak, kadar oksigen hanya sepertiga dari normal. Itu sebabnya, berada di ketinggian ribuan meter di atas permukaan laut dapat menyebabkan masalah pada tubuh, bahkan kematian.
Lantas, yang menjadi pertanyaan, apa yang membuat Kami Rita begitu tangguh dalam menaklukkan Everest, sementara banyak orang menemui ajal di sana? Tim peneliti internasional yang dipimpin ilmuwan dari Massachusetts General Hospital, Amerika Serikat, mencoba mencari jawabannya. Hasil penelitian mereka dipublikasikan di British Medical Journal, beberapa waktu lalu.
"Kita tahu bahwa mendaki Gunung Everest sangat berbahaya dan taruhannya adalah nyawa," kata Paul Firth dari MGH Department of Anesthesia, yang memimpin studi kali ini. "Selama ini diasumsikan bahwa penyebab kematian adalah pembengkakan paru-paru karena berada di ketinggian ekstrem."
Sejak 1920, ribuan pendaki mencoba mencapai puncak Gunung Everest, namun banyak yang gagal, bahkan tewas. Untuk memahami apa yang terjadi, para peneliti menganalisis data 212 pendaki yang tewas. Diketahui 192 di antaranya sudah melewati base camp, titik terakhir sebelum pendakian ekstrem dengan kadar oksigen tipis.
Penyebab kematian dipilah-pilah. Dimulai dari faktor traumatis, seperti terjatuh dan tertimbun longsoran salju, hingga faktor nontraumatis, seperti sakit akibat ketinggian, hipotermia, dan penyebab lainnya. Para pendaki juga dibagi ke dalam kategori pendaki dari luar wilayah Himalaya dan dari suku Sherpa.
Hasilnya, kelelahan berlebihan menjadi faktor paling dominan. Gejala kelelahan itu diikuti kebingungan, kehilangan koordinasi anggota tubuh, hingga tak sadarkan diri. "Pembengkakan otak juga gejala yang umum dialami mereka yang tewas," ucap Firth. "Anehnya, kematian akibat pembengkakan paru-paru justru sedikit."
Hal menarik lainnya, kematian pada pendaki dari suku Sherpa sedikit, hanya 1,1 persen. "Suku Sherpa lahir dan hidup di wilayah tinggi. Tubuh mereka sepertinya sudah beradaptasi dengan kadar oksigen rendah. Itu yang menerangkan mengapa mereka mampu mendaki Gunung Everest tanpa banyak kesulitan," kata Firth.
Konsultan perawatan klinis di Rumah Sakit Universitas Southampton, Inggris, Denny Levett, yang pada 2013 melakukan ekspedisi ilmiah ke puncak Everest, mengatakan suku Sherpa telah berevolusi untuk bertahan hidup di ketinggian. "Mereka sama sekali tak terpengaruh oleh tipisnya kadar oksigen," kata Levett.
Levett mengidentifikasi perbedaan pada bagian sel manusia untuk menghasilkan energi, yang dikenal sebagai mitokondria. Pada suku Sherpa, mitokondria sangat efisien dalam menggunakan oksigen. Itu yang membedakan mereka dari pendaki lain. "Mereka bisa mendapatkan lebih banyak tenaga dari sedikit oksigen," ucapnya.
Tak mengherankan bila rekor jumlah pendakian Gunung Everest dipegang oleh orang suku Sherpa, baik di kategori pria maupun wanita. Benar apa yang dikatakan Kami Rita Sherpa, "Oksigen tipis bukan masalah bagi kami."
SCIENCEDAILY | GANTDAILY | XTREME-EVEREST | FIRMAN ATMAKUSUMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo