Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Pengelantang Kertas <font color=#FF0000> Ramah Lingkungan</font>

Hidrogen peroksida kini bisa dipakai memutihkan pulp. Cocok untuk industri karena ramah lingkungan.

21 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahmad M. Fuadi, 49 tahun, terbang ribuan kilometer lintas benua untuk sebuah penelitian pada pertengahan Mei 2006. Dosen Universitas Muhamma­diyah Surakarta ini mendarat di Universitas Teknologi Chalmers, Swedia, yang sejak semula menjadi tujuannya.

Selama delapan bulan, pria asal Solo ini bergelut dengan senyawa-senyawa kimia. ”Hidrogen peroksida,” kata Fuad, sapaan akrabnya, Selasa pekan lalu. Hid­rogen peroksida (H2O2) adalah cairan bening, lebih kental dibanding air. Ia tak berbau dan berwarna serta mudah larut dalam air.

Setiap hari Fuad menghabiskan waktu sedikitnya 8 jam meneliti senyawa yang dikenal ramah lingkungan untuk proses pemutihan (bleaching) dalam industri pulp dan kertas itu. Terkadang dari pagi hingga menjelang malam.

Hasil risetnya itu kemudian disusun menjadi disertasi berjudul ”Pemakaian Hidrogen Peroksida sebagai Bahan Pemutih Pulp”. Disertasi itu mengantarnya meraih gelar doktor di Program Pascasar­jana Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada akhir November lalu.

Temuan Fuad sangat penting bagi industri pulp dan kertas. Kebutuhan kertas dunia terus merangkak naik 3,5 persen per tahun. Sedikitnya 200 juta ton kertas per tahun dikonsumsi penghuni bumi. Akibatnya, kata Fuad, kebutuhan zat pemutih—yang merupakan salah satu bahan dalam proses pengelantang­an (pemutihan) dalam pembuatan kertas—naik terus.

Ironisnya, mayoritas industri pulp dan kertas masih menggunakan bahan pemutih yang mengandung klor, yang sangat berbahaya bagi lingkungan. Gas klor membentuk beberapa senyawa berbahaya, seperti diok­sin dan kloroform. Dua zat itu sangat berbahaya dan bisa mengancam organ-organ vital manusia, seperti jantung, ginjal, dan hati, sebagai penyebab penyakit kanker.

Dioksin, misalnya, adalah zat berbahaya yang dikenal sebagai senyawa hidrofobik (tidak akur dengan air). Apabila dioksin berada di air, zat tersebut akan mencari tempelan atau masuk ke tubuh hewan dan manusia. Padahal tubuh manusia tidak memiliki kemampuan memusnahkan dioksin. Wanita memang bisa melepaskan dioksin melalui plasenta atau air susu, tapi risikonya membahayakan bayi. ”Dioksin ancaman serius bagi manusia,” kata Fuad.

Pemakaian gas klor dalam proses pemutihan kertas, menurut Fuad, memang telah digantikan dengan senyawa klor dioksida (ClO2) atau dikenal dengan element chlorine free (bebas klorin). Namun penggunaan ClO2 tidak serta-merta secara keseluruhan meniadakan terbentuknya senyawa yang berbahaya terhadap lingkungan. ”Intinya, pemakaian senyawa ClO2 harus dikurangi,” ujar Fuad.

Menurut promotor sekaligus dosen pembimbing Fuad, Profesor Wahyudi Budi Setiawan, penggunaan senyawa hidrogen peroksida merupakan salah satu solusi. ”Secara ekonomis memang sedikit lebih mahal,” katanya. Tapi pemanfaatan hidrogen peroksida—senyawa yang ditemukan oleh Louis Jacques Thenard pada 1818—sangat berguna bagi lingkungan.

Pembimbing lainnya, Profesor Suryo Purwono, mengatakan penggunaan H2O2 berdampak signifikan terhadap pelestarian lingkungan. ”Ramah lingkungan, tidak menghasilkan zat yang berbahaya,” katanya.

Penelitian Fuad difokuskan pada beberapa aspek, di antaranya proses pemutihan dengan menggunakan hidrogen peroksida dan tinjauan dari se­gi ekonomi. ”Riset ini bisa jadi acuan bagi industri dalam menerapkan proses bleaching yang ramah lingkungan,” kata Wahyudi.

Kejelasan kuantitas penggunaan hidrogen peroksida dalam penelitian yang dilakukan Fuad ini dapat membantu industri langsung menerapkannya.

Fuad menjelaskan, untuk mendapatkan kualitas kertas dengan tingkat keputihan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia, yaitu 85 persen, proses pemutihan diawali dengan tahap­an chelating atau pelepasan material logam di dalam bubur kertas. Proses ini dilakukan pada suhu 70 derajat Celsius selama satu jam dengan menambahkan hidrogen peroksida 0,2 persen dari pulp kering.

Selanjutnya, dilakukan proses pe­ngelantangan dengan menambahkan natrium hidroksida (NaOH) dan hidrogen peroksida. Suhu yang digunakan bisa bervariasi antara 70 derajat Celsius, 80 derajat Celsius, dan 90 derajat Celsius, dengan kisaran waktu dari 5 sampai 480 menit bergantung pada keputihan kertas yang ingin dicapai.

Secara teknis, dalam proses penge­lantangan pada suhu 70 derajat Celsius, ada penambahan H2O2 sebanyak 2,5 persen dari pulp kering dan NaOH dari 1 hingga 3 persen pulp kering. Hasil pengelantangan bisa mencapai derajat putih sekitar 84 persen. Penambahan NaOH dari 1 sampai 3 persen untuk proses pengelantangan pada suhu 70 derajat Celsius tidak menunjukkan perbedaan signifikan.

Proses pengelantangan pada suhu 80 derajat Celsius dilakukan dengan menambahkan H2O2 sebanyak 2,5 persen dari pulp kering, NaOH 1,25 hingga 1,75 persen dari pulp kering. Hasil pengelantangan bisa mencapai derajat putih sekitar 86 persen. Adapun proses pemutihan pada suhu 90 derajat Celsius dilakukan dengan menambahkan H2O2 sebanyak 1 hingga 2,5persen dari pulp kering dan NaOH dari 0,5 hingga 2,5 persen pulp kering. Hasil pengelantangan ini bisa mencapai derajat putih sekitar 89 persen.

Fuad mengakui bahwa analisis ekonomi penggunaan hidrogen peroksida relatif lebih mahal jika dibanding penggunaan klor dioksida. Berdasarkan hasil penelitian, total kebutuhan bahan untuk chelating dan bleaching menggunakan hidrogen peroksida mencapai Rp 161.150 tiap ton pulp ke­ring. Adapun klor dioksida mencapai Rp 105 ribu, dengan asumsi setiap 1 ton pulp kering membutuhkan ClO2 sebanyak 30 kilogram dan harga ClO2 sekitar Rp 3.500 per kilogram.

”Ada sedikit selisih, Rp 56.150, untuk setiap 1 ton pulp kering yang diputihkan,” katanya. Tapi selisih ini, kata Fuad, tidak akan berpengaruh terhadap industri pulp dan kertas secara keseluruhan. Alasannya, selisih biaya untuk proses pemutihan ini hanya sekitar 1,1 persen dari biaya pembelian pulp yang dibutuhkan suatu industri.

Selain itu, sifat senyawa klor yang relatif lebih korosif dibanding hidrogen peroksida bisa berpengaruh terhadap umur alat sehingga penggunaan H2O2 masih lebih menguntungkan secara ekonomis dan ekologis.

Rudy Prasetyo

Proses Pengelantangan Kertas

1. Proses Chelating Pemisahan dari senyawa logam

2. Proses Bleaching pemutihan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus