SUDAH lama hama kelapa jenis kumbang yang dikenal dengan nama Oryctes rhinoceros merajalela hampir di semua perkebunan kelapa Provinsi Kalimantan Barat. Akibatnya, produksi kelapa dari tahun ke tahun menurun dan penghasilan petani pun terancam. Usaha memberantas hama kumbang tentu ada. Sejak 1970 dilakukan pemberantasan dengan penyemprotan pestisida. Namun, berbagai masalah lain timbul. Yang utama, pestisida ternyata mahal. Untuk kawasan perkebunan sekitar 7.000 hektar diperlukan dana Rp 40 juta. Ini di luar jangkauan para petani di kawasan itu, yang rata-rata memiliki perkebunan 5 - 10 hektar. Di sisi lain, pestisida -- Basudin 10G -- juga mengganggu keseimbangan kehidupan satwa. Binatang predator (pemangsa hama) tak mau mendekat bila bau Basudin dominan di suatu kawasan. Dan ini membuat hama kumbang semakin subur berkembang. Maka, penyemprotan pestisida yang mahal itu praktis percuma saja. Ketika pemberantasan dilakukan memang tampak segera hama kumbang mati. Namun, dalam waktu tak terlalu lama muncul lagi, dan malah bertambah banyak. Ini memang dampak samping pcstisida di mana pun di dunia ini. Karena itu, harus dicari cara yang lebih alamiah dalam memberantas hama. Kini, Kalimantan Barat, cara alamiah itulah yang sedang digalakkan. Dengan bantuan FAO, organisasi pangan sedunia, Laboratorium Hayati Departemen Pertanian setempat mengembangkan jamur metarrizhium untuk memerangi hama kumbang. Tidak seperti menggunakan pestisida, strategi perang hama menggunakan jamur adalah pertempuran jangka panjang. Sebab, jamur metarrizhium tidak segera membunuh kumbang. Caranya, jamur itu dikembangbiakkan di sarang-sarang kumbang. Nah, di sarang "musuh" itu, jamur membunuh larva atau bibit kumbang. Begitu larva yang sedang menyiapkan diri menjadi hama kumbang bersentuhan dengan jamur, tubuhnya mengkerut, lalu mati. Tapi, jamur metarrizhium yang berjasa itu ternyata jamur yang lemah. Dalam pertumbuhannya mudah mati, karena jazad renik lainnya, misalnya virus, bakteri, atau jamur lain. Karena itu, jamur ini harus dikembangbiakkan di laboratorium hingga kuat benar dan mampu tumbuh sendiri. Itulah yang dilakukan Laboratorium Hayati Departemen Pertanian di Sei Pinyuh, yang terletak 50 kilometer dari Pontianak. Bibit jamur metarrizhium itu ternyata diambil dari larva hama kumbang Oryctes sendiri. Khususnya larva yang mati, karena "tercemar jamur. "Ciri larva yang ketularan jamur adalah bercak-bercak cokelat pada tubuhnya yang putih," ujar Ir. Tarmudji Hasma, staf ahli laboratorium hayati, sarjana pertanian lulusan Universitas Tan jungpura, Pontianak. Bibit jamur diambil setelah berkembang antara 7 dan 14 hari pada bangkai larva. Setelah itu, jamur diisolasi dalam agar-agar di laboratorium. "Agar tidak terkontaminasi jazad renik lain," tambah Tarmudji. Bibit metarrizhium murni yang didapat lewat isolasi kemudian dikembangbiakkan sekali lagi pada media gilingan jagung rebus yang disterilkan pada suhu 120 Celsius. Sesudah masa pengembangan selama dua minggu, jamur akan tumbuh merata dan subur di lingkungan media. Inilah senjata utama memerangi hama kumbang kelapa. Jamur-jamur inilah yang kemudian ditanamkan di berbagai lingkungan lembap, seperti sampah, batang kelapa yang sedang membusuk, dan sisa-sisa penggergajian. Di tumpukan-tumpukan ini biasanya hama kumbang kelapa bertelur, dan larvanya biasanya memerlukan masa adaptasi selama 24 hari sebelum terbang menjadi kumbang, musuh petani. Pada masa "bertapa" 24 hari inilah jamur memusnahkan mereka. Jis., Laporan Djunaini K.S (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini