Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA Prof. Tatsuyuki Suzuki tiba-tiba menjadi sorotan. Ahli embriologi dari Universitas Yamaguchi, Jepang, itu mendapat publisitas besar sepanjang semester dua 1993 ini. Program riset Yamaguchi membuahkan hasil spektakuler: membuat sapi betina yang bunting tanpa sperma pejantan. Kisah itu mendatangkan sensasi besar di kalangan embriolog Jepang. Kalau pers Jepang, termasuk koran beroplah 10 juta lebih Asahi Shimbun dan raksasa TV NHK, tertarik meliputnya, itu bisa dimaklumi. Kasus sapi bunting tanpa sperma itu baru pertama kali. Di balik cerita itu ada nama Arief Boediono, 29 tahun, staf pengajar Kedokteran Hewan IPB Bogor yang sedang mengambil program doktor (S3) di Universitas Yamaguchi. Arief memang mengaku tertarik terhadap fenomena partenogenesis, kelahiran makhluk hidup yang semata-mata dari sel telur (ovum), tanpa melibatkan sel jantan (sperma). Selama riset di Yamaguchi, dosen IPB ini memilih tema-tema pembuahan buatan, termasuk partenogenesis terhadap sapi. Untuk eksperimen partenogenesis itu, Juni silam, Arief mengambil indung telur sapi dari rumah jagal di Yamaguchi. Dari indung telur itu ia bisa mendapatkan sejumlah ovum muda, yang kemudian dieramkan dalam larutan yang kaya akan bahan nutrisi. Setelah 30-32 jam, sel telur itu cukup matang, hampir mirip ovum sapi yang berahi. Agar betul-betul menjadi matang, sel telur itu harus digertak, diaktifkan, dengan cara membenamkannya pada larutan nutrisi yang mengandung metanol 75%, selama 10 menit. ''Ini teknik aktivasi yang standar,'' tutur Arief. Gertakan ini akan membuat sel telur membentuk dua buah titik polar body, yang berfungsi sebagai tempat berpautnya material genetik (kromosom). Bila keadaan itu dibiarkan begitu saja, sebuah polar body akan lepas keluar dari sel. Hilangnya satu polar body itu memang menjadi hukum alam untuk memberi kesempatan sel sperma masuk, dan membentuk dermaga kromosom yang lain. Dengan cara begitu kromosom dalam sel telur itu menjadi genap berpasang- pasangan, yang dalam bahasa ''resmi'' sering disebut diploid alias ''2 n''. Karena kedatangan sperma tak dikehendaki, polar body itu tak boleh lepas. Cara pencegahannya mudah: sel telur yang telah matang itu dieramkan di dalam larutan nutrisi yang diperkaya dengan bahan kimia Cytocalasin-D selama enam jam. Hasilnya: polar body itu urung kabur, dan sel telur itu punya struktur diploid. Hanya saja, pasangan kromosom itu keduanya berasal dari induk yang sama. Sampai tahap itu, sel telur boleh disebut siap menjadi embrio, alias bakal janin. Nyatanya memang demikian. Sel-sel telur tadi, setelah dipindahkan ke larutan nutrisi yang mengandung insulin, berkembang cepat. Dari satu membelah menjadi dua, empat, delapan, dan seterusnya mencapai 120-140 sel pada hari ke-8. Gumpalan sel itu sudah menjadi embrio. Oleh Arief embrio itu dicangkokkan ke tubuh sapi betina yang baru melewati siklus berahi. Hasilnya? ''Tak ada yang bunting,'' kata Arief, yang melakukan riset itu sendirian. Tapi arek Malang, Ja-Tim, itu belum menyerah. Ia coba lagi. Kali ini embrio yang telah berkembang menjadi delapan sel diambil. Kulit selnya dikelupas. Lalu, empat embrio dicampur, dan dibiakkan dalam larutan nutrisi selama enam hari. Keempat embrio itu ternyata mau bersatu membentuk agregat sel. Setelah itu, Arief mencangkokkan lima agregat embrio itu ke lima ekor betina sapi Holstein. Ia berhasil. Tiga dari lima betina sapi itu bunting. Siklus berahi ketiga sapi itu, yang mestinya jatuh setiap 21 hari, absen tiga kali berturut-turut. Pada hari ke-42, Arief dan Prof. Suzuki memeriksa sapi tadi dengan ultrasonografi. ''Saya lihat ada janin berukuran 3 cm,'' kata Arief. Selama kebuntingan tiga ekor sapi itu, wartawan Jepang datang silih berganti. Tapi nama Arief jangan disebut. ''Karena bahasa Jepang saya masih cekak,'' katanya. Cerita itu makin seru lantaran pers mengaitkan dengan kemungkinan penerapannya pada manusia. Kaum wanita diberi harapan bisa hamil tanpa berurusan dengan sperma kaum Adam. Selama ini rekor kebuntingan partenogenesis tercatat pada mencit, hanya 14 hari dari masa buntingnya yang 21 hari. Keruan saja keberhasilan pada mamalia besar memberikan kejutan besar. Sayang, janin Arief mengecil setelah satu setengah bulan, lalu hilang diserap tubuh induknya pada hari ke-67. Bagi Dr. Bambang Purwantara, ahli embriologi IPB, temuan Arief setidaknya harus diakui telah membuktikan bahwa kebuntingan bisa terjadi tanpa sperma. Tapi, katanya, untuk meyakinkan perlu ada bukti pembedahan. Itu yang memang belum dilakukan Arief. Ia kini tengah mengulang risetnya, menitipkan embrionya ke induk yang akan dipotong. Dengan begitu, ketika si induk dipotong di rumah jagal, rahimnya bisa diteliti. ''Sapi mahal. Saya mesti mencari celah untuk menekan biaya,'' ujarnya. Putut Trihusodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo