Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LENGKING alarm tanda bahaya mendadak sontak membangunkan Vincensius Christiawan dari tidurnya. Ruangan menjadi gelap. Hanya ada seberkas cahaya merah dari lampu darurat yang berkedip-kedip. Ia berusaha tidak panik. Sebagai komandan, dia harus mengomandoi tiga rekannya sesama awak kapal untuk mengendalikan situasi.
Menggunakan radio komunikasi, ia berbicara dengan awak untuk mencari sumber masalah dan mengatasinya. Rupanya, temperatur di ruang mesin meningkat. Itu artinya mesin dalam kondisi panas dan bisa terbakar. Dia harus cepat mencari ruangan aman untuk evakuasi. “Komandan bertanggung jawab atas keselamatan seluruh kru,” kata Vincensius Christiawan, Selasa, 2 April lalu, di Yogyakarta.
Venzha—sapaan Vincensius Christiawan—harus mengecek pasokan listrik, air, dan energi panas serta kondisi mesin. Kapal itu memiliki lima tingkat ruangan. Tingkat paling atas untuk tidur, sementara di bawahnya untuk fasilitas sanitasi dan penampung air. Ruangan berikutnya adalah tempat menyimpan listrik, ruang mesin, dan ruang penyimpanan energi panas. Makin ke bawah, temperatur ruangan makin dingin.
Venzha, penggila piring terbang (UFO) asal Yogyakarta, tengah mengikuti simulasi riset isolasi manusia menuju Antartika. Tujuan akhir proyek bernama Simulation of Human Isolation Research for Antarctica-based Space Engineering (SHIRASE) ini adalah menyiapkan manusia mengikuti perjalanan ke planet lain, termasuk Mars.
Dia bersama tiga warga Jepang menjalankan misi karantina dan isolasi itu di dalam Shirase 5002, kapal pemecah es ketiga dan bekas unit armada Angkatan Laut Bela Diri Jepang (JMSDF), selama sebulan (14 Februari-14 Maret 2019). Misi pelatihan ini berbasis ekspedisi luar angkasa, yakni simulasi di sebuah wahana antariksa yang melakukan perjalanan dari bumi ke planet lain.
Kapal Shirase 5002 tersebut tidak pernah bergerak dari posisi sandarnya di dermaga pelabuhan Kota Funabashi, Prefektur Chiba, di Teluk Tokyo, Jepang. Kapal itu sudah pensiun dari tugasnya menjalani ekspedisi ke Kutub Selatan pada 30 Juli 2008. Kapal yang memiliki panjang 134 meter itu kini menjadi fasilitas riset, inkubasi, ekshibisi, dan wisata edukasi terjadwal. Kapal ini mendapatkan namanya dari pionir ekspedisi Antartika-Jepang, Letnan Nobu Shirase.
Shirase 5002 selesai dibangun pada Desember 1981 dan mulai melaut pada November 1982. “Kapal ini menghubungkan Jepang dan Antartika sebagai misi membuat pangkalan dan laboratorium besar di wilayah Antartika, yang saat ini sudah terbangun dengan baik dan lengkap,” ujar Venzha.
Bagi Venzha, SHIRASE merupakan lanjutan dari simulasi hidup di Mars yang berlangsung di gurun dekat Kota Hanksville, Utah, Amerika Serikat, pada Maret-April 2018. Kala itu, Venzha tergabung dalam Team Asia Crew 191 bersama enam warga Jepang. Hanya Venzha dan Yusuke Murakami dari Team Asia Crew 191 yang mengikuti SHIRASE. Dua warga Jepang lain adalah Misuzu Takashina dan Daisuke Kasada.
Dalam program SHIRASE, alumnus Institut Seni Indonesia itu berperan sebagai komandan misi. Tugasnya menerjemahkan setiap kejadian dan menentukan apa yang harus di lakukan setiap kru. Venzha dilatih menghadapi tempat baru yang sangat berbeda dengan keseharian manusia di bumi.
Soal waktu, misalnya. Durasi sehari semalam bukan 24 jam seperti di bumi, melainkan tiga kali 24 jam. Sekali putaran 24 jam disebut satu SIM (simulasi), yang dimulai pada pukul 10.00 atau 12.00. “Kami tinggal di dalam kapal yang tidak memiliki jendela sama sekali. Jadi tidak bisa membedakan siang dan malam,” ucap Venzha.
Aktivitas sehari-hari tim terukur sesuai dengan jadwal yang ketat. Misalnya waktu sarapan pada pukul 24.00, tidur mulai pukul 16.00, dan bangun kembali pukul 24.00. Demi menjaga kebugaran, semua kru juga diwajibkan berolahraga atau beraktivitas fisik minimal satu jam dalam satu SIM.
Salah satu latihan yang dijalani Venzha adalah mengatasi stres tinggi. Selama tantangan itu, fisik awak dipantau dokter. Kru diminta menjawab kuesioner dokter, misalnya pekerjaan apa yang membutuhkan kemampuan dan pengetahuan tinggi serta kehati-hatian dan perhatian. “Tingkat stres menjadi parameter untuk meminimalisasi kecelakaan atau kematian,” katanya.
Program SHIRASE ini dikategorikan sebagai experiment zero (EXP 0) yang masih berdurasi pendek karena dijalankan untuk kebutuhan penelitian ilmu kedokteran dan psikologi. Program lanjutannya adalah simulasi yang berdurasi lebih lama. “Sebuah simulasi akan dianggap sukses apabila hasilnya bisa terukur dan dianalisis secara saintifik,” tutur Venzha.
Riset mengenai perjalanan antariksa antarplanet terus maju. Riset dan pengembangan teknologi wahana antariksa sangat mempengaruhi durasi perjalanan. Dulu, para ilmuwan memperkirakan perjalanan dari bumi ke Mars membutuhkan waktu dua setengah tahun. “Tapi Elon Musk mengatakan teknologi wahana antariksa SpaceX miliknya mampu mencapai Mars dalam 80 hari,” ucap Venzha.
Menurut Gunawan Admiranto, peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), simulasi hidup di Mars melalui proyek SHIRASE ini bertujuan melihat kemampuan bertahan manusia di lingkungan yang tidak ramah, dingin, kering dan serba terbatas. Di negara-negara maju, kata Gunawan, simulasi hidup di Mars berkembang karena mereka memiliki lembaga antariksa swasta yang maju.
Venzha dan Gunawan berinteraksi sejak dua tahun lalu. Gunawan pernah mengundang Venzha berbicara di kantor Lapan di Jakarta. Sebaliknya, Venzha kerap mengundang Gunawan ketika menggelar serangkaian workshop. Di Indonesia, kolaborasi seni dan sains, menurut Gunawan, belum populer karena setiap kalangan bekerja sendiri sesuai dengan bidang masing-masing.
Venzha dan Gunawan kini intens terlibat dalam proyek penulisan buku tentang kolaborasi sains dan seni. Venzha dalam proyek itu menjelaskan sains melalui seni instalasi. Adapun Gunawan menerangkan penelitian tentang sains antariksa.
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
Detektor Radiasi Matahari
TIDAK cuma menjalani program simulasi di dalam kapal, Vincensius Christiawan alias Venzha juga membawa misi pribadi bereksperimen melalui dua alat yang ia rakit bersama mantan pengajar Jurusan Teknik Informatika Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Stephanus Yudianto Asmoro. “Alat yang aku bawa berhubungan dengan cuaca. Bagaimana radiasi matahari mempengaruhi cuaca dan iklim bumi,” kata Venzha.
Dua alat itu digunakan untuk mengumpulkan data cuaca yang bisa dianalisis ilmuwan. Fungsi alat-alat itu melihat pengaruh radiasi matahari terhadap cuaca di bumi secara umum dan cuaca di Kutub secara khusus. Data yang ditangkap instrumen tersebut dapat digunakan untuk melihat pengaruh radiasi matahari pada terbentuknya badai salju dan curah hujan.
Alat tersebut menggunakan termometer, pengukur arah dan kecepatan angin, higrometer untuk mengukur kelembapan, serta pengukur radiasi matahari atau piranometer. Ada juga rain gauge untuk mengetahui curah hujan, barometer untuk menghitung tekanan udara, dan data logger yang menyimpan data hasil pengukuran.
Yudianto adalah penasihat Venzha yang memberikan masukan tentang segala hal yang berhubungan dengan peranti teknologi yang digunakan Venzha dalam proyeknya. Yudianto bersama tim merakit alat di HONF Foundation—komunitas yang dibentuk sejumlah alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dalam perancangan itu, Yudianto mengaku sering gagal. “Uji coba berkali-kali dan kerap gagal.”
Menurut dia, semua aktivitas serta perubahan cuaca di bumi dan di luar angkasa dipengaruhi matahari. Cuaca antariksa dan cuaca terestrial (cuaca yang orang rasakan di permukaan) dipengaruhi perubahan siklus matahari. “Dampak paling penting dari matahari terhadap bumi adalah radiasi matahari,” tutur Yudianto.
SHINTA MAHARANI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo