Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Air semakin mahal. Sawah-sawah mengering akibat ini, dan banyak orang antre air minum. Para ahli meramal, kemarau ini tak akan panjang. SENGATAN panas kemarau semakin mengganas. Waduk Jatiluhur di Purwakarta mulai kepayahan memasok air. Waduk Sempor, Wadaslintang, Mrica, dan Cacaban, semuanya di Jawa Tengah, bahkan telah menutup pintu airnya. Dan ribuan warga Gunung Kidul, di sebelah timur Yogyakarta, sudah mulai antre berjam-jam demi seember air di pos-pos pembagian. Di tengah kemarau yang berat ini, Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (Perhimpi) menyelenggarakan pertemuan di Kampus Universitas Brawijaya Malang, pekan lalu. Suara di sela-sela pertemuan itu memang melegakan: kemarau 1991 ini tak akan sepanjang seperti yang sekarang dikhawatirkan orang. "Kemarau panjang justru akan jatuh pada 1992," kata Dr. Justika S. Baharsyah, Ketua Umum Perhimpi. Justika mencatat selama tiga dasawarsa terakhir, kemarau di Indonesia memperlihatkan perangai yang khas. "Berlangsung satu kali dalam setiap periode sepuluh tahun," kata istri Menteri Muda Pertanian Syarifuddin Baharsyah itu. Pola tersebut berlangsung konsisten. Buktinya, kemarau panjang itu terjadi pada 1962, 1972, dan 1982. Namun, tak berarti bahwa setiap kemarau itu harus berselang sepuluh tahun. "Hanya frekuensinya yang terjadi sekali dalam 10 tahun," kata Dr. Darwis S.N., salah satu pimpinan Perhimpi. Darwis mengakui, kemarau sepuluh tahunan itu bukan diperoleh dari hasil pendekatan meteorologis, yang memperhitungkan segala macam gerak angin, tekanan udara, matahari, atau suhu udara. "Ini pendekatan statistik," katanya. Dari angka statistik, kenyataan siklus kemarau sepuluh tahunan itu memang tak terbantah. Dan sejak 1982, kemarau panjang belum muncul kembali. Kemarau 1991, kendati terasa menyengat dengan curah hujan di bulan Juni dan Juli jauh di bawah normal, menurut Darwis, kemungkinan tak bakal berpanjang-panjang. Darwis mengajukan alasan: udara di bulan Agustus ini sudah mulai lembap, awan mulai terbentuk di pelbagai daerah di Jawa, dan di Bogor hujan malah sudah jatuh. "Mungkin, September nanti hujan sudah mulai turun," kata Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri di Bogor itu. Kemarau 1991, kendati mungkin tak akan sepanjang bayangan semula, nyatanya telah memakan korban. Di Jawa Timur, menurut Direktur Jenderal Pertanian Tanaman Pangan Dudung Abdullah, 9.500 ha sawah hancur alias puso. Di Jawa Tengah dan Jawa Barat lebih gawat. Angka pusonya mencapai 18.000 dan 13.000 ha. "Tapi kemarau kali ini tak segawat tahun 1972 dan 1982," tutur Dudung. Benar tidaknya kemarau akan segera berakhir, beberapa waduk tampak menguras perutnya. Elevasi air Waduk Jatiluhur, misalnya, sudah terpuruk pada angka 99,45 meter dua pekan lalu, turun drastis dari elevasi normal yang 107 meter. Alhasil, produksi listriknya jatuh di bawah kapasitas optimumnya yang 125 megawatt itu. Dua waduk yang berada di hulu Jatiluhur, Saguling dan Cirata, juga mengalami nasib sama. Aliran Sungai Citarum yang seret membuat permukaan air di Saguling turun delapan meter. Waduk Cirata lebih mendingan, hanya turun dua meter dari ketinggian normalnya. Kondisi waduk-waduk Jawa Tengah pun setali tiga uang. Waduk Cacaban, koleksi airnya tinggal 30% dari kondisi optimum. Waduk Sempor anjlok elevasinya setinggi 21 meter. Lantas Waduk Kedungombo, yang beberapa tahun ini menghasilkan banyak cerita duka, permukaan airnya turun tujuh meter. Jika hujan tak kunjung datang, tak mustahil waduk-waduk itu menjadi lembah debu. Keadaan yang lebih gawat, menurut Darwis S.N., akan terjadi di 1992 nanti. Maka, persiapan menyambut kemarau itu harus dimulai lebih dini. "Terutama dalam mengatur pola tanam, untuk memanfaatkan musim hujan yang kemungkinan akan lebih pendek. Kalau perlu, tegalan pun dipakai untuk bertanam padi gogo," tambahnya. Tentang benih padi yang cocok untuk menyongsong kemarau 1992 itu, menurut Darwis, tak ada persoalan. Indonesia telah memiliki pelbagai macam varietas padi genjah, berumur pendek, yang produksinya lumayan baik, seperti IR 64, Sei Lilim Way Seputih, Cisanggarung, Batang Pane, dan Bahbolon. Untuk padi gogo, ada varietas Danau Tempe yang sanggup bertahan di lingkungan kering. Kemarau panjang 1992, dalam perkiraan Darwis, memaksa waduk-waduk bekerja sebagai sumber irigasi selama tujuh bulan, Desember 1991 hingga Juni 1992. Maka, Darwis menyarankan agar petani berani mengambil risiko, menanam padi mendahului aliran air irigasi. Menjelang Desember 1991, tanah harus diolah, dan padi ditanam menurut versi gogo rancah. Ketika air irigasi datang, barulah budi daya dilakukan dengan mengikuti kaidah padi sawah. Usai panen, padi harus cepat-cepat ditanam kembali, untuk mengejar panen di bulan Juni. "Ini perlu, agar sawah terhindar dari bahaya puso akibat kemarau," katanya. Mengatur pola tanam saja tak cukup. Justika Baharsyah menganjurkan pula agar petani membangun waduk-waduk kecil dekat tanah garapannya, untuk menampung air. "Cukup dari tanah yang dipadatkan," ujar dosen di IPB yang tampak cemas atas bahaya kemarau 1992 itu. Namun, bagi Dr. Daniel Murdiyarso, ahli hidro-meteorologi dari IPB, ramalan kemarau panjang 1992 belum tentu terjadi. "Itu hanya dugaan empiris," katanya. Penyimpangan bisa saja terjadi, dan kemarau panjang itu bisa maju atau mundur. Alam memang selalu begitu, sulit diduga. Putut Trihusodo (Jakarta) dan Zed Abidien (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo