Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANYAK negara berkembang, dunia ke-3, tergoda untuk mengimpor
ilmu dan teknologi dari negara industri maju. Itu dianggap suatu
cara mengatasi kemiskinan. Mereka malah terpikat oleh slogan
Mengejar Ketinggalan dengan Barat.
Namun hasil impor tadi belum tentu membuka lapangan kerja
seperti diharapkan semula. Teknologi impor itu justru menambah
kemiskinan di dunia ke-3.
Banyak negara mulai sadar akan kcnyataan ini, terutama setelah
Dr. E.F. Schumacher, ahli ekonomi Inggeris, menerbitkan bukunya
Small is Beautiful. Ia melihat kejanggalan dalam konsepsi bahwa
suatu negara berkembang yang hampir tidak memiliki modal--tapi
berkelebihan tenaga kerja --mau menciptakan kemakmuran bagi
rakyatnya, dengan mengimpor teknologi modern dan mahal, yang
justru cenderung meniadakan kebutuhan akan tenaga kerja itu.
Bahkan yang dihasilkan hanya kegagalan ekonomis dan kehancuran
nilai sosial.
Kebutuhan utama daerah pedesaan, menurut Schumacher, adalah
industri yang dapat didirikan dengan modal beberapa ribu dollar
saja. Yaitu industri yang mempergunakan peralatan dan perkakas
sederhana, serta yang memanfaatkan sepenuhnya tenaga kerja dan
keterampilan yang tersedia setempat.
Di India para ahli dan politisi menerima pandangan Schumacher
sebagai versi baru dan lebih modern dari ajaran Mahatma Gandhi.
Kebetulan Schumacher lalam tahun 60-an ditempatkan di India
sebagai penasehat ekonomi, dan kemudian pemikirannya sangat
dipengaruhi oleh filsafat Mahatma Gandhi.
Termaktub dalam konstitusi India, pasal 43: "Negara wajib
mengusahakan pengembangan industri kecil pedesaan secara
individual atau kooperatif." Pada tahun 1953, India mendirikan
Komisi Industri Pedesaan dan Kadhi untuk merangsang perkembangan
bidang ini.
Gerakan Kadhi merupakan inti filsafat Mahatma Gandhi yang 60
tahun lalu menulis, "Saya yakin bahwa pembangkitan kembali dari
kerajinan memintal benang dan bertenun, akan memberi sumbangan
terbesar bagi pembangkitan kembali ekonomi dan moral India." Ia
menyadarkan orang akan keluhuran kerja tangan serta akan
bermanfaat bagi pemupukan harga diri dan tekad berswasembada.
Ia selalu membawa alat pintalnya, yang kemudian diabadikan dalam
bendera nasional.
Namun sekian lama Komisi Industri Pedesaan dan Kadhi itu tidak
banyak bergerak. Barulah sejak Pemerintahan Janata berkuasa,
gagasan ini kembali mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Di India ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) mempekerjakan 5,7 juta
orang. Seorang pekerja ATBM hanya bisa menghasilkan 1/7 dari
pekerja ATM (Alat Tenun Mesin) dan 1/50 dari pekerja pabrik
tenun. Kalau dibiarkan faktor ekonomi berlaku bebas, maka
lapangan kerja ATBM bisa segera mati dan lenyap.
Hasil tenun ATBM lebih mahal dari hasil tenun mesin. Tapi India
melindungi sektor ini dengan menetapkan pajak tinggi bagi hasil
tenun mesin. Dan berdasarkan kebijaksanaan industri India yang
baru, sejumlah jenis tenunan rertentu hanya boleh dihasilkan
dengan ATBM.
Pokok persoalan di sini mana yang lebih untung: Memberikan
subsidi atau menyediakan dana sosial untuk mengatasi akibat
kalau industri itu dibiarkan mati.
Menjadi Perhatian
Repelita India ke-6 mentargetkan lapangan kerja di sektor ATBM
sampai untuk 9,2 juta orang menjelang tahun 192. Bersamaan
dengan itu sektor ATM dan pabrik tenun tidak diperkenankan
mengembang.
Kebijaksanaan pemerintah India kini jelas sangat mengutamakan
pengembangan industri kecil dan pedesaan. Jumlah jenis barang
yang hanya boleh dihasilkan oleh industri kecil bertambah dari
180 di masa pemerintahan Indira Gandhi menjadi kini 500 lebih.
Produksi korek api India sekitar 30% datang dari satu perusahaan
modal asing dan mempekerjakan sekitar 15.000 pekerja. Sisa
produksi sebesar 70% dilakukan oleh unit industri kecil tersebar
di seluruh negeri dan mempekerjakan 5 juta orang. Yang terakhir
ini menjadi perhatian kebijaksanaannya.
Pemerintah India juga menganjurkan, umpamanya, usaha semen mini,
seperti di RRC. Sebagian produksi semen di RRC berasal dari
ratusan usaha mini yang tersebar di seluruh negeri.
Kebetulan ada penemuan di India yang dapat menghasilkan bahan
bersifat seperti semen, yang dibuat dari abu merang. Ditaksir di
sana bahwa dengan investasi 40 juta Rupee, 1.200 ton semen dari
abu merang dapat dihasilkan setiap hari oleh 400 unit kecil
tersebar di seluruh negeri. Sebaliknya, satu pabrik semen yang
menghasilkan jumlah serupa akan berharga 270 juta Rupee. Enam
kali lebih mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo