Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU hari pada tahun 1948. Seorang fotografer muda Jerman bernama Wolfgang Reisewitz berang. Karya-karyanya ditolak pada sebuah expo perdagangan di Neustadst, Jerman. Alasan panitia: terlalu eksperimental.
Ia lalu mengumpulkan foto-foto mereka yang tidak lolos seleksi itu—dan membuat pameran tandingan. Atas koordinasi Reisewitz, di Stuggart pada musim gugur 1949 "anak-anak nakal" itu berkumpul membuat agenda program. Mereka adalah Peter Keeman, Siegfried Lauterwasser, Tony Scheineders, Ludwig Windstosser, dan Otto Steinert. Pers kemudian menjuluki mereka "The Six Angry Young Man". Bertajuk Photo Kina, mereka berpameran di Cologne pada 1950. Sebuah resensi di Frankfurter Allgemeine Zeitung menyebut ekshibisi itu sebuah "bom atom" dalam fotografi Jerman. Dari sini lahirlah sebuah gerakan yang dikenal dengan nama fotografi subyektif.
Gerakan itu banyak mendatangkan inspirasi bagi fotografer muda Jerman. Sigrun Janiel, fotografer asal Jerman yang berpameran di Galeri Milenium di bilangan Fatmawati, Jakarta, beberapa tahun lampau, misalnya, mengaku terinspirasi oleh gerakan subyektif Jerman. Obyek jepretannya adalah rongsokan-rongsokan manekin di sebuah gudang pabrik di luar Jakarta. Serakan manekin-manekin cacat (reject), berdebu, dan berlumut yang tidak layak menghiasi etalase mal itu dalam jepretan Sigrun Janiel mendapat pemaknaan sebagai korban mutilasi.
Pameran "fotografi subyektif" yang merupakan kerja sama Galeri Nasional dengan Goethe-Institut dan Galeri I See ini sendiri menampilkan karya-karya "enam pembangkang" yang pernah dipamerkan di Bonn pada 1950 dan Munich pada 1955, ditambah fotografer "subyektif" lain yang dimuat dalam edisi khusus majalah Camera pada 1959. Apa pengertian subyektif bagi mereka? Orang sah bertanya demikian karena bukankah setiap jepretan foto adalah subyektif alias bergantung pada selera sang mat kodak?
Gerakan ini tidak memaklumatkan kredo ataupun manifesto—seperti gerakan surealis. Tapi, dari contoh-contoh di Galeri Nasional ini, kita dapat menyaksikan bahwa pengertian subyektif memang bukan kegiatan mimesis atau menyalin realitas mentah-mentah. Foto bukan sekadar saksi mata sebuah realitas. Kegiatan foto tidak hanya mengambil gambar, tapi bak seni rupa bisa membuat komposisi gambar.
Para fotografer itu terlihat rajin mencari elemen-elemen grafis, abstrak, geometris, atau kontras tertentu yang muncul dalam peristiwa atau obyek sehari-hari. Gerakan ini dikatakan mendapat inspirasi dari gerakan Bauhaus, sebuah gerakan arsitek Jerman yang antitradisi. Bagi Bauhaus, keindahan muncul bukan dari elemen hiasan, melainkan dari komposisi garis dan bidang, elemen vertikal dan horizontal, yang terbentuk oleh balok, kolom, teritisan datar dan balkon, jendela transparan, dinding masif.
Dan komposisi garis dan bidang itu bagi para fotografer subyektif bisa ditemukan di mana saja. Sebongkah tanah atau retak dinding bisa membentuk alur bilur-bilur. Kaki-kaki laba-laba atau insek lainnya bisa memiliki pola geometris tertentu. Juga deretan tiang listrik, kawat-kawat, palka, dan ranting pohon oak. Gelembung-gelembung es di udara, riak-riak permukaan danau, kilauan-kilauan tetesan minyak, pantulan kabel basah, semuanya bisa membiaskan efek visual tak terduga seperti figur-figur hantu. Tony Scheineders, misalnya, memotret pola-pola tanda kelap-kelip lampu-lampu jalanan, dan Ludwig Windstosser mencari struktur saling silang gantungan-gantungan besi dan pakaian pada pabrik atau rumah cuci.
Mereka juga memiliki atensi terhadap dinamika waktu dan gerak. Suasana kerumunan orang pada sebuah pemilihan umum di Swiss, misalnya, dalam jepretan kamera Siegfried Lauterwasser tidak tampak sebagai ornamen massa—tapi perca-perca sebuah tenunan. Mereka tidak tabu melakukan retouching dalam kamar gelap, mempermainkan negatif, agar mencapai efek abstrak atau komposisi murni. Ada sebuah karya menarik berjudul Stachus in Munchen (1953) oleh Peter Keetman. Keetman memotret kemacetan lalu lintas di Munich, lalu melakukan retouching pada negatif fotonya hingga sebuah kemacetan bisa menyerupai pola motif karpet. Strenges Ballet (1949) karya Otto Steinert, misalnya, dihasilkan sepenuhnya oleh permainan kamar gelap hingga menghasilkan siluet penari balet berdiri di depan bidang-bidang garis.
Fotografer Indonesia yang mungkin paling dekat dengan spirit fotografi subyektif ini adalah Nico Dharmajungen. Pameran lulusan Hamburger Foto Schule serta seni grafis di Grafik Schule Rolf Lante Hamburg ini bertajuk I See I Feel Never Die di Galeri Cahya pada 1999, misalnya, menampilkan foto-foto permainan garis dan bayang-bayang yang timbul dari kontradiksi asimetris dan simetris di sembarang sisi-sisi arsitektur gedung, pohon-pohon, kayu, tiang listrik, pintu, tangga, jendela, cagak besi.
Pameran di Galeri Nasional ini berharga karena memberikan sebuah perspektif estetika. Estetika yang kuat bukan semata-mata berdasarkan eksperimen, insting, atau keanehan, melainkan dilandasi epistemologi—cara pandang dasar tertentu mengenai realitas. Realitas itu kaya, berlapis-lapis, dan multiperspektif. Menyodorkan salah satu perspektif dasar—seperti yang diusahakan gerakan subyektif ini—adalah "tugas suci" seniman.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo