Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suhu di luar ruangan mencapai nol derajat Celsius. Angin tajam membuat dingin tambah menusuk. Namun, di dalam ruangan di De Doelen, suasana terasa hangat dan akrab. Para pembuat film, produser, distributor, dan programer festival bercakap-cakap, baik serius untuk mengurusi bisnis maupun sekadar menyapa.
Suasana festival film internasional di Rotterdam yang ke-38 ini memang ditandai dengan kehangatan. ”Suasana di festival ini memang akrab. Semua bisa bertemu dengan mudah,” kata Edwin, sutradara Indonesia, yang sudah datang ke Rotterdam beberapa kali. Tahun lalu, Edwin datang membawa film Babi Buta yang Ingin Terbang untuk ditawarkan di Cinemart, ajang pertemuan produser dan pembuat film dengan calon pendana. Tahun ini, ia membawa Babi Buta untuk bersaing dengan 13 film lain memperebutkan satu dari tiga Tiger Award, penghargaan paling bergengsi di festival ini, dengan hadiah 15 ribu euro.
Festival yang berlangsung sejak 21 Januari hingga 1 Februari di kota pelabuhan ini dikenal sebagai festival yang memberikan kesempatan kepada para pembuat film yang tergolong baru. Film-film yang masuk nominasi penghargaan tertinggi festival ini, Tiger Award, adalah film dari sutradara yang baru membuat satu atau dua film panjang. Festival film ini, dalam catatan resmi direktur festival Rutger Wolfson, berniat mencari karya para sutradara muda idiosinkratik dan menemukan karya inovatif yang merangsang diskusi dan refleksi.
Film Babi Buta bukan satu-satunya film Indonesia di festival ini. Beberapa film lain turut diputar, misalnya Under the Tree karya Garin Nugroho, Kantata Takwa (Erros Djarot dan Gotot Prakosa), Jermal (Ravi Bharwani dan Rayya Makarim), Pintu Terlarang (Joko Anwar), dan Kado Hari Jadi (Paul Agusta). Ada lagi 9808: Antologi 10 Tahun Reformasi (sepuluh sutradara muda), Shaman (Raditya Sidharta), Takut (kompilasi film pendek dari enam sutradara muda), dan Indonesian Looks at Girls, Pigs and Madman, yang merupakan kombinasi tiga film pendek dari tiga sutradara Indonesia.
Kesempatan buat Edwin menang di festival ini tidak kecil. Filmnya yang tergolong idiosinkratik dan personal itu banyak dibicarakan selama festival (baca Tempo edisi 26 Januari-1 Februari 2009). Sampai hari ketujuh, Babi Buta merupakan film nomor dua yang paling banyak diakses di perpustakaan festival. Artinya, film ini memang banyak dibicarakan. Lagi pula, dalam beberapa tahun terakhir, sutradara muda Asia Tenggara berjaya di festival ini. Tan Chui Mui dari Malaysia mendapat Tiger Award pada 2007 untuk filmnya, Love Conquers All (Mui menjadi juri untuk kompetisi film pendek tahun ini). Nama lain adalah Liew Seng Tat dari Malaysia, yang menang dengan filmnya, Flower in the Pocket, dan Aditya Assarat dari Thailand dengan Wonderful Town, yang mendapat hadiah bergengsi tahun lalu.
Para sutradara Asia Tenggara juga mendapat kesempatan mengeksplorasi kemungkinan baru: pertemuan antara film panjang dan seni instalasi. Enam sutradara dari negara-negara Asia Tenggara diminta membuat seni instalasi yang disesuaikan dengan tema program untuk negara-negara Asia, yaitu Hungry Ghost. Tema ini berangkat dari anggapan bahwa film horor dan hantu di Asia memang nyata. Para penonton film horor dan pembuatnya sama-sama percaya akan hantu. Maka kamar-kamar di sebuah gedung di Jalan Witte de Withstraat diubah menjadi ”Rumah Hantu” sesuai dengan gagasan ini. Dari Indonesia, Garin Nugroho membuat instalasi yang memajang sketsa gambar hantu-hantu yang ada di rumahnya di Yogyakarta dalam Transformation: Ghosts in Garin Nugroho’s House. Garin juga memasang lukisan pesugihan, gambar-gambar tebakan lotere, dan gambar kaligrafi ayat Kursi dalam bentuk Semar. ”Pameran ini memang memajang teks sinkretisme Jawa dan Islam,” tutur Garin. Di ruang lain, Garin memutar berbagai jenis hantu dalam film Indonesia. ”Isinya olok-olok tapi serius,” kata Garin lagi.
Sutradara Indonesia lainnya, Riri Riza, merekonstruksi tempat pemandian keris dalam Purification Pod. Sebuah cermin besar dipajang di depan meja kecil itu, seakan Riri meminta kita melihat bayangan kita sendiri sebagai pelaku penyucian. Nguyen Vinh Son dari Vietnam memajang berbagai ornamen upacara kematian dan boneka-boneka serba merah di sebuah kamar yang dinamainya Meeting Room for Life and After-Life. Amir Muhammad dari Malaysia meletakkan empat kursi dan sebuah meja di sebuah ruang serba putih. Ia menyediakan buku cerita-cerita seram Malaysia dalam Reading Room. Pameran interaktif dibuat oleh Wisit Sasanatieng dari Thailand, Close Encounter of the Ghost. Pintu yang menutup tiba-tiba dan kamar yang gelap membuat pengunjung menjerit ketika memasukinya. Sayang sekali, ketika saya mengunjunginya, sedang ada kerusakan teknis pada instalasi itu.
Namun yang paling menarik dari seni instalasi ini adalah karya sutradara prolifik asal Filipina, Lav Diaz, dengan Manila’s Dark Room. Yang dilakukan Diaz adalah memajang foto-foto para korban pelanggaran hak asasi manusia di Filipina dan memasang lampu berwarna merah di situ. Ketika foto itu lama-lama dipandangi, muncul kesan bahwa mereka sedang ”bertanya” tentang nasib mereka sebagai korban kekerasan. ”Idenya adalah para korban pelanggaran hak asasi manusia itu menghantui bangsa Filipina,” kata Lav Diaz.
Pengumuman peraih Tiger Award akan diadakan pada sebuah resepsi di De Doelen pada malam 31 Januari. Kita semua bisa menunggu apakah akan ada generasi baru sutradara Indonesia yang membawa pulang piala dari festival yang pernah ”menemukan” Christopher Nolan ini.
Eric Sasono (Rotterdam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo