Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

<font color=#CC0000>Topeng</font> dan <font color=#CC0000>Wayang</font>, Terjual Sayang

Usaha keras lebih dari 20 tahun menghasilkan Rumah Topeng dan Wayang Setia Darma dengan koleksi empat ribu lebih wayang dan seribuan topeng. Kini banyak yang menjadikannya laboratorium studi.

12 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kumbakarna tergeletak di atas sebuah kotak. Di sisi­nya tampak dua bersaudara Ramawijaya dan Laksmana. Mereka baru saja bertarung di medan perang akibat ulah Dasamuka menculik Dewi Sinta. Kumbakarna gugur dalam perang yang juga melibatkan balatentara Alengka itu.

Salah satu epos dalam cerita pewayangan ini menjadi tema sajian khusus Rumah Topeng dan Wayang Setia Darma yang dimulai Senin pekan lalu. Berlokasi di kawasan Tegal Bingin, Banjar Tengkulak Tengah, Kemenuh, Gianyar, Bali, tempat yang mengoleksi ribuan topeng dan wayang ini memang kerap menyuguhkan topik tertentu bagi pengunjungnya.

Tokoh Kumbakarna dipilih untuk sajian kali ini sebagai simbol keteladanan. Ia gugur dalam peperangan bukan lantaran membela keserakahan Dasamuka, kakaknya, melainkan demi menghadapi musuh yang menyerang tanah airnya, Alengka. ”Dalam masa kekinian, kita membutuhkan tokoh yang tidak hanya mementingkan ego sendiri,” ujar Agustinus Prayitno, 64 tahun, salah seorang kurator Rumah Topeng dan Wayang.

Koleksi Rumah Topeng dan Wayang bukan hanya Kumbakarna serta kerabatnya. Dari perburuan sejak 1998, saat ini sudah terkumpul 4.700 wayang, sekitar 1.500 di antaranya berupa wayang golek. Adapun topeng telah mencapai 1.167 jenis.

Benda-benda yang merupakan bagian dari properti pertunjukan seni serta ritual keagamaan itu diperoleh dari berbagai pelosok Indonesia. Dari ujung timur, yakni Papua, di antaranya topeng baju roh dat jumo. Dibuat oleh pinatua adat Simai di tengah hutan, topeng ini menggambarkan roh leluhur dalam upacara adat suku Asmat, yipai tokumbo. Bahan dasarnya terdiri atas sulaman tali lulup, rumbai daun sagu. Matanya terbuat dari bulatan kayu hutan dan rotan. Dari kawasan barat, yakni Sumatera Utara, di antaranya topeng enggano. Ihwal topeng ini belum diketahui detailnya.

Tak kalah menarik adalah topeng-topeng dari Kalimantan. Di antaranya topeng hudog, yang digunakan suku Da­yak dalam berbagai kegiatan ritual, seperti saat menanam tanaman. Bentuknya bermacam-macam. Ada yang berwajah babi sebagai simbol perusak tanaman, ada yang berupa burung enggano sebagai simbol pelindung. Dua di antara koleksi topeng suku Dayak bahkan sudah berupa fosil.

Topeng dari daerah lain pun sama beragamnya. Dari Lombok diperoleh, misalnya, topeng amaq iret. Topeng ini menggambarkan figur lelaki yang doyan berpoligami lantaran penuh berahi meski suka bersolek. Dari Madura di antaranya topeng Subadra, Begawan Durna, Setiaki, Arimbi, dan Arjuna. Kelima topeng ini bahkan merupakan cikal bakal koleksi, yang didapat pada awal masa perburuan. Tak ketinggalan topeng dari Pulau Jawa dan pulau lainnya.

Selain topeng dari negeri sendiri, ada topeng dari negara-negara lain. Dari sejumlah negara di Afrika diperoleh 77 jenis. Antara lain topeng yang lazim digunakan dalam ritual perkawinan suku Morka, Mali. Koleksi dilengkapi pula topeng asal Meksiko sebanyak 15 jenis, topeng kertas dari Kamboja (14 jenis), topeng komedi Italia (13), topeng kertas Korea (55), topeng kayu Sri Lanka (6), serta replika topeng Jepang (58).

Koleksi wayang pun tak kalah beragam. Lebih dari 3.000 wayang kulit dan 1.500 wayang golek sudah hampir lengkap mewakili daerah-daerah di Indonesia, bahkan Tiongkok, Malaysia, Kamboja, Laos, Burma, Sri Lanka, Thailand, hingga India. Ada pula delapan jenis wayang Bali, yakni Ramayana, Mahabarata, Cupak, Gambuh, Calonarang, Tantri, Babat, dan wayang Arja. Demikian pula wayang Jawa. Koleksi masih pula dilengkapi wayang suket, wayang kaca, serta wayang beber—meskipun yang ini hanya berupa duplikat.

Semua koleksi itu ditata di enam rumah berarsitektur Jawa yang diangkut dari Demak dan Kudus, Jawa Tengah. Rumah-rumah ini—masing-masing berukuran 33 x 15 meter rata-rata telah berusia sekitar 100 tahun. Ini yang membedakannya dengan museum lain di Bali. Ciri arsitektur Bali tentu saja tetap ada, yakni berupa penggunaan dasar-dasar Asta Kosala Kosali, pakem bangunan khas Bali, seperti bangunan Wantilan dan kompleks Jineng—rumah tinggal khas Bali.

Menempati lahan hampir dua hektare, Rumah Topeng dan Wayang merupakan hasil jerih payah Hadi Su­nyoto dan Prayitno. Mereka punya hobi serupa: menyukai barang-barang antik. Hadi, pengusaha keturunan Tionghoa kelahiran Malang 58 tahun lalu yang kini bermukim di Jakarta, mengoleksi berbagai jenis benda seni serta apa yang disebutnya ”barang-barang tua”. Dia punya galeri di Jakarta. Prayitno—biasa di­sapa Pak Prayit oleh peminat budaya di Bali semula sempat berdagang barang antik. Tapi lelaki kelahiran Kembang­bahu, Lamongan, Jawa Timur, ini lalu berminat menyelamatkan barang-barang antik.

Mereka bertemu pada 1998. Sejak itu mereka seperti membagi tugas. Hadi menyediakan dana dan Prayitno berburu ke berbagai pelosok Nusantara. Selama dua tahun pertama bisa dikumpulkan 300 topeng. Usaha itu sempat terhenti beberapa lama. Mereka tak tahu mau diapakan topeng-topeng itu. ”Setelah terkumpul, kalau disimpan saja, ya, sayang,” ujar Hadi, pemilik PT Alam Sari Unggul, perusahaan yang antara lain memproduksi kawat las listrik.

Dalam kebingungan itu Hadi mengusulkan untuk juga mengumpulkan wayang. Bahkan lahir pula ide untuk tidak saja melakukan penyelamatan, melain­kan juga memanfaatkan topeng dan wayang sebagai sarana pendidikan. Dari situlah keduanya bersepakat mendirikan Rumah Topeng dan Wayang.

Perburuan kembali dilakukan. Dan kesulitan demi kesulitan senantiasa menghadang. Berkali-kali, misalnya, Prayitno mendekati keluarga pemilik wayang beber Pacitan dan wayang beber Wonosari, Bantul. Tapi usahanya selalu gagal, karena wayang-wayang itu disakralkan oleh komunitasnya. Dibuka pun hanya boleh saat diselenggarakan sebuah upacara. Tak ingin berhenti mendapatkannya, kalaupun sulit memperoleh yang asli, Prayitno berusaha mendapatkan kopiannya.

Prayitno juga pernah sepekan berada di pedalaman Lamandau, Sampit, Kalimantan Tengah. Bahkan khusus menghadiri pertemuan suku Dayak. Namun topeng yang dicari tak ditemukan. Topeng hudog justru didapat dari seorang pedagang barang antik asal Sulawesi Selatan. Sebagai bekas pedagang barang antik, hubungan Prayitno dengan jaringan pedagang cukup membantu.

Pembangunan kompleks Rumah Topeng dan Wayang, seperti halnya perburuan koleksi topeng dan wayang, dilakukan bertahap sejak 2000. Lima tahun kemudian dilakukan soft opening. Untuk memberikan kekhasan bagi Rumah Topeng dan Wayang, pada 2007 mulai diselenggarakan pameran tematik, saat itu mengangkat topik Kresna Duta dan terus berlanjut hingga saat ini untuk masa satu hingga tiga bulan.

Sudah miliaran rupiah dana yang dihabiskan untuk mewujudkan Rumah Topeng dan Wayang. Namun Hadi tak ingin membicarakannya secara finansial. ”Ini menyangkut ideologi,” katanya, ”dan misi yang ingin kami capai tidak bisa diukur secara ekonomi.”

Dia menuturkan tujuan di balik kerja ”gila”nya adalah pelestarian topeng dan wayang sebagai benda seni dan budaya. Dia mengaku terus cemas karena tanda-tanda degradasi apresiasi terhadap topeng dan wayang kian menjadi-jadi. Perdagangan benda seni dan budaya itu tak mustahil mengakibatkan topeng dan wayang habis terjual ke luar negeri. ”Daripada habis terjual ke negeri orang, kami lalu tergerak untuk menyelamatkannya.”

Usaha mereka tidak sia-sia. I Dewa Ketut Wicaksana, Ketua Jurusan Seni Pedalangan Institut Seni Indonesia Denpasar, menyebut Rumah Topeng dan Wayang ibarat laboratorium bagi dosen dan mahasiswanya. Dia membawa mahasiswanya melakukan studi lapangan ke sana. ”Koleksinya lengkap dibanding museum lain yang pernah saya kunjungi, penataannya pun bagus,” katanya.

Selain 30-50 orang tamu umum tiap bulan, sejumlah pakar topeng dan wa­yang sudah berkunjung. Di antaranya penari topeng Bali, Nyoman Sija, yang hadir menandai peresmiannya. Peneliti kebudayaan dari berbagai negara pun tak ketinggalan. Di antara mereka ada pakar museum dari Belanda, John Keiser; Library of Congress Field Director for Southeast Asia, William Tuchrello; dan peneliti tari topeng asal Korea, Garrett Kam.

Walter Angst asal Jerman, yang sudah 50 tahun menjadi kolektor wayang Indonesia, justru menemukan kelengkapan unsur atau properti untuk pergelaran wayang setelah berkunjung ke Rumah Topeng dan Wayang. Foto gunungan yang menghiasi bukunya, Wa­yang Indonesia Collection, diambil dengan memotret koleksi gunungan di Rumah Topeng dan Wayang.

Toh, bagi Hadi dan Prayitno, semua itu barulah satu atau dua langkah dari rangkaian langkah panjang yang harus ditempuh. Dan karena memahami benar tantangan yang dihadapi tak mudah, baik soal tenaga ahli yang piawai mengelola maupun pendanaannya, Hadi menegaskan, ”Kami tidak ingin memasang target. Yang penting bisa terus mengalir.”

Jalil Hakim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus