Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap 17 Agustus, selama enam tahun, Gregorius Antar Awal, 49 tahun, tidak pernah absen berkeliling pedalaman Nusantara. Bersama timnya dari kantor arsitek Han Awal & Partners, mereka mendokumentasikan—melalui foto dan tulisan—kekayaan seni dan arsitektur negeri ini. Kampung pedalaman di Toraja, Nias, dan Flores sudah ia jelajahi.
Dari kegiatan tahunan tersebut, pria yang disapa Yori Antar ini menyadari karya seni di Indonesia luar biasa indah dan banyak. "Pulau kecil saja punya seni ukir, tenun, bangunan, dan bahasa yang khas," katanya. Bangunan-bangunan adatnya juga unik sehingga bisa menjadi sumber inspirasi bagi keilmuan di masa depan. "Paling sempurna, sampai orang Jepang belajar sering ke sini (Indonesia)," kata lulusan teknik arsitektur Universitas Indonesia itu.
Sayang, tidak sedikit bangunan adat yang dia jumpai hampir punah. Di Tanah Karo, Sumatera Utara, Yori pernah menemukan semua rumah adatnya hilang. Bahkan informasi tertulis soal rumah itu tidak ada. Yang tertinggal hanyalah informasi lisan. Ia pun berkeinginan menyelamatkan kekayaan tersebut dengan merekonstruksi bangunan-bangunan tradisional.
Keinginan itu semakin tinggi saat ia berkunjung ke Kampung Wae Rebo di pedalaman Pulau Flores pada 17 Agustus tiga tahun lalu. Bersama timnya, Yori masuk ke hutan belantara, mendaki gunung selama lebih dari empat jam. Itu dia lakoni hanya demi mendapatkan kampung dengan rumah-rumah tradisional yang ia lihat di foto.
Sesampai di sana, ternyata dari tujuh rumah adat berbentuk kerucut itu hanya tersisa empat. Dua di antara yang tersisa hampir roboh. Yori pun tergugah membangun kembali rumah yang disebut mbaru niang itu. Proyek yang dia namakan Rumah Asuh itu ia jalankan bersama anggota staf kantornya. Mayoritas berumur di bawah 30 tahun dan jumlahnya tidak lebih dari 10 orang.
Proyek ini bukan tanpa kendala. Permintaan izin untuk menebang pohon saja butuh waktu berbulan-bulan. Padahal pembangunannya hanya beberapa hari. Begitu bahan tersedia, kendala lain muncul. Masyarakat harus mempelajari kembali teknik membangun mbaru niang. Maklum, terakhir mereka melakukannya lebih dari sepuluh tahun lalu. Untuk itu, rumah adat mereka yang hampir roboh harus dibongkar satu per satu untuk dipelajari, kemudian dibangun kembali dengan material baru.
Meski kayu bisa diambil dari hutan, ongkos pembangunan tak murah. Satu rumah membutuhkan dana Rp 250 juta. Untungnya, Yori memperoleh sejumlah donatur—"orang tua" asuh bagi rumah-rumah tersebut. Kesempatan itu menjadi cara Yori untuk mendekatkan jarak antara arsitek dan masyarakat. "Semacam proyek jemput bola," ujarnya.
Donatur pertama adalah Yayasan Tirto Utomo. Yori mengenal Lisa Tirto Utomo—janda pendiri perusahaan air minum Aqua—saat diminta membangun pusat pelatihan kain tenun di Sintang, Kalimantan Barat, beberapa bulan sebelum kepergiannya ke Wae Rebo. Untuk rumah lainnya, ia mendapat bantuan dana dari Laksamana Sukardi, Arifin Panigoro, dan Aqua.
Pertengahan tahun lalu, akhirnya tujuh mbaru niang muncul kembali di desa tersebut. Masyarakat berpesta besar. Mereka percaya nenek moyangnyalah yang mewariskan tujuh rumah yang bisa diisi enam keluarga itu. Tempo berkesempatan melihat langsung kegembiraan tersebut. "Saya merasa benar-benar jadi orang Wae Rebo," kata Martinus Anggo, 42 tahun, warga kampung itu.
Proyek Rumah Asuh kemudian berlanjut ke Desa Ratenggaro di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Pada hari kemerdekaan tahun lalu, masyarakat di sana mulai membangun rumah adat. Namun sebelumnya sempat terjadi perlawanan dari masyarakat setempat atas kehadiran Yori dan teman-temannya. "Kami dicurigai kenapa mau bangun rumah adat mereka," katanya.
Golok sempat terhunus di kampung yang dahulu menjadi markas prajurit berkuda itu. Yori pun mengajak mereka berdialog, didampingi seorang pastor, Robert Ramone. Masyarakat akhirnya setuju dengan syarat. Rumah Asuh hanya boleh memberi bantuan Rp 50 juta untuk empat tiang utama. Sisa dana mereka cari secara bergotong-royong. Begitu pula pembangunannya.
Ketika tiang-tiang utama mulai berdiri, golok kembali terhunus. Namun kali ini untuk mengekspresikan kegembiraan. Kaki mereka mengentak-entak seperti kuda, mulut berteriak-teriak. Iringan musik tradisional berkumandang untuk memberi semangat para pekerja. Pemandangan tersebut yang, menurut Yori, tidak pernah terdokumentasikan dengan baik di negara ini. "Malah orang asing yang melakukannya," ujar penggagas forum Arsitek Muda Indonesia pada 1989 itu.
Semua dokumentasi tersebut ia buat dalam bentuk buku, video, dan foto, yang bisa diakses oleh semua orang. Ia menilai justru arsitektur Nusantara harus dibiarkan berkembang sesuai dengan tradisi dan budayanya. Sebab, dari perkembangan itu akan memunculkan penemuan baru. Namun, untuk mencapai hal tersebut, posisinya harus sama dengan arsitektur modern. Paling tidak, ia berharap, ilmu yang sudah diamalkan ratusan tahun ini bisa masuk kurikulum perguruan tinggi.
Karena itu, dalam program Rumah Asuh selalu dilibatkan para mahasiswa yang ingin kerja praktek. Mereka membantu dan tinggal bersama masyarakat di sana selama kurang-lebih dua bulan. Para mahasiswa juga bertugas mendokumentasikan secara lengkap proses pembangunan.
Dengan memberikan informasi soal teknik dan material rumah adat secara terus-menerus, diharapkan bisa membuat arsitektur modern lokal lebih memiliki karakter Indonesia. Cara ini terjadi di Jepang. Masyarakat di sana sangat bangga akan tradisi dan budayanya, sehingga bangunan modern pun bisa terasa sangat tradisional. Penerapannya bisa dari teknik pencahayaan, kesederhanaan bentuk, atau struktur bangunan tahan gempa.
Banyak proyek filantrofi yang ingin terlibat dalam proyek Rumah Asuh saat ini. Namun, karena keterbatasan orang, Yori pun mengaku kewalahan mencari lokasi. Fokusnya memang di luar Jawa dan Bali. "Daerah di pelosok itu yang justru butuh perhatian," kata Yori. Rumah adat di Tanah Karo mungkin akan menjadi target penyelamatan berikutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo