Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

<font face=arial size=2 color=#FF0000><B>Paul Marshall:</B></font><br /> Pemerintah Diam, Kelompok Radikal Lantang

Kekerasan antarkelompok beragama kian meningkat. Penting menggalakkan dialog antarkeyakinan.

17 September 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Silenced: How Apostasy and Blasphemy Codes are Choking Freedom Worldwide
Penulis: Paul Marshall, Nina Shea
Penerbit: Oxford University Press
Terbit: November 2011
Tebal: 448 + viii

Sudah tujuh atau delapan kali ia datang ke Indonesia. Baru beberapa tahun belakangan ini Paul Marshall, peneliti dari Center for Religious Freedom, Hudson Insti­tute, ­Washington, DC, merasakan suasana kebebasan beragama berubah. Ia menyaksikan ada peningkatan kekerasan terhadap kalangan minoritas umat beragama di Indonesia.

Marshall telah meneliti kekerasan terhadap umat beragama di 20 negara berpopulasi muslim. Dalam penelitian yang dia tuangkan dalam buku Silenced: How Apostasy and Blasphemy Codes are Choking Freedom Worldwide, yang ditulis bersama Nina Shea, ia menemukan pelbagai tuduhan dan hujatan tak jelas dalam kekerasan yang mereka lakukan. Tuduhan itu, seperti "murtad", "menghina Islam", "kafir", dan "sesat", telah menciptakan kebingungan di kalangan muslim. "Semestinya pemerintah di tiap negara berusaha mencegah terjadinya kekerasan seperti itu," katanya kepada Tempo.

Di lobi Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa pekan lalu, pria 64 tahun ini menjelaskan fenomena meningkatnya kekerasan yang ia amati itu. Buku Silenced terdiri atas 16 bab dan 448 halaman. Indonesia terdapat di bab kesembilan dan diulas dalam tujuh halaman. Marshall datang untuk mempromosikan dan menjajaki kerja sama buat menerbitkan buku yang terbit akhir tahun lalu itu dalam bahasa Indonesia. Mengenakan batik cokelat, doktor lulusan York University, Toronto, itu melayani wawancara wartawan Tempo Budi Riza dan Seulky Lee.

Apa kegiatan Anda selama di Indonesia?

Saya datang untuk mempromosikan buku ini. Saya telah berbicara dengan sejumlah kalangan dan menghadiri seminar yang disponsori Freedom Institute, The Habibie Center, dan Maarif Institute. Banyak diskusi terjadi. Saya juga bertemu dengan aktivis lembaga swadaya masyarakat dan penggiat hak asasi manusia. Saya melihat ada peningkatan kekerasan, misalnya penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah dan Syiah. Kalangan cendekiawan membenarkan pengamatan saya itu.

Apakah peningkatan kekerasan itu merupakan gejala global?

Situasi dunia saat ini memburuk. Bagian akhir dari buku ini berbicara mengenai dunia, sedangkan bagian pertamanya berbicara mengenai 20 negara, seperti Arab Saudi, Iran, Pakistan, Afganistan, dan Mesir. Masalah mereka cenderung meningkat, sementara masalah di Indonesia (dibandingkan dengan negara-negara itu) relatif lebih sedikit. Masalah terjadi, misalnya, saat pemerintah menuduh seseorang melakukan pencemaran agama lalu memenjarakannya. Tapi yang paling sering terjadi adalah serangan dari sesama masyarakat sipil, misalnya ada imam yang menuduh seseorang melakukan pencemaran agama. Problem seriusnya, kebanyakan pemerintah tidak melakukan apa pun (untuk mencegah). Pemerintah biasanya tidak setuju dengan kalangan radikal, tapi (pada saat bersamaan) membutuhkan dukungan politik dari mereka. Ini terjadi antara lain di Pakistan.

Jadi, judul Silenced pada buku ini merupakan pesan Anda karena pemerintah tak melakukan apa pun?

Ya. Akibatnya, publik jadi diam. Semua orang menjadi korban. Misalnya kelompok Bahai dan Ahmadiyah, lalu orang yang pindah agama. Begitu juga Syiah di Mesir dan di Indonesia serta Sunni di Iran. Mereka mengalami tekanan. Kelompok reformis religius juga menjadi korban.

Bagaimana Anda melihat sikap pemerintah Indonesia terhadap, misalnya, tindakan penyerangan komunitas Syiah dan Ahmadiyah?

Indonesia masih merupakan salah satu negara yang terbuka, tapi ada peningkatan kekerasan. Ada pemimpin Syiah yang dipenjarakan, pemeluk Ahmadiyah yang terbunuh, dan serangan terhadap gereja. Saya mengikuti isu-isu itu. Dan pemerintah tidak melakukan apa pun, jadi seperti membiarkan berkembang. Kelompok radikal lantang menyuarakan pendapatnya sehingga semua orang terdiam karena takut diserang.

Bagaimana dialog antarkeyakinan bisa menyelesaikan masalah kekerasan ini?

Saya kira itu sangat penting. Orang tidak harus saling sependapat satu sama lain, tapi berdialog itu penting. Konferensi agama dunia tidak hanya antara muslim dan nonmuslim, tapi juga dialog internal di tiap komunitas.

Apa pesan penting dari buku Anda kepada pembaca?

Pertama, jika ada yang menuduh orang lain melakukan penghinaan agama, biasanya yang menjadi tertuduh adalah orang yang berbeda pendapat dengan kelompok radikal. Kedua, jika Anda membatasi kebebasan beragama, kekerasan bernuansa agama akan meningkat. Ini berdasarkan sebuah survei di 200 negara, baik berpopulasi Islam, Kristen, maupun Hindu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus