Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

"IDE-IDE SAYA TETAP SOSIALIS"

29 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah rumah sederhana berlantai dua di selatan Kota London. Inilah tempat para aktivis Indonesia bertandang, atau bahkan menginap, barang beberapa hari. Sang pemilik rumah adalah Carmel Budiardjo, penerbit buletin Tapol, yang dimusuhi pemerintah Orde Baru. Carmel—kini berusia 74 tahun—hidup sendiri sejak ia bercerai dengan suaminya dan kedua anaknya menikah dan tinggal di luar Inggris. Sebagai nyonya rumah, Carmel dikenal sangat ramah dan keibuan. Kepada tamunya, ia sering menyajikan masakan favoritnya, gado-gado yang dibuat dengan bumbu instan. Sosok Carmel dari dekat memang jauh berbeda dari yang dicitrakan rezim Orde Baru: seorang yang gencar menggasak pemerintah Indonesia. Sangat boleh jadi, suara lantang Carmel lewat Tapol memang membuat merah telinga penguasa saat itu. Namun, Carmel punya alasan kuat. Ia ditahan tiga tahun oleh rezim Orde Baru tanpa pengadilan karena dianggap terlibat peristiwa 30 September. Status sebagai warga negara Inggrislah yang akhirnya menyelamatkannya. Ia tak mengalami siksaan fisik seperti tahanan lain, dan mendapatkan kebebasan lebih cepat. Terlahir dari keluarga Brickman—keturunan Yahudi yang berasal dari Polandia—Carmel mulai akrab dengan komunisme sejak masa remajanya. Ideologi itulah yang membuatnya mengenal Indonesia untuk pertama kali. Ia kesengsem dengan Indonesia setelah bertemu dengan Suwondo Budiardjo, pada 1948, di Praha. Saat itu, Budiardjo sedang menjalani pengasingan politik setelah peristiwa Madiun. Mereka menikah di Praha pada 1950, dan pindah ke Indonesia dua tahun kemudian. Budiardjo bekerja di Kementerian Angkatan Laut, sementara Carmel di Departemen Luar Negeri, setelah sebelumnya sempat jadi penerjemah. Mereka tinggal di kawasan elite Menteng, tak jauh dari kediaman Soeharto. Jalan hidup yang semula mulus jadi berantakan setelah peristiwa 30 September pecah. Sebagai orang yang berhaluan kiri, Budiardjo langsung dicokok militer tahun itu juga. Setelah dua kali penahanan, Budiardjo dilepas. Pada 1968, giliran Carmel, yang tengah memberi les bahasa Inggris, ditahan. Budiardjo, yang sebenarnya tak diincar, justru ditawan kembali dan baru bebas pada 1978. Mereka akhirnya bercerai. Dengan kepahitan yang dideritanya, tak aneh bila Carmel menulis ia ingin hidup cukup panjang untuk merayakan kejatuhan Soeharto dan melihat terciptanya Indonesia yang demokratis. Berikut wawancara Yusi A. Pareanom dari TEMPO dengan Carmel, melalui surat elektronik:

Apakah Anda bisa menerima Soeharto diturunkan tanpa diadili?

Menurut saya, yang penting Soeharto diadili bukan karena korupsi, tetapi terutama karena crimes against humanity (tindakan kriminal terhadap kemanusiaan) yang menjadi tanggung jawabnya sejak lahirnya Orde Baru pada 1965, dengan dibunuhnya beratus-ratus ribu orang atas tuduhan PKI dan pembantaian lain yang terjadi selama rezim Soeharto.

Apa pengalaman Anda yang paling membekas selama dalam tahanan?

Perasaaan kehilangan hak. Hak untuk menantang penahanan yang ilegal, hak untuk mendapat bantuan pengacara, bahkan hak untuk mengetahui dari hari ke hari apa yang akan terjadi terhadap saya, terhadap suami, dan terhadap teman-teman.

Anda dipenjarakan karena dituduh sebagai anggota PKI. Namun, Anda membantahnya dalam buku Anda dengan mengatakan Anda anggota setengah legal. Apa maksudnya?

Saya secara resmi tidak pernah dituduh. Semula, saya dikatakan anggota CC-PKI, tetapi mereka segera menyadari bahwa itu bohong besar. Sebelum Oktober 1965, saya sering membantu Sekretariat PKI dalam hal menerjemahkan dokumen ke dalam bahasa Inggris dan juga membantu memberi analisis mengenai masalah ekonomi kepada orang-orang seperti D.N. Aidit. Tetapi, saya tidak pernah menduduki suatu posisi resmi dalam struktur PKI.

Seperti apa DN Aidit yang Anda kenal?

Dia orang yang cara bicaranya sangat direct, singkat, dan tidak bertele-tele. Saya hanya beberapa kali bertemu dengan Aidit dan selalu dalam kesempatan yang agak santai, artinya tidak pernah untuk mengikuti diskusi politik. Beberapa kali dia meminta pendapat saya (secara tertulis) mengenai soal-soal ekonomi karena waktu itu saya masih berkecimpung di bidang ekonomi sebagai kolumnis di koran, dan juga sebagai pengajar di universitas. Dia tahu saya bukan ekonom marxis karena saya tidak pernah belajar ekonomi marxis.

Anda dulu pernah tergabung dalam partai komunis di Inggris. Apakah Anda memang percaya komunis sebagai ideologi, terutama setelah Uni Soviet bubar?

Ya, saya dulu sebelum meninggalkan Inggris pada 1946 menjadi anggota CPGB (Partai Komunis Inggris—Red). Tidak becusnya sistem Soviet di mana-mana membikin saya kesal dan kecewa terhadap cara partai-partai komunis mengatur, yang selalu berdasarkan dictatorship of the proletariat, yang sebenarnya berarti dictatorship of the communist bureaucrats, yang tidak menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia serta demokrasi. Tapi, ide-ide saya tetap sosialis, dengan mendukung sistem negara yang berdasarkan kepentingan rakyat jelata dan bukan sistem yang melayani kepentingan kaum elite.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus