Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KENDANG menggaung. Irama lagu gurun pasir terlantun. Di tengah sejumlah penari, satu perempuan bergaya pakaian Timur Tengah masuk ke tengah panggung. Kostumnya dominan biru, dengan celana sedikit robek megar dan atasan yang tak menutupi sebagian dada. Dengan gerakannya, Susi Mariah, 26 tahun, mulai memukau penonton.
Tapi bukan tari perut penuh lenggokan pinggul dan bokong yang ditunjukkannya. Ia berlari dengan kaki menjinjit sambil tangannya terlihat membentuk capit kalajengking. Lalu satu lelaki mengangkat tubuhnya. Tak lama, Susi menari sendiri, dengan gaya balet yang masih terasa. Kadang melompat lompat dengan anggun dan energetik. Begitu enteng, dan sulit dipercaya dia sudah memiliki anak.
Aksi Susi ini menjadi puncak sekaligus penutup tari berjudul Survival karya maestro balet Farida Feisol Oetoyo, yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat dua pekan lalu. Sebuah balet neoklasik berdurasi hampir 30 menit dengan jumlah penari lebih dari 20 orang, semuanya dari sekolah balet Sumber Cipta pimpinan Farida.
Tari ini pernah dimainkan di gedung yang sama pada 1986 dengan judul Inspirasi Prokokiev. Musik memang menggunakan ilustrasi komposisi dua komponis klasik Rusia: Sergei Proko kiev dan Dmitri Shostakovich. Karya ini dikoreografi ulang pada 2007. Tiga tahun silam itu Susi bermain. ”Bagian itu memang saya ciptakan khusus untuk Susi,” kata Farida. Dan terbukti, tak percuma Farida menghadiahkannya untuk murid yang sejak usia empat tahun sudah belajar darinya itu.
Namun, selain penampilan Susi yang menonjol, secara umum koreografi Survival datar. Kadang gerakan para balerina terasa kaku. Para balerino pun terlihat labil saat berdiri dengan satu kaki, dan canggung ketika mengangkat raga balerina. Yang paling terasa musik Prokokiev dan Shostakovich tampak terlalu kuat dan seolah menjadi bagian terpisah dari tarian.
Tapi semua kekurangan itu tertutupi oleh karya Farida selanjutnya, Serdtse (The Heart). Karya ini pernah dipentaskan pada 2006 dan bercerita tentang denyut kehidupan yang penuh ketenangan, energi, dan permasalahan. Serdtse diakui Farida sebagai bentuk kekagumannya pada pembuluh nadi. Farida, kini 71 tahun, pernah menderita sakit penyempitan pembuluh darah. Dan ini semua terefleksi dalam panggung serba merah.
Hampir sepanjang pertunjukan, sepuluh balerina dan balerino dengan kostum merah bergelut dengan kain merah panjang. Mereka bisa bergerak mengombak di bawah kain atau membekap tubuh dengan kain yang panjangnya lebih dari 10 meter. Semua dikemas dalam gerakan yang cukup lincah dan serentak.
Kita bisa menyaksikan tubuh balerina dan balerino yang seperti bercinta dengan gerakan saling bersandar atau berpelukan. Kadang gerakan begitu energetik. Tapi kadang gerakan para penari pelan dan anggun, merefleksikan gerak hidup yang kadang melamban. Puncaknya, balerino utama, Siko Setyanto, menjemput kematian dengan kayang sambil kain merah membalut perut.
Komposisi musik putra Farida, Aksan Sjuman, mampu menyatu dengan tarian. Denting piano Mery Kasiman, petikan bas Indra Lie Perkasa, gesekan cello Rahman Noor, serta alunan woodwind Juhad A. (oboe), Henry (basson), dan Eugene Bounty (klarinet), kadang sangat kuat, tapi tak berlebihan. Kadang pula hanya memberikan nada sederhana, atau diam sesaat dan memainkan staccato. Begitu hidup dan memberikan warna pada tarian. Serdtse menjadi pembuktian Farida bahwa dirinya masih tetap energetik dalam meramu balet kontemporer.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo