Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ARENA itu sunyi. Kelasworo, komandan prajurit wanita, jongkok
terharu. Di hadapannya si orang tampan Wong Agung Jayengrana
memangku Adaninggar (putri dari daratan Cina) yang luka -- kalah
perang melawan Kelasworo. Akhirnya Putri Cina itu pun mati --
dengan tenang, karena berhasil bertemu dengan pria idamannya,
meski hanya pada saat-saat terakhirnya.
Pilihan Pamulangan Beksa Ngayugyakarta (PBN) mementaskan lakon
Kelasworo-Adaninar, 18 dan 19 Februari di Teater Arena Taman
Ismail Marzuki menarik. Tragedi cinta segi tiga yang dipetik
dari Seat Menak (pertama kali digubah dari cerita Persia oleh
Ki Carik Narawita pada zaman Paku Buwono I kemudian pujangga
Yasadipuro I & II juga menggubahnya) oleh PBN ditampilkan dalam
tiga bentuk garapan tari: tari bedaya, tari srimpi dan tari
golek menak.
Yang paling mengesankan adalah penampilan dalam bentuk bedaya.
Agaknya, bentuk ini sangat dikuasai R.L. Sasminta Mardawa,
pimpinan sekaligus penata tari rombongan ini. Jumlah penari yang
9 dalam bedaya lebih memberikan kemungkinan berkembang.
Komposisi ruang misalnya, bisa lebih kaya dan nampak pas dengan
arena 9 x 13 meter itu. Bandingkan misalnya dengan bentuk
srimpinya, yang ditarikan oleh hanya 4 penari: komposisi terasa
diciptakan dengan susah. Ruang terasa kosong, para penari terasa
kecil dan jauh.
Toh, tampilnya PBN pertama kali di TIM ini, dibanding dengan
grup-grup tari klasik dari Yogyakarta yang lain yang pernah
tampi pula di TIM, punya segi yang menonjol. Para penari muda
usia asuhan PBN ternyata sangat menguasai teknik: terasa mantap
dan akrab. Apalagi karena mereka berasal dari satu aliran, gerak
mereka nampak utuh dan serasi.
Air Mengalir
Pembagian adegan berpegang pada pola asli bedaya: maju -- bawa
sekar -- beksan -- mundur (maju -- vokal narasi -- menari --
mundur), walau membutuhkan waktu sekitar 3/4 jam, tidak terasa
menjemukan. Ini, saya rasa, karena ditopang penampilan penari
yang benar-benar sumeleh dan mbanyu mili geraknya (kira-kira
artinya: santai dan akrab dengan ruang dan gerak terus
bersambung bagaikan air mengalir, red). Juga pengembangan ragam
gerak serta komposisi ruang yang digarap oleh R.L. Sasminta
Mardawa meski tetap dalam bingkai tradisi, berhasil menampilkan
variasivariasi segar -- tanpa kehilangan napas dan ciri khas
bedaya.
Adapun penampilan lakon Kelasworo-Adaninggar dalam bentuk tari
golek menak juga nampak segar. Hanya terasa bahwa yang
disuguhkan oleh PBN ini belum tuntas benar -- artinya, masih
bisa dikembangkan. Jumlah penari yang begitu banyak -- yang
sering sekaligus tampil di arena -- membuat arena terasa penuh
berdesak-desak. Apalagi ditambah dengan kostum yang
berwarna-warni, lebih memberi kesan kurang bersih. Misalnya
saja, warna kostum Wong Agung Jayengrana yang merah-merah itu,
kemudian Kelasworo yang biru-laut dan Raja Kelan yang
hitam-hitam, apabila mereka tampil bersama para punggawa
memberikan kesan ramai, menutup komposisi yang sudah diatur
bagus. Padahal, kostum tari klasik konon dipilih seperlunya
saja. Ini termasuk perkembangan yang tak menguntunglan (tapi
mungkin di tempat yang lebih luas bisa saja terasa enak).
Hal yang masih bisa digarap dari tari golek menak
Kelasworo-Adaninggar ini ialab penutupnya. Dalam pola tradisi,
biasanya pertunjukan memang ditutup dengan happy-ending. Pada
lakon ini ialah pada adegan pertemuan kembali Wong Agung dengan
Kelasworo. Tapi dengan demikian yang tersuguhkan adalah satu
cerita yang terasa seperti tanpa fokus. Akan jauh lebih
mengesankan apabila lakon ini ditutup dengan adegan matinya
Adaninggar di pangkuan Wong Agung yang ditunggui Kelasworo.
Memang, yang terakhir itu bisa dipandang sebagai selera yang
datang dari teater modern.
Dengan perubahan atau tidak, tari golek menak agaknya akan tetap
memikat, terutama adalah gerak penarinya yang diilhami oleh
gerak wayang golek kayu. Terasa santai dan lucu, justru dalam
adegan perang. Toh, tak menjadi murah, karena paugeran (aturan)
tari klasik Yogyakarta tetap tak ditinggalkan. Itu yang tak
dipegang pada pertunjukan tari golek-kayu di teve beberapa waktu
lalu, yang terasa murah, yang oleh para tetua PBN disebut
"perkembangan yang memprihatinkan."
Bagi tokoh tari Yogya, beksan golek menak memang bukan barang
sembarangan. Tari itu lahir berkat gagasan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX sendiri. Di waktu Republik Indonesia sudah agak
tenang, Perang Kemerdekaan telah lewat, 1951 Keraton Yogyakarta
mulai menggiatkan lagi tari-menari. Setahun kemudian muncullah
gagasan Sri Sultan untuk menciptakan tari yang merupakan
perpaduan antara tari klasik Yogya dengan gerak golek-kayu.
Tak kurang 10 guru tari dikumpulkan, antara lain K.R.T.
Wiradipradja, anggota PBN sekarang. Mereka diminta mengamati dan
menghayati dengan cermat pertunjukan wayang golek-kayu. Setelah
itu dibentuk tim-tim, yang bertugas menciptakan gerak tari
dimaksud.
Konon, hasil pertama antara lain berupa tari golek putri yang
ditarikan Sasminta Mardawa -- kini pimpinan PBN -- berkenan di
hati Sri Sultan, terutama gerak tari untuk adegan perangnya.
Tentu saja, dari tahun 50-an itu sampai sekarang tari golek
menak mengalami perubahan-perubahan. Di tangan yang ahli,
perubahan memang cenderung berarti penyempurnaan. Contohnya,
pementasan PBN dua malam ini. Tetap terasa berpegang teguh pada
aturan tari klasik Yogya, tapi luwes menyusun adegan juga
komposisi.
Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo