Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

"puteri cina dari yogya"

Pementasan tari golek menak di tim. r.l. sasminta mardawa, pimpinan sekaligus penata tari rombongan ini.

1 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARENA itu sunyi. Kelasworo, komandan prajurit wanita, jongkok terharu. Di hadapannya si orang tampan Wong Agung Jayengrana memangku Adaninggar (putri dari daratan Cina) yang luka -- kalah perang melawan Kelasworo. Akhirnya Putri Cina itu pun mati -- dengan tenang, karena berhasil bertemu dengan pria idamannya, meski hanya pada saat-saat terakhirnya. Pilihan Pamulangan Beksa Ngayugyakarta (PBN) mementaskan lakon Kelasworo-Adaninar, 18 dan 19 Februari di Teater Arena Taman Ismail Marzuki menarik. Tragedi cinta segi tiga yang dipetik dari Seat Menak (pertama kali digubah dari cerita Persia oleh Ki Carik Narawita pada zaman Paku Buwono I kemudian pujangga Yasadipuro I & II juga menggubahnya) oleh PBN ditampilkan dalam tiga bentuk garapan tari: tari bedaya, tari srimpi dan tari golek menak. Yang paling mengesankan adalah penampilan dalam bentuk bedaya. Agaknya, bentuk ini sangat dikuasai R.L. Sasminta Mardawa, pimpinan sekaligus penata tari rombongan ini. Jumlah penari yang 9 dalam bedaya lebih memberikan kemungkinan berkembang. Komposisi ruang misalnya, bisa lebih kaya dan nampak pas dengan arena 9 x 13 meter itu. Bandingkan misalnya dengan bentuk srimpinya, yang ditarikan oleh hanya 4 penari: komposisi terasa diciptakan dengan susah. Ruang terasa kosong, para penari terasa kecil dan jauh. Toh, tampilnya PBN pertama kali di TIM ini, dibanding dengan grup-grup tari klasik dari Yogyakarta yang lain yang pernah tampi pula di TIM, punya segi yang menonjol. Para penari muda usia asuhan PBN ternyata sangat menguasai teknik: terasa mantap dan akrab. Apalagi karena mereka berasal dari satu aliran, gerak mereka nampak utuh dan serasi. Air Mengalir Pembagian adegan berpegang pada pola asli bedaya: maju -- bawa sekar -- beksan -- mundur (maju -- vokal narasi -- menari -- mundur), walau membutuhkan waktu sekitar 3/4 jam, tidak terasa menjemukan. Ini, saya rasa, karena ditopang penampilan penari yang benar-benar sumeleh dan mbanyu mili geraknya (kira-kira artinya: santai dan akrab dengan ruang dan gerak terus bersambung bagaikan air mengalir, red). Juga pengembangan ragam gerak serta komposisi ruang yang digarap oleh R.L. Sasminta Mardawa meski tetap dalam bingkai tradisi, berhasil menampilkan variasivariasi segar -- tanpa kehilangan napas dan ciri khas bedaya. Adapun penampilan lakon Kelasworo-Adaninggar dalam bentuk tari golek menak juga nampak segar. Hanya terasa bahwa yang disuguhkan oleh PBN ini belum tuntas benar -- artinya, masih bisa dikembangkan. Jumlah penari yang begitu banyak -- yang sering sekaligus tampil di arena -- membuat arena terasa penuh berdesak-desak. Apalagi ditambah dengan kostum yang berwarna-warni, lebih memberi kesan kurang bersih. Misalnya saja, warna kostum Wong Agung Jayengrana yang merah-merah itu, kemudian Kelasworo yang biru-laut dan Raja Kelan yang hitam-hitam, apabila mereka tampil bersama para punggawa memberikan kesan ramai, menutup komposisi yang sudah diatur bagus. Padahal, kostum tari klasik konon dipilih seperlunya saja. Ini termasuk perkembangan yang tak menguntunglan (tapi mungkin di tempat yang lebih luas bisa saja terasa enak). Hal yang masih bisa digarap dari tari golek menak Kelasworo-Adaninggar ini ialab penutupnya. Dalam pola tradisi, biasanya pertunjukan memang ditutup dengan happy-ending. Pada lakon ini ialah pada adegan pertemuan kembali Wong Agung dengan Kelasworo. Tapi dengan demikian yang tersuguhkan adalah satu cerita yang terasa seperti tanpa fokus. Akan jauh lebih mengesankan apabila lakon ini ditutup dengan adegan matinya Adaninggar di pangkuan Wong Agung yang ditunggui Kelasworo. Memang, yang terakhir itu bisa dipandang sebagai selera yang datang dari teater modern. Dengan perubahan atau tidak, tari golek menak agaknya akan tetap memikat, terutama adalah gerak penarinya yang diilhami oleh gerak wayang golek kayu. Terasa santai dan lucu, justru dalam adegan perang. Toh, tak menjadi murah, karena paugeran (aturan) tari klasik Yogyakarta tetap tak ditinggalkan. Itu yang tak dipegang pada pertunjukan tari golek-kayu di teve beberapa waktu lalu, yang terasa murah, yang oleh para tetua PBN disebut "perkembangan yang memprihatinkan." Bagi tokoh tari Yogya, beksan golek menak memang bukan barang sembarangan. Tari itu lahir berkat gagasan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri. Di waktu Republik Indonesia sudah agak tenang, Perang Kemerdekaan telah lewat, 1951 Keraton Yogyakarta mulai menggiatkan lagi tari-menari. Setahun kemudian muncullah gagasan Sri Sultan untuk menciptakan tari yang merupakan perpaduan antara tari klasik Yogya dengan gerak golek-kayu. Tak kurang 10 guru tari dikumpulkan, antara lain K.R.T. Wiradipradja, anggota PBN sekarang. Mereka diminta mengamati dan menghayati dengan cermat pertunjukan wayang golek-kayu. Setelah itu dibentuk tim-tim, yang bertugas menciptakan gerak tari dimaksud. Konon, hasil pertama antara lain berupa tari golek putri yang ditarikan Sasminta Mardawa -- kini pimpinan PBN -- berkenan di hati Sri Sultan, terutama gerak tari untuk adegan perangnya. Tentu saja, dari tahun 50-an itu sampai sekarang tari golek menak mengalami perubahan-perubahan. Di tangan yang ahli, perubahan memang cenderung berarti penyempurnaan. Contohnya, pementasan PBN dua malam ini. Tetap terasa berpegang teguh pada aturan tari klasik Yogya, tapi luwes menyusun adegan juga komposisi. Sal Murgiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus