Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tubuhnya membungkuk, lalu kedua tangannya meraup ke tumpukan garam yang terendam air semata kaki. Dengan takzim, air dan garam itu didekatkan ke wajah sebelum ditumpahkan lagi. Badan lelaki yang hanya bercelana pendek itu kemudian turun lebih rendah lagi. Sambil berjongkok, ia berjalan pelan meraba permukaan air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pantulan cahaya air di tembok ikut bergerak cepat seirama tangannya yang menepuk hingga mencipratkan air ke wajahnya berulang-ulang sampai kelelahan. Tubuhnya lalu berbaring, berguling, sampai kemudian terbujur tenang di tepian kolam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangkaian gerakan Mohammad Wail Irsyad itu mengantarkan penonton ke karya terbarunya. Berjudul Biografi Garam: Paradoks Alam dan Tubuh Manusia Madura, Wail menggarapnya dengan teater tubuh yang mengalirkan cerita tanpa teks verbal. Tubuh yang sebelumnya dibahas sebagai unsur utama dalam teater diwujudkan ke atas panggung tanpa kata-kata.
Teks tubuh yang diusung seniman kelahiran 1986 itu menarasikan sifat serta sikap secara fisik dan psikis. Tubuhnya juga membuat hubungan dengan benda-benda yang menyimpan ingatan budaya masyarakat garam Madura. Salah satunya yang terkenal adalah clurit.
Wail tampil tunggal dengan dukungan tim kerjanya selama sekitar 40 menit, Rabu malam lalu. Pertunjukan itu merupakan bagian dari ujian akhir pascasarjana (S2) di Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Karya itu kemudian dipublikasikan di media sosial, selain disiarkan langsung. Koreografer Eko Supriyanto ikut menjadi penguji ahli yang menonton lewat online, selain Arthur S. Nalan, dan Rektor ISBI Bandung Een Herdiani.
Wail menggelar pertunjukan itu di rumah dosen pembimbingnya, Rachman Sabur. Dia menyulap pelataran kediaman Babeh sapaan kepada sutradara dan pendiri kelompok Teater Payung Hitam di Bandung itu sebagai miniatur tambak garam.
Semula Wail ingin menghelat pertunjukannya di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Rencana itu buyar setelah pandemi Covid-19 merebak hingga kampus ISBI Bandung pun ditutup untuk pertunjukan dan belajar-mengajar secara langsung. “Akhirnya memilih di rumah saja dan Babeh sebagai pembimbing bersedia rumahnya kami eksplorasi,” kata Wail, yang juga aktor di kelompok Teater Payung Hitam, Ahad lalu.
Dari tambak garam, babak selanjutnya berpindah ke dalam ruangan. Tubuhnya berganti kostum dengan sarung dan kemeja putih lengan panjang tanpa dikancing serta berpeci hitam. Dia sempat makan nasi dengan taburan garam yang dicomot dari alas tikar di sisi kirinya. Di sekitar posisinya, garam menggunung di empat penjuru. Setelah makan, dia berdiri, kemudian diguyur butiran garam hingga tubuhnya merunduk tersungkur seperti tertekan.
Wail mengangkat tentang kehidupan antara hubungan garam dan petaninya serta paradoksnya. Di Indonesia, sentra garam antara lain tersebar di berbagai daerah, seperti di kawasan Pantai Utara Jawa Tengah, dari Brebes, Rembang, Demak, Batang, Jepara, Pati, hingga Cilacap di selatan. Namun secara khusus Wail mengangkat kehidupan petani garam di tanah kelahirannya, Madura.
Gagasan karyanya semacam perjalanan kembali untuk mencari jati diri terkait dengan budaya, filosofi, dan akar sosial kaum perantau. Ada yang merasa terasing dan diasingkan karena mencari nafkah ke kota. Pertunjukan juga menggunakan cara pandang estetika paradoks, yang dikemukakan Jakob Sumardjo dalam bukunya, Estetika Paradoks.
Jakob Sumardjo membentuk pola hubungan yang terkait dengan mitologi dalam kesenian di Indonesia. Ia menjelaskan pola dua hal yang bertentangan, seperti siang-malam serta lelaki-perempuan, perlu dipahami perbedaannya agar tidak menimbulkan konflik, dan idealnya menjadi saling melengkapi. Dalam pertunjukan Biografi Garam, menurut Wail, “Ruang kami konsep menjadi luar dan dalam.”
Seorang penonton, F.X. Widaryanto, mencatat Wail tidak menganggap bumbu pelengkap rasa makanan itu sebagai unsur kimia saja, tapi juga sebagai makhluk organik. Garam menjadi bagian hidup yang menyatu dengan kehidupan orang Madura. Eksplorasi garam, menurut dia, memiliki hubungan intim dengan tubuh bumi tanpa harus berjarak dan melukainya. “Beda dengan eksplorasi tambang batuan apa pun yang mesti melukai bumi.” *
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo