Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah sebelas tahun berkiprah, orkestra Neo Capella Amadeus mencetuskan satu lagi inovasi, yakni Amadeus Virtuosi, dan menampilkannya di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Kamis malam pekan lalu. Ansambel ini terdiri atas musikus-musikus virtuoso alias yang top dari yang top, berjumlah 12 seniman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Neo Capella Amadeus adalah orkestra kaum muda, dengan kisaran usia musikus 11 sampai 30-an tahun. Induk Neo Capella Amadeus, Yayasan Musik Amadeus, bukanlah lembaga yang ingin tidur di atas capaian sebelumnya. Setelah dalam 25 tahun berhasil membentuk 12 ansambel-satu di antaranya Amadeus Symphony Orchestra-malam itu mereka mengumumkan kelahiran ansambel para virtuoso tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Virtuoso, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah orang yang memiliki kemahiran luar biasa dalam menguasai teknik memainkan alat musik (piano dan sebagainya), membawakan suara (nyanyian) dan sebagainya, seperti Paganini dan Caruso." Tampaknya KBBI mengharapkan kita sendiri yang menyertakan alat musik violin, viola, violin cello, dan kontrabas dalam deretan "dan sebagainya".
Tidak banyak orkestra yang mampu memainkan karya-karya klasik yang menantang secara teknik dan interpretasi, apalagi orkestra anak muda. Neo Capella Amadeus merupakan orkestra anak muda yang dengan konsisten menampilkan karya-karya klasik tiap tahun dengan repertoar yang kian kompleks. Selain menampilkan karya-karya Vivaldi, Warlock, dan Mozart, malam itu Neo Capella Amadeus mengundang solis Nino Ario Wijaya, salah satu pemain klarinet yang paling serius menekuni alat itu di Indonesia saat ini.
Amadeus Virtuosi menyajikan karya Gioachino Rossini berjudul Sonata for Strings no. 1 in G major for two violins, cello and double bass. "Karya ini sulit dimainkan karena temponya yang begitu cepat," tutur Karina Soerjodibroto, pemain viola dalam Amadeus Virtuosi.
Ia menjelaskan dengan rinci apa yang dimaksud dengan "cepat": alat metronom disetel pada kecepatan 110-120 dan para pemain harus memainkan musik dengan 1 detak bermakna 6/8 yang isinya tiga ketukan. Itu berarti mereka harus memainkan 330-360 detak dalam satu entakan metronom-atau semacam itu. Sebab, boleh jadi, cuma musikus virtuoso yang akan begitu antusias menjelaskan kegilaan tempo dengan semangat gempita.
Adalah Grace Sudargo, sang pendiri Yayasan Musik Amadeus dan Sekolah Musik Amadeus, yang memutuskan saatnya lembaga itu memiliki ansambel para pemain yang sudah pada tahap sangat piawai. "Mereka memang sudah lama piawai," katanya, "dan mereka membutuhkan ruang tersendiri untuk memainkan karya-karya yang penuh tantangan."
Dalam jajaran Amadeus, Grace memang sangat mafhum akan kemampuan setiap anak buah. Sebab, sebagian besar dari mereka (jika tidak semuanya) sudah berada di dalam pembinaannya sejak para musikus itu berusia belia. Misalnya saja Anna Sennelius, yang mulai menekuni pendidikan di Sekolah Musik Amadeus pada usia 3 tahun.
Ciri khas Capella Amadeus-ansambel alat musik gesek yang berkembang menjadi salah satu yang terbaik di Indonesia-memang bermain tanpa konduktor. Jika kita terlambat satu bar, pemain lain harus cepat-cepat menutupinya. "Jika tidak, seluruh permainan akan berantakan," kata Clara Soedargo Schreiber, concert master yang mengaku lumayan nervous dan stres pada malam itu.
Clara, yang masih belia, merupakan musikus Indonesia pertama yang merupakan lulusan Hochschule for Musik und Theater Leipzig, Jerman, untuk bidang studi violin performance.
Nathalia Peggy Seputra pada violin 2 mengatakan, bermain dalam orkestra, apalagi dalam sebuah ansambel yang disemat dengan nama Virtuosi, membuat kita transparan, tidak bisa ngumpet. Mereka mulai mempersiapkan konser tersebut sejak Januari lalu. "Malam konser bak malam kita melahirkan. Jika bayinya tidak sempurna, ya sudah, tidak ada lagi yang bisa dikerjakan, karena kita sudah melakukan yang terbaik."
Rangkaian acara, yang juga menyajikan karya Warlock, Vivaldi, dan Mozart, ditutup dengan permainan perdana Clarinet Quintetto Op. 34 karya Carl Maria von Weber, yang sebelumnya tidak pernah diperdengarkan di Indonesia, dengan menampilkan solis Nino Aria Wijaya. "Ayah saya, Suryanto Wijaya (dari ISI Yogyakarta), mengatakan belum pernah karya itu dimainkan di Indonesia karena tingkat kesulitannya yang begitu tinggi," kata Nino.
Nino, salah satu klarinetis terbaik di Indonesia dan saat ini juga klarinetis satu-satunya di Indonesia yang menggunakan klarinet Divine dari Buffet Crampon. Bunyi yang dihadirkannya dengan alat tersebut begitu variatif dan ekspresif, dari fortissimo sampai pianissimo, mampu menerbitkan air mata pada sebagian penonton.
Sayang, keseriusan persiapan Neo Capella Amadeus dan Amadeus Virtuosi maupun Nino tidak ditimpali semestinya oleh gedung konser. Akustiknya "kering" dan tata sinar yang tidak standar sempat membuat seorang tamu terjatuh karena tidak melihat tangga. Dan petugas gedung tidak merasa penting untuk menutup pintu belakang panggung, demi menjaga keutuhan nada orkestra.
DEBRA H. YATIM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo