Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teguh Afandi
Pegiat Klub Baca
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih buruk, jauh lebih buruk, daripada yang Anda pikirkan!" Begitulah peringatan awal David Wallace-Wells dalam buku ini. Pemanasan global sudah jauh lebih buruk dari apa yang diperkirakan. Seberapa buruk prediksi Wallace-Wells tergambar jelas dalam narasi-narasi mengerikan dalam buku Bumi yang Tidak Dapat Dihuni edisi bahasa Indonesia dari Uninhabitable Earth. Buku yang berangkat dari esai Wallace-Wells berjudul sama di majalah New York, 9 Juli 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam esai tersebut, Wallace-Wells membuka dengan kalimat, "Bila kekhawatiran akan dampak pemanasan global sekadar kenaikan permukaan air laut, sejatinya kita telah memperluas dampak mengerikan dari teror ini." Dalam buku ini, Wallace-Wells dengan berapi-api menjabarkan dampak-dampak mengerikan dari pemanasan global.
Semua sadar bahwa pemanasan global dan perubahan iklim benar adanya. Namun tidak ada yang sadar betul bahwa perubahannya sudah sedemikian cepat. Kecepatan yang mengerikan ini jelas akibat ulah tangan manusia, revolusi industri, dan pembakaran bahan bakar fosil yang terus-terusan. Wallace-Wells memberi analogi bahwa "Kita sekarang menambah karbon ke atmosfer dengan laju lebih tinggi; sebagian besar perkiraan menyebutnya minimal sepuluh kali lebih cepat." (hal.4) Akibatnya, sudah ada sepertiga lebih banyak karbon di atmosfer dibanding kapan pun dalam kurun waktu 800 ribu hingga 15 juta tahun terakhir, ketika saat itu belum ada manusia, dan permukaan laut lebih tinggi 30 meter.
Wallace-Wells menulis buku ini dengan gaya sinis. Misalnya, bagaimana dia mengkritik Al Gore, salah seorang aktivis lingkungan, dengan guyonan, "Al Gore membicarakan kerusakan alam dengan masih naik mobil ke kantor, makan daging sapi, dan duduk di ruangan ber-AC." Hal-hal sepele seperti ini yang Wallace-Wells kemukakan sebagai abai kecil yang terakumulasi menjadi rancangan bencana raksasa. Seolah-olah pembicaraan pemanasan global hanya ada di teks dan seminar, sementara aktivitas keseharian kita terus saja meninggalkan jejak karbon yang diam-diam mengancam bumi.
Sayang, alam tidak memiliki sakelar on-off seperti mesin penanak nasi, yang bisa dimatikan ketika terlampau panas. Pemanasan global adalah sesuatu yang makin lama makin buruk selama kita terus memproduksi gas rumah kaca. Pemanasan global akan terus terjadi, sampai limit paling mengerikan, yaitu kehancuran bumi kita.
Narasi-narasi kebencanaan dalam buku ini jauh lebih menyeramkan dari film bertemakan bencana mana pun. Umum mengerti bahwa pemanasan global berakibat naiknya permukaan air laut, hilangnya garis pantai, dan beberapa kawasan akan tenggelam hingga hilang.
Pada 2100, jika kita tak menghentikan emisi gas rumah kaca, sampai 5 persen penduduk dunia akan kebanjiran setiap tahun. Jakarta akan tenggelam total pada 2050. Ratusan ribu orang Cina harus mengungsi setiap musim panas agar terhindar dari banjir Delta Sungai Mutiara. Ilmuwan epidemiologi meneliti banyak sisa virus flu pada Perang Dunia I, yang terjebak di lapisan es Artik. Dan, bila es itu meleleh, bersiaplah dunia ini diserang wabah mengerikan pada zaman silam. Suhu bumi meningkat, tenggelam oleh bah air laut, kelaparan, wabah mengerikan, kebakaran, dan tentu rusaknya sistem ekonomi yang sudah mulai tampak gejalanya.
Membaca sebab-akibat dari narasi-narasi mengerikan Wallace-Wells, kita akan tersadar bahwa urut-urutannya ibarat sebuah lingkaran setan yang susah diputus. Ketika panas dan gerah karena pemanasan global, maka kita nyalakan AC. AC mengkonsumsi 10 persen listrik hasil pembakaran fosil. Tentu menyumbang tambahan karbon di atmosfer, dan bumi menjadi semakin panas.
Akibat pemanasan global dan cuaca ekstrem, kebakaran hutan meluas dan susah dikendalikan. Di California, sepanjang Kebakaran Thomas pada musim gugur 2017, kebakaran meluas 20 ribu hektare setiap hari. Sayangnya, kebakaran hutan menyumbang emisi karbon. Dalam kenaikan suhu tetap dijaga konstan di angka seperti sekarang saja, kebakaran hutan akibat peraturan pembukaan hutan Amazon oleh Presiden Brasil Jair Bolsonaro menyumbang 13,2 gigaton karbon ke langit atmosfer.
Yang disorot dan dimintai pertanggungjawaban adalah pemegang kekuasaan dan pengembang teknologi. Meski menumpu harapan kepada keduanya adalah sebuah ironi tersendiri. Wallace-Wells memberikan opini sinis kepada pebisnis teknologi. Mereka semata memacu perubahan pada teknologi supercepat. Sedikit yang serius pada investasi energi hijau, tak banyak yang aktif berderma. Bahkan Eric Schmidt pernah berpandangan bahwa pemanasan global sudah selesai oleh kecepatan teknologi dan kecanggihan AI (artificial intelligence). "Banyak sekali orang di Silicon Valley lebih mengkhawatirkan kecerdasan buatan kebablasan daripada pemanasan global kebablasan: satu-satunya kekuatan menakutkan yang mereka bisa anggap serius adalah yang mereka lepaskan sendiri." (hal.178)
Wallace-Wells memang tidak memberi tahapan solusi untuk pencegahan pemanasan global. Namun narasi-narasinya adalah alarm paling nyaring bagi semua manusia bumi. Bumi boleh diibaratkan bisul yang tengah menyimpan timbunan prahara akibat pemanasan global. Bila sudah saatnya, bisul itu pecah dan terbuktilah skenario-skenario mengerikan dalam buku ini. Kita tidak bisa mengerem seketika, tapi kita bisa memperlambat agar semakin banyak generasi dapat hidup nyaman di bumi yang baik-baik saja.
Bumi Yang Tak Dapat Dihuni
Penulis : David Wallace-Wells
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Edisi : Pertama, September 2019
Tebal : 342 halaman
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo