Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMHA Ainun Nadjib membacakan sajaknya yang pertama,
Jakarta. Dan ia memekik "Kotaku meraung!" Lalu serempak gamelan
dipalu. Sangat keras dan menggulung ruangan Teater Arena TIM, 8
Desember, dengan cepat dan riuh. Hanya kadang-kadang saja
bunyi-bunyian itu menipis atau menjadi alun --mengikuti rasa
sajak yang dibacakan penyair Yogya berusia 27 tahun itu.
Penampilan Emha, secara keseluruhan, setidak-tidaknya
mencerminkan semangat tinggi untuk unjuk gigi. Dan itu
dibarengi--agaknya--dengan persiapan yang cukup rapi. Kecuali
setumpuk puisi, juga taktik mencari harmoni perpaduan bunyi.
Ditambah pula dengan upaya menciptakan kenikmatan pandangan
mata.
Sebuah panggung rendah bertutup kain hitam dibuat di arena.
Di sanalah gamelan Jawa lengkap dengan gong serta para
penabuhnya berada -- di bawah dua buah payung emas keratonan.
Agak ke depan, sang penyair duduk bersila di belakang meja kecil
bertaplak putih. la sendiri berkaus hitam lengan panjang dengan
celana cokelar muda. Sementara itu kain-kain hitam yang lebar,
yang menjelang ujungnya diberi simpul, digantungkan di atas bagian
belakang. Dan dua alat pengeras suara dipasang di tengah
penonton di kiri dan kanan.
Tentu saja, di tengah suasana tenteram, di hadapan
kata-kata yang menerjang --marah dan muram --ditingkah suara
gamelan yang keras-nyaring, orang pun hanyut. Tak cuma itu.
Ainun pun mengucapkan ayat-ayat Quran -- bahkan mengakhiri
"puisi kampung"nya, Gudeg Yogya, dengan iqomat (ajakan
sembahyang) .
Suasana kemudian memang bergantiganti. Sekitar 15 sajak
dibacakan tanpa gamelan, sebagian besar bertema ketuhanan
Penyair ini memang bekas anak pesantren, dan "saya ingin membuka
pengajian", katanya. Rambutnya gondrong. Tubuhnya tipis, tinggi,
dan belakangan sakit-sakitan. Kumpulan puisinya yang dibacakan
itu diberi judul Tuhan. Aku berguru KepadaMu. Di dalamnya memang
ada empat buah sajak dengan judul itu--Yang dibacakan dengan
petikan gitar klasik, disambung gesekan biola dengan gaya
padang-pasiran lalu pembacaan Alif Lam Mim disusul trompet dan
gamelan. Suasana religius berhasil dimunculkan.
Yang paling menarik memang pembacaan dengan iringan gamelan
sendiri. Karena itu, meski cuma tujuh sajak yang dilringinya --
tapi panjang-panjang -unsur musiknya terasa lebih dominan.
Namun, yang khas di sana adalah suasana Jawa yang begitu
kuat diciptakan baik oleh bahasa "puisi-puisi kampung", maupun
oleh cara penyajian dan tabuhan gamelannya yang mengingatkan
pada wayang kulit atau uyon-uyon atau pangkur jenggleng yang
khas Yogya.
Karena itu, meskipun sajak-sajaknya berupa kritik sosial,
penyajiannya yang kalem dan nJawani membuatnya gandem di samping
marem, meminjam model bahasa sajak-sajaknya sendiri. Orang yang
tak mengenal kesenian serta bahasa Jawa tentu agak sulit
memasuki suasana ini Ngisep klembak menyan, menghirup teh kental
sambil berselonjor di kursi panjang.
Selingan dialog yang dilakukan antara dua orang nayaga --
seperti dalam pangkur Jenggleng --ternyata merupakan bagian yang
paling menarik dan sangat lucu, sehingga sajak Ngisep Klembak
Menyan itu jadi mencuat.
Biasa
Percakapan itu (antara ayah dananak), misalnya: 'Dadia
pangertenmu. Le. Sugih tanpa banda, nglurug tanpa bala
(Pahamilah, Nak. Kaya tanpa harta, menggempur tanpa tentara),
nasihat si ayah. "Inggih Rama, dados pangerten kula. Pangkat
tanpa tulada, mangan kentekan sega, (Ya, Bapak, saya pahami.
Pangkat tanpa teladan, makan kehabisan nasi)," sahut si anak.
Kata si anak lagi "Nunggu Ratu Adil malah ketemu bedil". Dan
seterusnya. Penonton menyambut semua itu dengan gerr dan
tepuk tangan.
Bentuk penyajian seperti itu bagi orang Jawa--dan yang
mengenal keseman Jawa--adalah biasa. Ainun sendiri mengatakan,
dalam acara tanyajawab sesudah pembacaan sajak, proses
pertemuannya dengan gamelan sederhana saja. Ia berkawan dengan
para anggota Teater Dinasti yang bisa memainkan gamelan, gitar,
biola dan alat lainnya. Dari pertemuan itu muncul gagasan untuk
membacakan sajak diiringi perangkat musik. Aransemen dibikin.
Mereka pun ngamen ke kampung-kampung. "Supaya orang-orang
kampung mengenal puisi," kata Ainun. "Gamelan itu cuma untuk
ngapusi (mengelabui) mereka saja," sambungnya.
Menurut pengakuannya, sambutan ternyata cukup baik.
Kampus-kampus pun mengundangnya. Dan di TIM, apa yang terjadi
secara bersahaja itu ternyata mendapat sambutan mewah
--tercermin pada komentar hadirin dalam tanyajawab tadi.
Kesederhanaan bisa mengejutkan, ternyata.
Yudhistira ANM Massardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo