Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Anak Panah Dewa

Cerpen Anak Panah Dewa karya S. Prasetyo Utomo

21 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anak Panah Dewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

S. Prasetyo Utomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

        PERASAAN Kodrat senantiasa terguncang bila berada di atas panggung. Dilihatnya Dewa begitu gagah. Sakti. Tak terkalahkan. Tampan. Seperti ada roh yang senantiasa menyusup ke dalam tubuh Dewa tiap kali dia naik panggung. Membawakan lakon mulia. Mengundang kekaguman orang.

          Rasa iri, bagi Kodrat, hampir tiap pementasan menyelinap dalam hatinya. Dia tak pernah menerima peran yang mulia. Kecuali peran-peran kecil yang belum tentu baik nasibnya di atas panggung.  Sering kali dia cuma muncul sesaat, berperang di panggung dan mesti kalah. Hampir tiap pementasan selalu berulang, dalam suatu perang tanding, dia mesti kalah. Tersingkir. Hanya muncul dalam sesaat.

          Gemuruh tepuk tangan dan kekaguman penonton diberikan kepada Dewa. Kodrat merasa kemunculannya di panggung untuk mendukung ketenaran Dewa.

          Di luar panggung rembulan tua dan angin menggigilkan. Kodrat menyendiri. Panggung sudah senyap, rumput tanah lapang berembun, dan anak-anak wayang tergeletak di barak-barak.

          Seorang diri berbaring di atas rerumputan, memandang rembulan tua dan merasakan gemetar udara berembun, Kodrat seperti menemukan dunia lain. Dunia yang tak pernah dijamahnya dengan kesadaran. Tersentuh dengan apakah alam lengang bercahaya?

          “Mengapa tergeletak di sini?” tanya Kanti. Tangannya lembut mengguncang-guncang dada Kodrat. Tatapannya dalam.

          Terdiam, Kodrat tak mengalihkan tatapannya dari cahaya bulan yang menaungi langit. Cahaya yang menebarkan kerahasiaan alam, Kodrat merasa seperti terisap pada suasana ini.

          “Kamu merasa masygul?” desak Kanti.

          “Mengapa begitu?” tanya Kodrat tergeragap. Dia tak menduga suasana hatinya tertangkap Kanti, anak wayang yang beranjak tua dan kehilangan pemujanya.

          “Bukankah penonton kita tak lagi semeriah dulu?”

          “Itu lumrah!”

          “Kamu kok jadi patah semangat seperti itu?”

          “Mau apa lagi? Toh bos kita selalu berpihak pada orang-orang tertentu. Dan dianggapnya mereka bisa menyedot penonton. Orang macam aku ini kan cuma untuk peran tambahan. Jadi raksasa atau prajurit, itu pun sudah lumayan. Mau memerankan tokoh yang lucu, aku tak bisa humor.”

          “Nah, itulah salahmu! Tak bisa menikmati peran yang diberikan,” balas Kanti, nada suaranya lembut. Tak menekan. Tapi pada matanya memancarkan kesepian yang menganga. “Aku pun kini tak lagi pegang peran sebagai putri keraton yang menjadi incaran para ksatria. Aku cuma pantas sebagai pengasuh seorang putri. Apa sudah begitu tuakah aku?”

          Tiap hari Kodrat bertemu dan menatap wajah Kanti. Tapi dia tak begitu mempedulikan keresahan yang tersembunyi di balik ketuaan wajah perempuan itu.

          “Apa kau juga bisa menerima peran yang diberikan?” tanya Kodrat, ingin memahami perasaan Kanti. “Nah, kau pun merasakan sendiri. Tubuhmu tak lagi menarik, kulitmu keriput. Dan, bos tak menyukaimu.”

          “Husss!” Kanti ingin marah. Tapi ditahannya. Cuma dadanya saja yang terasa sesak, menahan gumpalan kemasygulan. Kanti merasa telah tersisih bukan saja dari panggung, tapi juga dalam kehidupan kesehariannya, dia jauh dari pusat perhatian. Apa lagi yang bisa dilakukannya kini? Meninggalkan dunia panggung? Rasanya tak mungkin. Tiada celah kehidupan lain di luar panggung yang bisa disusupinya. Dia membiarkan diri dan memasrahkan segala kehidupannya pada panggung. Biarpun panggung itu bubar. Setidaknya masih ada teman yang bisa diikutinya.

          Rembulan tua sampai pada puncak malam. Tanah lapang yang mengendapkan embun dan kesunyian. Dari jauh tampak sebuah mobil berhenti. Lampunya dipadamkan. Dan, Tari, seorang bintang panggung, menyelinap diam-diam, berkain dan berkebaya, melintasi tanah lapang. Langkahnya terasa lambat, mendekat ke arah mobil yang berhenti di bawah kerindangan pohon.

          “O, jadi itulah yang dilakukan Tari?” bisik Kanti terheran-heran, dan tiada lepas tatapannya dari sosok Tari yang mendekat ke arah mobil. Lambat dan menggemaskan. Cahaya bulan memperelok rupa dan lekuk tubuhnya.

          “Apa kau belum ngerti kelakuan Tari?”

          “Yang kudengar cuma cerita-cerita Tari suka dibawa orang kaya,” balas Kanti menahan sesak dadanya. “Bagaimana tanggapan bos kita?”

          “Saya tak paham. Barangkali bos sengaja membiarkan Tari cari duit. Bukankah panggung selalu sepi?”

          “O, begitu. Aku pun mungkin seperti Tari kalau masih cantik, muda, dan memikat,” gumam Kanti sambil ngeloyor ke baraknya, merebahkan diri di antara perempuan-perempuan lain, anak-anak yang mendengkur kelelahan. Tak mudah bagi Kanti untuk memejamkan matanya. Belum pernah dia ingin marah seperti saat ini. Mengutuki diri sendiri.

          Di luar barak, Kodrat masih merebahkan diri menatapi rembulan tua. Mendengarkan suara mobil menjauh, membawa Tari menikmati kebahagiaannya. Kodrat masih memendam kenyerian hatinya. Tak mau kembali ke barak.

          Di dalam barak yang biasa digunakannya untuk tidur bersama Dewa, tergolek Woro, yang semakin terang-terangan, tak tahu malu, melampiaskan kangennya.

          Kodrat muak. Ada kesengajaan Woro untuk mendekat pada Dewa, lantaran di panggung berperan sebagai kesatria. Tampan. Tegap. Mengagumkan. Bukan seperti dirinya, yang cuma raksasa perannya. Terlalu banyak gerak, dan dalam sekejap mesti dikalahkan dengan kematian.

          Rasa muak pada Dewa dipendam di dasar hati Kodrat. Diam-diam ia mengagumi Dewa. Kekaguman inilah yang menekan kebenciannya. Dibiarkan dirinya kalah. Toh tiap hari dia menikmati kekalahannya. Tergolek di antara rerumputan basah berembun, Kodrat melihat cahaya meredup, bulan tergelincir, kian memucat dan remang-remang di antara awan-awan.

                                                                  ***

          BELUM lagi terpejam kelopak mata Kodrat, tatkala didengarnya suara langkah-langkah yang lembut menginjak rerumputan. Langkah itu terhenti di sisi tubuh Kodrat yang tergeletak. Harum tubuhnya. Kodrat enggan bangun. Terpejam kelopak matanya. Tercium kian pekat harum tubuh itu, mendekat. Lembut tangannya mengguncang dada Kodrat.

          Tatkala Kodrat membuka kelopak matanya, dia sudah menduga, Tari berjongkok di dekatnya. Tapi dia tak menyangka perempuan itu membisik, “Kenapa tidur di sini? Ayo, ke barakku.”

          “Biar saja di sini, Tari.”

          “Tubuhmu dingin seperti mayat.”

          “Apa?” Kodrat ingin mendengar bisikan Tari sekali lagi. Tak dipahami benar, mengapa dia suka mendengar bisikan itu. Barangkali dia cuma suka pada orang yang membisikkannya.

          “Ayo, bangun. Tidur di barakku.”

          Terhuyung-huyung, Kodrat mengikuti Tari. Cahaya rembulan sudah berupa bayangan samar yang mengabur. Bulan tua itu berupa lempengan kemerahan.

          Belum masuk barak, Kodrat menghentikan langkah di ambang pintu. Tergeletak mendengkur bos di situ. Kodrat tak punya keberanian untuk tidur di sisi bos.

          “Masuklah, Kodrat. Aku mau berkemas-kemas.”

          “Berkemas-kemas? Mau ke mana?” suara Kodrat parau, dan kaget. Rasa kantuknya lenyap seketika.

          “Sssttt, aku tak mungkin terus-menerus hidup begini,” bisik Tari. “Aku mau meninggalkan panggung ini untuk hidup lebih layak. Tinggal di rumah.”

          “Kamu mau meninggalkan kami?” suara Kodrat digetarkan ketakrelaan.

          “Aku sudah bosan berpindah-pindah terus dan tidur bergelimpangan di barak. Saya tak tahan.”

          “Panggung kita bakal ambruk, kalau kau pergi.”

          “Dengan aku pun di sini, panggung kita bakal ambruk pula.”

          Terpana di depan pintu barak, Kodrat memandangi Tari sibuk mengemasi barang-barang dan pakaiannya. Tari tampak begitu bersemangat. Tangannya yang biasa menari lembut gemulai, kini tampak cekatan.

          “Sudahlah. Jangan kaupikirkan,” suara Tari meredakan kemasygulan Kodrat. “Nanti, kalau sudah pagi, kauantar aku pindah, ya?”

          Belum lagi mengangguk, Kodrat terbungkam dan menatapi panggung yang kosong. Apa yang bakal terjadi bila panggung itu tanpa Tari? Saat itulah bos menggeliat. Terbangun. Terbelalak.

          “Apa yang kaulakukan, Tari?” tanya bos, terheran-heran.

          “Berkemas-kemas. Sekalian mohon pamit, aku mau menetap di sebuah rumah, dan tak lagi naik panggung!”

          “Edan! Ini benar-benar edan!” suara bos menggelegar. Kemarahannya meledak. Ngomel. Memaki-maki. Mengutuk. Berhamburan sumpah-serapah. Orang-orang berdatangan merubung di pintu barak. Terkesima. Terheran-heran. Mata mereka memancarkan rasa kehilangan.

          “Tega kau meninggalkan panggung ini?” tanya bos, menahan kemasygulan.

          “Barangkali malam nanti aku masih naik panggung. Ini yang terakhir kali,” balas Tari, sesabar mungkin. Dia menahan diri untuk tak hanyut dalam kesedihan orang-orang.

          “Kau bisa melakukannya, Tari?” bos masih terus menyerang Tari, dan mencoba menahannya. “Bukankah kau cuma dijadikan istri simpanan?”

          “Apa kalian pikir, di barak ini aku hidup lebih suci dari seorang istri simpanan?” kemarahan Tari meledak, tersinggung, dan ngomel. Orang-orang menyingkir. Meninggalkan barak. Tinggal Kodrat yang masih berdiri termangu: mendengarkan sumpah-serapah Tari, membongkar kekotoran bos dan semua anak wayang.

          Tatkala Tari terdiam, menahan cairan bening dari sudut matanya, fajar sudah membias dan rembulan cuma bayang-bayang.

                                                        ***

          DI panggung Kodrat melihat Tari begitu menarik. Orang-orang menonton dengan kagum di sekitar panggung. Tak ada kesempatan lain untuk nonton Tari. Tinggal sekali ini.

          Tenggelamlah orang-orang menikmati panggung pergelaran itu. Tersihir gerakan-gerakan gemulai Tari yang tak bakal dilihat lagi.

          Tari mempertontonkan permainannya yang paling puncak. Dia telah melenyapkan dirinya sendiri untuk memerankan seorang putri yang diperebutkan para kesatria. Tanah lapang itu dipadati penonton. Orang-orang tak mau kehilangan Tari, bintang yang lagi gemerlap.

          Di benak Kodrat, saat menari memerankan raksasa dan mesti berhadapan dengan Dewa, berseliweran peristiwa pagi tadi: mengantar Tari ke rumah baru yang ditempatinya. Mewah. Berperabot bagus. Ditunggui seorang pembantu perempuan setengah baya yang setia.

          Kodrat teringat lagi Kanti, yang malam ini tak naik panggung. Dia marah-marah. Uring-uringan. Ngomel. Mencaci-maki. Terlintas pula kemarahan bos saat Tari berpamitan.

          Dan yang paling menusuk perasaannya, saat terlintas, malam-malam berembun dingin, Woro menyelinap masuk barak untuk menemui Dewa. Begitu nekat. Kodrat merasa, Woro sengaja memukul perasaannya. Berkali-kali, setiap ada kesempatan, Kodrat senantiasa mendekati perempuan itu. Tapi Woro cuma menertawakannya.

          Geram sekali Kodrat saat berperang melawan Dewa di atas panggung. Dewa begitu sakti, tampan, dan tak terkalahkan. Mengapa mesti terulang seperti ini? Apa tak mungkin raksasa bisa mengalahkan kesatria? Gerakan-gerakan tari Kodrat meski terkendali menyerang dan menyudutkan Dewa.

          Berkali-kali Dewa terdesak. Dan Kodrat menghabisi ruang gerak Dewa di panggung. Apa salahnya orang-orang mengagumi raksasa? Kali ini Kodrat tak mau dilakonkan sebagai raksasa yang di panggung untuk mengangkat pamor pemeran kesatria. Dewa benar-benar tak berkutik. Terdiam. Mencabut anak panah dan memasangkannya pada busur.

          “Ayo, majulah! Sambut anak panah ini!” seru Dewa.

          “Kaupikir aku takut? Lepaskanlah! Kusambut dengan dada yang terbuka!”

          Meluncurlah anak panah. Kodrat berkelit dan menyambar anak panah itu. Dipatah-patahkannya. Diluncurkan lagi. Disambar. Dipatah-patahkannya lagi. Kodrat tak mau terkalahkan. Hingga kemudian anak panah terakhir direntang Dewa.

          “Terimalah ini, panah sakti! Kusembah telapak kakimu, kalau kau sanggup menghadapinya!” tantang Dewa.

          Saat itu Kodrat melihat rembulan tua separuh lingkaran menyembul dari kaki langit yang legam. Cahayanya membias lembut, mengisap kekuatan tubuhnya. Kodrat terkulai. Di matanya, anak panah itu memancarkan segumpal cahaya menyilaukan pada ujungnya. Direntang. Dilepaskan. Deras. Tak terelakkan, menghunjam di dada Kodrat. Lelaki itu rebah di panggung. Terdengar teriakkan nyeri. Kesakitan. Dan sorak penonton menggemuruh.

          Dewa membopong tubuh Kodrat yang mengucurkan darah dari dadanya. Di balik panggung mata Kodrat terkatup. Napas terputus. Semua anak wayang terpekik. Tari tersengal-sengal.

          Di sekitar panggung para penonton masih berdecak kagum. Tatapan mata mereka memancarkan rasa puas yang tiada pudar.

                                                              ***

 

Pandana Merdeka, Februari 2021


S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”. Semenjak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus