Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Kun Merentang Waktu

Pameran seni rupa Wayan Kun Adnyana, Wastu Waktu. Perihal waktu.

4 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI judulnya, “Wastu Waktu”, pameran yang diselenggarakan I Wayan Kun Adnyana di Agung Rai Museum of Art (ARMA), Ubud, Bali, 16 November-11 Desember 2022, ini sudah menandakan ciri utama kekhasannya: sarat pengetahuan dan pemikiran. “Wastu” memang bukanlah sembarang kata. Istilah ini berasal dari bahasa Jawa Kuno. Jadi, untuk memahaminya—kenyataan, perihal—kita harus mengangkat kamus bahasa Kawi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lalu apa arti “Wastu Waktu”? Perihal waktu. Singkatnya, Kun—panggilan I Wayan Kun Adnyana—ingin mengantar kita ke waktu lalu, ke masa lalunya, yaitu perkembangan karier kepelukisannya sejak kurang-lebih 20 tahun silam. Juga, yang lebih penting, ke “waktu sejarah” itu sendiri, yang dijadikan topik karyanya yang sebenarnya.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam khazanah seni rupa Bali, Kun memang kasus yang "spesifik". Kun adalah seorang seniman yang sungguh-sungguh intelektual. Bahkan intelektualitasnya tidak hanya mengantarnya ke gelar doktor, tapi juga posisi Rektor Institut Seni Indonesia (ISI). Jadi, berbeda dengan seniman segenerasinya, dia tak kurang menguasai keketatan abstraksi tinggi—kajiannya bersandar pada sosiologi seni Bourdieu—daripada keluwesan garis lukisannya.

Tidak mengherankan juga bila, sebagai rektor, dia aktif mengambil tindakan untuk mengeluarkan ISI dari jebakan “pariwisata budaya”. Bagi dia, seni harus didekatkan ke realitas sosial yang sebenarnya, yaitu membuat kita menyadari apa yang sedang terjadi, dalam hal ini menghadapi gebrakan globalisasi.

Landscape of Heroes, karya I Wayan Kun Adnyana di pameran bertajuk Wastu Waktu, di Agung Rai Museum of Art (ARMA), Ubud, Bali. ARMA

Melihat pengetahuan Kun, tidak mengherankan juga bila “penjalinan waktu dan ruang” menjadi tema makro yang membayangi topik lukisan-lukisannya, baik dalam pameran di ARMA Ubud ini maupun dalam berbagai pameran sebelumnya. Waktu yang dimaksud di sini bukanlah waktu deskriptif sebagai urutan linear peristiwa-peristiwa, melainkan unsur waktu sebagai kesadaran, yang diperlihatkan melalui sosok-sosok manusia kecil yang seolah-olah melayang dari momen dan ruang yang satu ke momen dan ruang yang lain.

Latar sosok-sosok manusia itu bermacam-macam, tapi selalu mengacu pada benda historis ikonik yang jelas. Namun yang sejatinya dibicarakan oleh Kun bukanlah urutan elemen-elemen sejarah obyektif, melainkan wacana perihal sejarah atau kesadaran sejarah. Ruang-ruang yang meluas tak terbatas menyatakan bangsa. Kapal besar, pinjaman visual dari relief Borobudur, menyatakan Nusantara sebagai ruang kontak di antara bangsa-bangsa, yaitu ruang dagang dan ruang perang.

Tokoh-tokoh pemburu, pinjaman visual dari relief Yeh Puluh, menyatakan bahwa yang tengah dibicarakan ialah kondisi rakyat Bali di masa lalu. Ya, situasi rakyat, karena sosok-sosok manusia yang tersebar dalam karya-karya itu selalu kecil, anonim, berjumlah besar. Dan mereka berlari, meloncat, menumpang binatang, berburu, dan lain-lain, dengan selalu berdampingan atau berhadapan dengan “suatu” benda atau situasi yang lebih besar, yang mereka terima atau menentang, seperti lazim dilakukan rakyat sepanjang sejarah. Kun memang sadar akan “ketakberdayaan” historis rakyat, yang senantiasa terlihat berupaya dan berjuang; tapi dia juga tahu bahwa itulah latar—dan syarat—untuk menghasilkan budaya Bali dan bangsa Indonesia.

Never Ending Battle, karya I Wayan Kun Adnyana di pameran bertajuk Wastu Waktu, di Agung Rai Museum of Art (ARMA), Ubud, Bali. ARMA

Jadi penggarapan tema waktu sosio-kultural oleh Kun ini tidak bersifat politik dalam pengertian sempit nan konkret, melainkan mendorong kita menyadari peran makro hal politik dalam sejarah dan kebudayaan. Menariknya, perspektif makro historis dan makro politik ini disampaikan kepada kita bukan melalui kata, melainkan lewat simbolisme komposisi-komposisi visual ala Kun. Sembari bermimpi melihat sosok-sosok manusia melayang di ruang waktu Bali dan Indonesia masa lalu melalui lukisan, kita belajar dan diajak berpikir tentang sejarah sebagai sejarah. Kita dibuat terlibat dan sekaligus berjarak.

Sikap intelektual ini menempatkan Kun pada posisi tersendiri dalam kancah seni rupa Bali. Kini sebagian besar pelukis Bali masih “sibuk” dengan pernyataan identitas, abstrak atau figuratif, tema-tema ke-Bali-an dan ke-Hindu-an tetap merajalela. Di luar itu, setelah Made Wianta tiada, berapa seniman yang betul-betul “mempertanyakan” kekinian secara orisinal? Bisa dihitung jumlahnya.

Maka figurasi konseptual I Wayan Kun Adnyana datang sebagai penyegar: elok dari segi kecanggihan visual figuratifnya serta memikat karena kedalaman pemikiran dan pertanyaan yang dimunculkannya. Kita menanti lanjutan eksplorasi sang Rektor.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Jean Couteau

Jean Couteau

Penulis budaya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus