Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Anton tetap di desa

Pemenang hadiah magsaysay 1983, berjasa dalam bidang kepemimpinan dalam masyarakat. sebagai ketua yayasan dian desa, berhasil membimbing masyarakat desa melestarikan sumber air. (tk)

3 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGITU memasuki ruang kerjanya, suatu pagi pekan lalu, Anton Sudjarwo tersenyum melihat dua karangan bunga kecil di atas mejanya yang berlapis kaca. Tidak jelas siapa pengirimnya. Mungkin orang luar atau kawan sekerjanya yang enggan menyebutkan identitas. Tetapi ia tahu, itulah pernyataan simpati dan ucapan selamat atas keberhasilannya meraih hadiah Magsaysay dari Pemerintah Filipina. Hadiah uang bernilai US$ 20.000 itu diberikan dalam suatu upacara di Manila, 31 Agustus. Anton sendiri sampai saat berangkat ke Manila hari Minggu lalu, masih tetap bertanya-tanya. "Saya tak tahu, apa alasan panitia di sana memberikan hadiah itu," katanya. Ia hanya membaca di koran-koran hadiah Magsaysay ini dikaitkan dengan Yayasan Dian Desa yang dipimpinnya, untuk bidang kepemimpinan dalam masyarakat. Ia dinilai berjasa menggerakkan penduduk pedesaan agar mampu berdiri sendiri dengan penerapan teknologi tepat guna. "Hadiah itu berarti beban," ujar lelaki 36 tahun ini. Ia sendiri merasa petualangannya dalam memecahkan pelbagai persoalan pedesaan bukanlah keberhasiannya secara pribadi. "Itu adalah hasil kerja bersama penduduk desa juga," kata laki-laki asal Pekalongan ini. Petualangan Anton di desa-desa bukanlah barang baru. Sejak kecil ia suka keluyuran, keluar masuk desa. Bersama beberapa temannya, kalau liburan sekolah tiba, anak tertua bekas pengusaha batik ini pergi ke lereng Bukit Pagilaran, selatan Pekalongan yang terkenal dengan perkebunan teh. Bahkan sampai ke Batur dan Dieng, berhari-hari. "Saya sendiri tidak tahu, kenapa dulu suka keluyuran ke desa-desa," kata Anton. Tamat dari SMA di Semarang, tahun 1964 ia menjadi mahasiswa di Fakultas Teknik Sipil UGM. Ketika pecah peristiwa G30S/PKI dan mahasiswa ramai-ramai turun ke jalan, Anton merasa sumpek di kota. Ia mengaku kurang tertarik pada aksi-aksi politik. Karena itu ia kembali keluyuran ke desa-desa, mengitari lereng Gunung Merapi. Di Desa Turgo, ia berhenti. "Saya terpaku melihat masyarakat yang miskin, pertanian yang kering karena daerahnya gersang," kenang Anton. Ia segera menyadari betapa susahnya penduduk memperoleh air minum. Tak lama setelah itu, tahun 1967, Anton kembali ke Desa Turgo. Bersama teman kuliahnya, Anton Lowa dan Didiek Pariyono, ia menyelusuri lereng Merapi mencari sumber air. Sebuah sumber air akhirnya mereka temukan juga, walau tidak begitu besar. Sekitar 4 km dari Desa Turgo. Anton dan kawan-kawan mulai mengumpulkan penduduk desa. Kesepakatan diambil, sumber air itu akan dimanfaatkan. Setelah mencari bantuan sana-sini akhirnya Departemen Kesehatan menyumbangkan pipa asbes. Kerja keras bersama rakyat desa selama tujuh bulan, akhirnya berhasil membawa air ke desa. Debitnya kecil, cuma dua liter per detik. Tapi cukuplah untuk kebutuhan 500 penduduk. "Biayanya tidak banyak, sekitar Rp 175.000 dan itu bantuan Asrama Realino tempat saya mondok," kata Anton. Bahan lain yang dipakai semuanya yang ada di desa, seperti bambu dan kayu. Itulah karya Anton pertama. Keberhasilan ini diulangi lagi di Desa Ngandong, masih di lereng Merapi. Proyeknya lebih besar. Pipa mendapat bantuan dari pemerintah. Biaya lain didapat dari sumbangan para dermawan. "Buruhnya adalah masyarakat desa, dibantu beberapa mahasiswa," katanya. Selanjutnya mereka menuju proyek yang lebih besar, di Desa Cangkringan, juga di lereng Merapi, perbatasan Jawa Tengah dan DI Yogyakarta Air yang akan dlmanfaatkan cukup besar, 60 liter per detik. Untuk mencapai desa harus dipasang pipa induk 12 inci sepanjang 4 km. Kemudian pipa distribusi yang lebih kecil sepanjang 16 km. Desa Cangkringan berpesta air, setelah proyek yang dikerjakan 20 bulan, 1972, ini selesai dikerjakan. Anton tak pernah ingat berapa biaya yang dihabiskan waktu itu, karena katanya, belum ada administrasi yang teratur. Proyek inilah yang kemudian mengantarkan Anton Sudjarwo meraih hadiah Kalpataru, hadiah tertinggi di Indonesia untuk program lingkungan hidup -- yang ia terima langsung dari Presiden Soeharto, 1980. Dari pengalamanan mengerjakan tiga proyek ini, Anton dan kawan-kawannya mulai menyadari, ternyata mereka banyak berurusan dengan masalah administrasi. "Kegiatan yang asal jalan itu makin lama perlu admimstrasi yang rapi. Kami juga perlu mesin ketik, perlu surat-surat, bahkan perlu stempel," kata Anton. "Kami sadar waktu itu, jika program pengabdian ini dilanjutkan perlu organisasi, tidak hanya asal kerja." Menjelang akhir 1974, Anton dan kawan-kawannya sepakat mendatangi notaris untuk membentuk sebuah badan usaha atau lembaga yang bisa menampung kegiatan itu. "Lha, di depan notaris, kami berempat bingung, mau membuat organisasi macam apa," tutur Anton. "Dari pembicaraan yang mendadak itu dan atas petunjuk notaris, disepakati sebuah yayasan. Entah siapa yang waktu itu memberi nama, Yayasan Dian Desa." Itulah proses kelahiran Yayasan Dian Desa yang modalnya hanya Rp 6.000. Semula kantornya menumpang di sebuah garasi mobil tempat Anton Sudjarwo kos, di bagian timur Kota Yogya. Organisasi mulai ditata, program mencari sumber air bersih diteruskan ke beberapa tempat, termasuk di kawasan Gunung Kidul. Karena sudah punya "stempel", berbagai lembaga, pemerintah maupun swasta dimintai bantuan dana, sekadar membiayai proyek bila bahannya tak bisa didapat di lokasi. Pengerjaannya tetap secara swadaya bersama masyarakat setempat. Setelah berusia delapan tahun, Yayasan Dian Desa kini bekerja sama dengan berbagai organisasi di luar negeri, seperti UNICEF, IDRC (International Development Research Centre) dan Novib, sebuah lembaga di Belanda. Kantornya sudah berupa bangunan berlantai dua di atas tanah 3,5 ha, terletak 7 km dari Yoyakarta menuju arah Kaliurang. Tidak memakai papan nama -- sehingga Menteri Emil Salim, konon, pernah bingung mencari kantor yayasan ini -- di kantor ini terdaftar sekitar 100 karyawan dan sebuah mesin komputer. Para karyawannya berstatus honorer. Di sini tidak ada istilah gaji -- yang ada uang saku. Mereka kebanyakan mahasiswa, beberapa orang di antaranya sedang menempuh Kuliah Kerja Nyata. Jangan heran, kalau beberapa tenaga inti itu keluar setelah berhasil memperoleh gelar kesarjanaannya. Dian Desa, kemudian, tak hanya mengurusi air minum. Ada seksi pertanian, teknologi bahan makanan, energi, industri kecil, urusan sosial, bengkel, dan publikasi. Setiap bulan, Anton harus menyediakan dana sekitar Rp 5 juta untuk kegiatan yayasannya itu, dan membeli alat tulis sampai membayar uang saku. "Cukup memusingkan," katanya. Dana itu terutama berasal dari beberapa penyumbang. Tak semua proyek Yayasan Dian Desa berhasil. Ini diakui Anton. Proyek pertanian di Wonosobo, membudidayakan tanaman apel dengan pupuk buatan, gagal total. "Pohonnya tumbuh normal, namun buahnya jarang sekali. Kepala saya sampai pusing mencari sebabnya, sampai sekarang belum ketemu," kata insinyur yang belum juga diwisuda ini. Proyek yang setengah gagal terdapat di Desa Cangkringan, Kabupaten Sleman, peternakan ayam. Sejumlah penduduk diberi kredit dan diajari beternak ayam secara praktis. "Produksi telurnya sukses, tapi harga telur turun, sehingga proyek saya nilai gagal," cerita pemakai kaca mata minus 2 itu. Banyak peternak menunggak kredit. "Rupanya saya perlu juga belajar menjadi penjual telur," gurau ayah seorang anak kelas 2 SD itu. Program yang menyangkut energi banyak yang sukses. Misalnya, pemanasan air dengan tenaga matahari yang sudah dipakai beberapa restoran di Yogya. Juga di bidang publikasi termasuk lancar dengan terbitnya Majalah Tarik, sejak tiga tahun lalu. Majalah 1« bulanan ini berisi pengetahuan praktis tentang teknologi tepat guna, kini beroplah 4 ribu eksemplar. Rumah Anton Sudjarwo berhadapan dengan kantor yayasan yang dipimpinnya. Tidak begitu mewah, rumah itu dihuni empat anjing ras, selain seorang istri dan anak lelakinya, Edo Djarwo, 7 tahun. Ruang tamu rumah itu penuh buku dan beberapa di antaranya tergeletak begitu saja di sebuah meja belajar. Anton yang suka rokok kretek ini ke kantor sering hanya memakai sandal jepit, walau harus menerima tamu seorang pejabat penting. Pengagum Mahatma Gandhi ini akhirnya punya kesimpulan. "Orang desa jangan terlalu dimanja dengan berbagai bantuan. Bantuan yang diberikan mestinya hanya untuk mendorong semangat mereka bekerja," katanya. Karena bantuan yang berlebihan selain akhirnya bisa merepotkan pemerintah sendiri, juga akan membuat warga desa hanya berleha-leha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus