Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Suara Asia Menyeruak di Art Basel Hong Kong

Perhelatan seni dunia yang bergengsi, Art Basel Hong Kong, kembali digelar. Ratusan galeri menawarkan ribuan karya senimannya.

21 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Suara Asia menyeruak di Art Basel Hong Kong, menjadi pergelaran pertama Art Basel yang memenuhi kalender musim semi tahunan.

  • Menampilkan karya ribuan seniman, termasuk karya-karya seniman Asia di kancah bursa seni dunia yang diperhitungkan.

  • Hadir pula karya para seniman Indonesia melalui dua galeri Indonesia yang ikut serta dan galeri mancanegara.

ART Basel Hong Kong menjadi pergelaran pertama Art Basel yang memenuhi kalender musim semi tahunan, tepatnya pada pekan terakhir Maret 2024. Edisi Hong Kong akan disusul edisi orisinal Basel, edisi teranyar Paris, dan ditutup oleh edisi Miami Beach. Menempati lantai 1 dan 3 Hong Kong Convention and Exhibition Centre, Wan Chai, Art Basel Hong Kong tahun ini memboyong koleksi 242 galeri dari seluruh dunia yang berpartisipasi di berbagai sektor—dikurasi sesuai dengan keunikan karakter Hong Kong. Tiga sektor utama tampil di Hong Kong dalam tajuk Encounters, Galleries, dan Discoveries.

Humor, sejarah, dan satire muncul mengganggu dan memainkan indra penonton di sektor khusus karya seni berskala besar, Encounters. Dikuratori oleh Alexie Glass-Kantor untuk ketujuh kali, 15 proyek komisi on-site memenuhi dua lantai art fair ini serta satu proyek off-site mengisi ruang lobi Pacific Place, pusat belanja di Central, Hong Kong. Dalam payung kuratorial “I am a part of all that I have met”, Glass-Kantor mempertemukan karya-karya yang personal dengan yang kritis serta yang menyentuh dengan yang jenaka dari berbagai latar belakang budaya dan sejarah, memperkaya siapa saja yang mengalaminya.

Kerumunan orang antre mengelilingi apa yang terkesan seperti ruang kelas taman kanak-kanak lengkap dengan seorang guru di depannya. Ken Kagami, 40 tahun, asal Jepang duduk di kursi kayu dan memanggil satu per satu pengunjung untuk kemudian ia pandangi lamat-lamat. Tangannya kemudian menggores-gores kertas HVS putih dengan spidol dan dalam hitungan detik gambar tersebut menjadi milik pengunjung yang beruntung. Layaknya seniman jalanan yang memenuhi area turis menawarkan jasa menggambar potret dadakan, Ken Kagami menggambar siapa saja di hadapannya. Satu karya seni praktis menjadi milik Anda yang rela menyisihkan waktu. Karya performance harian ini menjadi pusat presentasi The World of Ken Kagami, suatu survei mini boyongan Misako Rosen yang antara lain merangkum karya patung, drawing, dan komik Kagami.

Persis di sebelah ruang kelas anak milik Kagami, suatu taman bermain ala Hong Kong muncul serta-merta lengkap dengan instalasi wahana perosotan. Enam patung hiper-realis berwujud para pemimpin dunia ketika berumur tujuh tahun terlihat berinteraksi dengan asyik dan lugu. Beberapa di antaranya sangat mudah dikenali: Barack Obama, Vladimir Putin, dan Angela Merkel. Siapa saja yang menjumpai instalasi ini tentu akan mengernyitkan dahi, jika tidak bergidik, melihat presentasi permainan indra berjudul Once Upon a Time karya Li Wei, 54 tahun, dari Cina. Karya ini diboyong Tang Contemporary Art yang menyajikan banyak arah interpretasi. Agenda politik dunia berada di tangan segelintir orang, tapi apakah mereka menganggapnya permainan belaka?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Once Upon a Time karya Li Wei di Art Basel 2024, Hong Kong, Cina, Maret 2024. Dok. Tang Contemporary Art, PR, MC.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang paling dinanti dalam Art Basel tentunya adalah sajian Galleries, sektor utama yang kian ambisius menghadirkan presentasi kuat dari galeri-galeri besar mancanegara yang konsisten memupuk hubungan baik dengan pasar di Asia melalui Hong Kong. Tak kalah serius, galeri lokal asal Hong Kong juga menampilkan karya terbaiknya baik di dalam bilik art fair maupun di ruang pamer masing-masing.

“Dibanding tahun lalu, tahun ini orang-orang lebih terbuka untuk membangun koneksi baru, baik dengan seniman yang belum pernah dikenal maupun dengan mencari tahu program galeri yang belum pernah dikunjungi. Ada keinginan kuat mengalami lebih banyak dan lebih dalam yang tentunya (bagi saya) terasa penuh makna dan positif,” tutur Kaitlin Chan dari Empty Gallery ketika berbincang dengan Tempo pada pekan lalu. Galeri yang berlokasi di Tin Wan ini menampilkan karya-karya terbaru seniman representasinya di Art Basel Hong Kong, di antaranya Tishan Hsu, Jes Fan, dan Henry Shum.

Melalui payung presentasi galeri lokal dan regional, sejumlah seniman Indonesia turut hadir di panggung Art Basel. Di antara ratusan galeri partisipan tahun ini, hanya dua galeri Indonesia yang turut serta, ROH Art Gallery di Jakarta Pusat dan Gajah Gallery yang baru membuka cabang di Ibu Kota pada 2022 setelah lebih dari dua dekade berdiri di Singapura dan satu dekade di Yogyakarta.

ROH hadir membawa presentasi kelompok seniman dari dan berbasis di Indonesia, di antaranya Aditya Novali, Davy Linggar, Eko Nugroho, Kei Imazu, Mella Jaarsma, Syaiful Aulia Garibaldi, dan kolektif seni Tromarama. Enam pasang telapak kaki manusia tampak begitu asing di tengah hiruk-pikuk pengunjung art fair. Kaki-kaki yang dipahat dari kayu itu merupakan karya Mella Jaarsma, 62 tahun, asal Belanda yang diletakkan menghadap lukisan besar karya Kei Imazu, 44 tahun, asal Jepang. Kedua karya dengan medium yang sama sekali berbeda ini bercakap. Pasangan kaki yang berjudul Laws of Nature itu mengisyaratkan perilaku manusia yang kerap memposisikan diri di atas manusia lain dan spesies lain. Lukisan cat minyak berjudul Mermaid of Banda Sea berkisah tentang ikan duyung di perairan Banda, makhluk legenda yang kerap terpinggirkan karena tak pernah menapak di tanah.

Karya Mella Jaarsma berjudul Laws of Nature di Art Basel 2024, Hong Kong, Cina. Dok. ROH Project

Patung-patung aluminium dan kuningan berbentuk dinosaurus dan ayam berjejer di muka bilik Gajah Gallery yang berlatar lukisan coret-coretan berskala besar. Keduanya karya Yunizar, 53 tahun, seniman asal Sumatera Barat yang kini menetap di Yogyakarta. Tahun ini, Gajah Gallery mengusung Yunizar dalam presentasi tunggal di sektor Kabinett, platform yang khusus menyorot perupa dalam presentasi tunggal atau tematik yang terdelineasi. Selain menggandeng Yunizar, galeri asal Singapura ini membawa beberapa seniman kontemporer Indonesia, di antaranya Erizal dan Uji “Hahan” Handoko Eko Saputro. Yang mencolok di antara karya seni pop adalah lukisan pilihan karya perupa wanita asal Bali, I Gusti Ayu Kadek Murniasih (1966-2006). Karya perupa yang dikenal dengan ikonografi khas ini mengisahkan hal tabu dan personal mengenai seks dan kewanitaan. Karya Murni belum lama diakuisisi Tate, London, tepatnya pada 2023.

Selain dari ROH dan Gajah Gallery, seniman Indonesia muncul di bawah naungan galeri regional dan internasional. Di antaranya Agan Harahap, Iwan Effendi, Kemalezedine, dan Ari Bayuaji bersama Mizuma Gallery; Christine Ay Tjoe bersama White Cube; dan Roby Dwi Antono bersama Almine Rech.

Setelah menilik ratusan presentasi galeri kelas dunia dan karya pilihan berskala besar di antara bilik-bilik galeri pada lantai 1 gedung konvensi, pengunjung disuguhi 22 presentasi tunggal dari berbagai galeri muda di Asia yang diramu khusus untuk Hong Kong dalam sektor Discoveries. Tiga sisi dinding menjadi modal utama galeri mengelola sajian seni yang dibawa. Hasilnya segar dan amat menggugah.

Tiga dinding hitam Galerie Zink tampak kontras di antara gang dinding putih Discoveries. Video tiga kanal karya seniman media asal Vietnam, Thao Nguyen Phan, 37 tahun, tengah memutar narasi yang terkesan sendu. Gambar-gambar bentang perdesaan yang diiringi alunan musik tradisional berganti dengan video arsip pematung modern wanita asal Vietnam, Diem Phung Thi (1920-2002). Diem Phung Thi adalah seniman diaspora Prancis yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya pada masa awal perang Indocina. Penelusuran arsip karya-karya sang seniman dirangkai dalam narasi yang lugu dan menyentuh melalui perpaduan gambar ilustrasi dan penggalan puisi yang terinspirasi dari karya sang pematung. Puisi dan musik yang muncul menemani tentu berlawanan dengan kerasnya perjalanan dan perjuangan rakyat Vietnam selepas perang dunia kala itu.

Di luar dinding-dinding art fair, tahun ini Art Basel juga menghadirkan beberapa karya yang dapat dinikmati publik dengan bebas. Di antaranya film hitam-putih karya Yang Fudong yang tayang setiap malam pada fasad M+ dan proyek off-site Encounters karya Daniel Boyd di pusat belanja Pacific Place.

Adegan-adegan berlatar perdesaan pinggir pantai silih berganti dengan jalan-jalan di Hong Kong, semuanya dalam balutan nuansa hitam-putih ala film klasik Hong Kong era 1970-1990. Penonton diajak mengikuti seorang pria muda yang menjelajah dan menemukan bagian-bagian tanah Hong Kong dengan sinematografi yang romantis. Hadir bak pendatang, pria ini menelusuri desa, berenang di laut, mengejar trem, lalu menjumpai kawannya. Dijahit seperti puisi, jalinan adegan muncul pendek-pendek dan terkadang penuh khayal tapi mampu membawa penonton merasakan refleksi keindahan.

Karya seniman Indonesia yang dipamerkan Gajah Gallery di Art Basel 2024, Hong Kong, Cina, Maret 2024. Adinda Yuwono

“Mengerjakan karya gambar bergerak untuk kota ini, beradu dengan latar suara (kota) yang unik, merupakan suatu keberuntungan yang istimewa,” ujar Yang Fudong mengenai karya komisinya. Sparrow on the Sea karya Yang Fudong, 53 tahun, dari Cina ditayangkan setiap malam pada fasad M+, museum khusus seni modern dan kontemporer di kawasan pengembangan baru West Kowloon Cultural District, hingga 9 Juni 2024.

Sekitar 10-15 menit berjalan kaki dari gedung konvensi, pengunjung dapat menikmati instalasi karya Daniel Boyd, 42 tahun, dari Australia yang diboyong Kukje Gallery dan STATION di lobi Pacific Place. Panel-panel dinding hitam penuh kerlip perforasi melatari area melingkar di lobi pusat belanja itu. Di belakangnya terdapat karya video dalam layar besar di atas panggung dengan sajian pengalaman kerlap-kerlip yang serupa. Karya instalasi berjudul Doan ini berarti “kegelapan” dalam bahasa Yugambeh, bahasa milik Aborigin di area tenggara Queensland. Karya ini merefleksikan bagaimana ruang hidup kita memuat berlapis sejarah dalam arsitektur yang sering kali terfragmentasi. Setiap titik kerlip yang muncul pada video terefleksi di dinding dan lantai, menggambarkan diri kita dalam alam semesta yang luas. Ketika berdiri di tengah instalasi yang ekspansif ini, Boyd mengajak kita memikirkan ruang dan waktu yang terus berubah.

Di tengah panggung seni internasional Art Basel yang bising dan ambisius ini, nyatanya suara seniman-seniman Asia-Pasifik terdengar lantang. Tema personal yang lugu berkelindan dengan yang historis dan universal dalam ragam presentasi media, tak jauh dan tak lepas dari karakter dan latar belakang setiap pribadi perupanya. Keberagaman karya seni di art fair bukanlah hal yang mudah ditemukan, mungkin juga bukan sarana yang paling ideal. Pancaindra kita dilatih menjadi jeli dan peka untuk tahu lebih banyak. Pada edisi Hong Kong, Art Basel konsisten memupuk semangat yang tak mengkhianati kerja keras seniman dan pegiat seni di berbagai belahan di dunia, terutama di Asia-Pasifik.

Art Basel Hong Kong dihelat pada 26-30 Maret 2024 dengan mencatatkan kehadiran lebih dari 75 ribu pengunjung dalam lima hari.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Adinda Yuwono

Adinda Yuwono

Pengamat seni

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus