Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aruna & Lidahnya
Penulis: Laksmi Pamuntjak
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 420
Selama ini Laksmi Pamuntjak dikenal karena dua hal. Pertama, karena karya sastranya, seperti buku-buku puisi dan novelnya, Amba. Kedua, karena ulasannya tentang makanan dalam serial The Jakarta Good Food Guide. Dia adalah sastrawan sekaligus penulis kuliner yang baik. Karena itu, banyak yang berharap Laksmi mengawinkan dua keahliannya tersebut dalam sebuah karya.
Harapan itu muncul bulan lalu ketika Laksmi menerbitkan novel keduanya, Aruna & Lidahnya. Dari judulnya, kita bisa menebaknya sebagai novel tentang makanan. Hal ini ditegaskan oleh kalimat di halaman pertama. Di bawah judul tertulis: "Sebuah novel tentang makanan, perjalanan dan konspirasi".
Novel ini memang membahas banyak hal tentang makanan. Aruna Rai yang montok memang penikmat makanan serius. Apalagi dia dikelilingi orang-orang berhobi sama: Bono yang chef dan Nadezhda yang penulis kuliner. Petualangan mereka ke Palembang, Medan, Aceh, Pontianak, Singkawang, Surabaya, dan Madura adalah untuk memuaskan lidah mereka "yang terdidik". Pengetahuan luas Laksmi soal makanan terlihat di sini.
Penjelasan Laksmi soal makanan di novel ini cukup lengkap. Ia membawa kita ke rumah makan terkenal hingga warung-warung tanpa papan nama yang memiliki masakan lebih dahsyat. Deskripsinya soal makanan, penyajian, suasana, serta sejarah makanan dan minuman itu mampu membuat air liur menetes.
Sayangnya, makanan yang dominan dalam novel tersebut tidak mampu menjadi pokok cerita, bukan tiang utama dalam bangunan kisah. Novel ini digerakkan oleh cerita lain, yaitu sepak terjang Aruna sebagai peneliti virus di OneWorld. Ia pergi dari satu kota ke kota lain dalam rangka tugasnya sebagai peneliti di lembaga yang menjadi konsultan sebuah kementerian untuk memetakan flu burung.
Di daerah-daerah yang ditelitinya itu, Aruna dan teman-temannya menyempatkan diri mampir ke berbagai rumah makan. Di situlah persentuhan dengan makanan terjadi. Makanan memang diceritakan dengan lezat, tapi hanya menjadi aksesori, bukan motor yang menggerakkan cerita. Makanan bukan sebab yang menentukan takdir para tokoh di dalamnya. Kalaupun kepergian mereka ke warung bebek di Madura atau warung rujak di Singkawang batal, jalan cerita tak akan berubah.
Karena telah didominasi oleh penjelasan soal makanan, plot utama novel ini diceritakan dengan tanggung dan terinterupsi. Laksmi tidak tuntas menceritakan pendeteksian wabah flu burung oleh Aruna dan timnya. Dia seperti menclok dari satu daerah ke daerah lain untuk mencari wabah flu burung, tapi lebih sering tidak menemukannya. Dan, ketika proyeknya dihentikan oleh pemerintah karena wabah tak terbukti, Aruna mencak-mencak. Kita bahkan tidak melihat adanya konspirasi seperti yang dijanjikan di halaman pertama.
Kisah cinta Aruna yang seharusnya bisa dikembangkan hingga menarik juga tak digarap dengan telaten. Ikatan emosional tidak terbangun karena banyak proses yang dilompati.
Ketergesaan juga yang tampaknya menyebabkan Laksmi melewatkan sejumlah kesalahan kecil. Misalnya saat membahas jumlah Singkawang, Kalimantan Barat, disebutkan bahwa penduduk kota itu hanya 300 orang (halaman 360). Mungkin yang dimaksud adalah 300 ribu. Ia juga menyebut organisasi Turkish Red Cross (halaman 316) mendirikan masjid di Aceh, padahal nama resminya dalam bahasa Inggris adalah Turkish Red Crescent.
Laksmi memiliki modal yang amat baik untuk membuat novel tentang makanan. Dia hanya perlu duduk lebih lama.
Qaris Tajudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo